Surat Terbuka Kepada Jaksa Agung tentang Percepatan Eksekusi Putusan

Selasa 10 April 2012 ICW dan Indonesia Legal Rountable mewakili Koalisi Pemantau Peradilan melakukan audiensi dengan Jaksa Agung Basrief Arief sambil surat terbuka untuk mendesak percepatan eksekusi putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Berikut surat terbuka tersebut;

Jakarta, 10 April 2012

Kepada
Yth.Saudara Basrief Arief  
Jaksa Agung Republik Indonesia
di  Jakarta

1.  Pada tanggal 26 November 2010, ketika Saudara Basrief Arief resmi dilantik sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia - menggantikan Hendarman Supandji - maka langkah awal yang akan Saudara lakukan sebagai Jaksa Agung adalah mempercepat penanganan kasus dan membenahi birokrasi kejaksaan.

2.  Kami percaya percepatan penanganan kasus yang dimaksud Saudara Basrief termasuk juga percepatan penanganan kasus korupsi yang telah menjadi persoalan serius di negeri ini. Dalam hal ini kami memberikan apresiasi pada era Saudara Basrief sejak dilantik sebagai Jaksa Agung hingga saat ini sudah ratusan proses penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang berhasil diselesaikan disemua lingkungan kejaksaan di seluruh Indonesia.  

3.  Namun menurut kami percepatan penanganan kasus korupsi sebaiknya juga diikuti dengan percepatan pelaksanaan eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) terhadap koruptor, karena hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari serangkaian  proses penanganan kasus korupsi. Kejaksaan sebagai lembaga yang dimandatkan oleh undang-undang sebagai pelaksana eksekusi seharusnya dapat menjadi ujung tombak pemerintah dalam perang melawan korupsi dan menjebloskan koruptor yang telah terbukti mencuri uang rakyat ke dalam penjara.

4.  Sayangnya langkah percepatan eksekusi perkara korupsi ternyata tidak menjadi bagian yang disebutkan secara khusus dari program kerja pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung dibawah Basrief Arief. Skala prioritas penerapan percepatan dan optimalisasi penanganan perkara pidana khusus di Kejaksaan lebih menekankan kepada aspek (1) Penanganan perkara korupsi lebih cepat, efektif, efisien, dan terkendali secara profesional dan proporsional;(2) Penanganan perkara korupsi lebih terukur melalui standar kinerja (jangka waktu); (3) Optimalisasi pengembalian kerugian negara dan kualitas perkara,dan (4) efektifnya kegiatan dan penerangan hukum kepada masyarakat.

5.  Pemantauan Indonesia Corruption Watch terhadap pelaksanaan eksekusi koruptor disejumlah daerah di Indonesia selama 10 tahun terakhir (2002-2012) per 26 Maret 2012 menemukan sedikitnya ada 49 terpidana korupsi yang belum di eksekusi atau diduga belum di eksekusi oleh pihak kejaksaan meskipun sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dari 49 terpidana korupsi tersebut, 25 koruptor belum dieksekusi karena telah melarikan diri dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sedangkan 24 orang terpidana korupsi  lainnya belum dieksekusi meskipun tidak melarikan diri.

6.  Tercatat terpidana korupsi yang paling banyak belum atau diduga belum di eksekusi berada di lingkungan Kejaksaan Tinggi Riau (17 terpidana). Masuk kelompok besar lainnya adalah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (5 terpidana), Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (4 terpidana), Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (4 terpidana).

7.  Fakta paling anyar berkaitan belumnya dijebloskannya koruptor ke penjara adalah dalam proses eksekusi terhadap Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu non aktif (korupsi dana bagi hasil PBB/BPHTB Provinsi Bengkulu sehingga negara dirugikan lebih dari Rp 20 Miliar). Agusrin dihukum oleh Mahkamah Agung (MA) selama 4 tahun penjara pada Januari 2012, namun belum dieksekusi oleh kejaksaan hingga hari ini.

Contoh lain adalah proses eksekusi koruptor Penyimpangan Dana APBD Sambas untuk pos dana DPRD Sambas TA 2001 yang terjadi di Sambas Kalimantan Barat. Meski vonis ditingkat kasasi MA sudah dijatuhkan sejak Februari 2009 lalu namun hingga saat ini atau lebih dari 3 (tiga) tahun terpidana korupsi Uray Darmansyah, Uray Barudin Idris dan Edy Lie Karim  (pimpinan DPRD Sambas, periode 1999-2004) belum juga dieksekusi.

8.  Dari pemantuan kami terdapat sejumlah alasan yang dikemukan oleh pihak Kejaksaan berkaitan dengan tertundanya pelaksanaan eksekusi para terpidana korupsi seperti belum diterima salinan putusan, menunggu putusan peninjauan kembali, koordinasi dengan pihak internal dan eksternal, pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan kondisi situasi politik dan keamanan ditingkat lokal.

9.  Dari sejumlah alasan tersebut mayoritas pelaksanaan eksekusi koruptor oleh Kejaksaan macet karena belum diterimanya salinan putusan dari pengadilan. Kejaksaan cenderung berpedoman kepada Pasal 270 KUHAP-bahwa dasar eksekusi adalah salinan (lengkap) putusan. Hal ini menjadi acuan semua jaksa diseluruh Indonesia. Proses penundaan eksekusi koruptor oleh Kejaksaan tidak sejalan dengan Inpres No 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Dalam Inpres tersebut khususnya dalam strategi bidang penindakan menyebutkan langkah “Percepatan penanganan dan eksekusi Tipikor dan penguatan koordinasi diantara lembaga penegak hukum”.

10.  Pada bagian lain tidak dapat dipungkiri lambatnya proses penyerahan salinan putusan merupakan persoalan buruknya manajemen dan administrasi perkara dilingkungan pengadilan. Dari pemantauan kami salinan lengkap putusan umumnya baru disampaikan oleh pihak pengadilan kepada jaksa selaku eksekutor beberapa bulan bahkan lebih setahun setelah diputuskan. Padahal dalam beberapa regulasi jelas menyebutkan dalam jangka waktu 14 hari setelah diputuskan maka salinan putusan harus segera diserahkan kepada kejaksaan.

11.  Namun kondisi tersebut seharusnya tidak dapat menjadi alasan bagi kejaksaan dalam pelaksanaan eksekusi terhadap koruptor. Kejaksaan terkesan sangat normatif dan tidak berupaya melakukan terobosan hukum untuk menyelesaikan persoalan ini. Padahal sudah ada jalan keluar mengahadapai masalah ini dengan adanya Surat Jaksa Agung RI No. B-019/A/04/2004 tentang Upaya Mempercepat Eksekusi Putusan Pengadilan Negeri yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap tanggal 20 April 2004. Pada intinya amar putusan yang dibacakan oleh hakim – sebagaimana mana juga tercantum dalam petikan putusan pengadilan - bisa menjadi acuan bagi kejaksaan untuk melakukan eksekusi.  

12.  Sayangnya dalam beberapa kasus pihak kejaksaan tidak memiliki “keberanian” untuk melakukan tindakan eksekusi hanya mengandalkan petikan putusan atau tanpa salinan putusan lengkap. Bandingkan dengan pelaksanaan eksekusi dari KPK yang dilakukan dengan bermodalkan “petikan” resmi pengadilan. Meski dalam kasus korupsi yang melibatkan Eep Hidayat, Bupati Subang non aktif nampaknya Kejaksaan sudah mulai melakukan proses eksekusi dengan berlandaskan petikan putusan pengadilan. Dalam kasus ini kami memberikan apresiasi atas keberanian dan terobosan yang dilakukan oleh Kejaksaan dan semoga ini bisa diterapkan kepada semua koruptor yang lain.

13.  Namun demikian secara keseluruhan kami menilai Kejaksaan dan Pengadilan masih belum optimal dalam upaya pelaksanaan eksekusi para koruptor. Kondisi ini jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi dan memunculkan kesan negatif penegak hukum lemah atau bahkan sangat kompromis terhadap koruptor.

14.  Oleh karenanya Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung perlu membuat kebijakan khusus di internal masing-masing atau Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk menyelesaikan persoalan eksekusi koruptor sebagai dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

15.  Melalui surat ini, Kami meminta kepada Saudara Basrief Arief selaku Jaksa Agung:

  • Segera melakukan eksekusi terhadap para koruptor dan juga uang pengganti perkara korupsi yang telah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap tanpa kompromi.
  • Sebelum proses eksekusi dilakukan, perlu dilakukan upaya-upaya hukum terhadap terpidana korupsi yang telah berkekuatan hukum untuk menghindari pelaku melarikan diri.
  • Mengumumkan daftar nama koruptor yang sudah di eksekusi maupun yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena melarikan diri untuk menghindari dari proses eksekusi di seluruh Indonesia.
  • Melanjutkan proses perburuan terhadap koruptor yang bertatus DPO.  

16.  Demikianlah surat kami. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan Saudara Basrief Arief dan seluruh jajaran di Kejaksaan keadaaan sehat, dijauhkan dari korupsi dan tindakan menyimpang lainnya agar institusi Kejaksaan tetap menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi, lebih dekat dan dicintai masyarakat serta menjadi musuh para koruptor.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN
Refki Saputra (Indonesial Legal Roundtable)
Donal Fariz dan Emerson Yuntho(Indonesia Corruption Watch)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan