Surga Koruptor Ke-20

Peringkat Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia belum banyak berubah ke arah lebih baik. Artinya, Indonesia belum banyak berubah menjadi negara yang mulai bersih dari praktik-praktik korupsi.

Rilis tahunan mengenai peringkat negara-negara terkorup di dunia yang dikeluarkan Transparansi Internasional (TI) pada Selasa lalu memperlihatkan posisi Indonesia pada peringkat ke-20 negara terkorup.

Tragisnya, peringkat Indonesia hampir setara dengan negara-negara miskin di Afrika seperti Chad dan Somalia. Di Asia, sebagai negara terkorup, Indonesia selevel dengan Bangladesh serta Myanmar.

Padahal, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa, program politik dan kampanye pemberantasan korupsi relatif lebih tertata serta menjadi agenda nasional yang terprogram secara baik.

Misalnya, selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memeriksa serta menangkap pelaku dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara seperti ketua dan pejabat teras Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Gubernur (nonaktif) Nanggroe Aceh Darussalam (NDA) Abdullah Puteh, Presiden SBY sudah membentuk Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Korupsi).

Bahkan, SBY sudah sangat sering memberikan izin bagi polisi dan kejaksaan untuk memeriksa pejabat daerah seperti gubernur, bupati, wali kota, serta anggota DPRD yang diduga berkorupsi.

Ternyata, program dan agenda politik pemberantasan korupsi tersebut belum mampu mengubah atau memperbaiki peringkat Indonesia dari negara terkorup di jajaran terburuk menjadi negara yang sudah relatif bersih dari korupsi.

Lalu, di mana duduk persoalannya? Mungkin, TI melihat program politik pemberantasan korupsi itu belum memberikan hasil signifikan dibandingkan luas, parah, dan buruknya praktik korupsi.

Kita tahu, korupsi di negeri ini sudah menjangkit ke semua lini kehidupan publik. Mulai korupsi kecil-kecilan setingkat pungutan liar di jalanan, di birokrasi kelurahan dalam urusan pelayanan kependudukan, sampai megakorupsi di tingkat birokrasi eselon satu yang melibatkan pejabat negara serta para kroninya.

Karena itu, sangat mungkin langkah KPK, Timtastipikor, serta polda dan kejaksaan di daerah menyeret pejabat-pejabat pemerintah yang diduga korupsi dan dihukum sangat berat oleh pengadilan belum dianggap TI sebagai terapi yang efektif untuk membersihkan Indonesia dari praktik-praktik korupsi.

KPK mengaku, persoalan korupsi di negeri ini sudah sangat buruk, luas, rumit, dan menyentuh semua lini kehidupan. Dengan kata lain, mustahil pemberantasan koprupsi diserahkan sepenuhnya pada KPK. Apalagi, jaringan KPK terbatas karena belum ada KPK di daerah. Selain itu, tenaga KPK terbatas.

Jadi, keberanian KPK dan keberhasilannya menyeret sejumlah tokoh ternama dalam perkara korupsi ke pengadilan memang belum menyentuh secara relatif besar pembersihan birokrasi dari korupsi.

Tetapi, apa pun penilaian TI dan di level mana pun posisi Indonesia sebagai negara terkorup, program politik dan kampanye antikorupsi tidak boleh surut. Kita harus bekerja dan membuktikan bahwa ada atau tidak ada rilis TI, negara dan bangsa Indonesia harus dibersihkan dari korupsi.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 20 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan