Surat Penghentian Sudah Keluar; Diserahkan Jaksa Agung ke SBY, Tinggal Putusan Politik

Mantan Presiden Soeharto dipastikan bisa menghabiskan hari tua dengan nyaman tanpa diganggu lagi oleh persoalan-persoalan hukum. Ini setelah tadi malam Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus dugaan korupsi Pak Harto.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah menyerahkan surat tersebut kepada Presiden SBY. Sebelumnya, Rabu malam Menko Polhukam Widodo A.S. mengumumkan sikap pemerintah yang memutuskan menghentikan kasus hukum Pak Harto.

Dengan bekal SKPP, perkara korupsi di tujuh yayasan yang dipimpin Pak Harto tidak akan diteruskan ke persidangan. Otomatis Pak Harto tidak akan dihadapkan ke meja hijau.

Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di kantornya tadi malam mengatakan, penerbitan SKPP tersebut berdasarkan ketentuan pasal 140 KUHAP. Surat itu berbeda dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), karena SP3 digunakan untuk menghentikan penyelidikan perkara sebelum dilakukan penuntutan.

Karena persidangan Pak Harto pernah dilakukan, kejaksaan tidak dapat menerbitkan SP3. Namun, kejaksaan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, katanya.

Yusril mengatakan, pertimbangan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dalam menerbitkan SKPP adalah jaksa penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa (Soeharto) ke pengadilan dengan alasan kesehatan terdakwa tidak memungkinkan untuk diadili.

Menurut Yusril, penghentian penuntutan merupakan kewenangan penuh institusi kejaksaan. Karena itu, penerbitan surat tersebut dilakukan tanpa perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penghentian penuntutan perkara adalah kewenangan kejaksaan yang bekerja independen. Jadi, jangan Anda bertanya apakah presiden yang menghentikan perkara mantan Presiden Soeharto. Kewenangan penghentian penuntutan bukan pada presiden. Kewenangan ada pada jaksa penuntut umum, terangnya.

Yusril mengakui, penghentian penuntutan perkara Pak Harto hampir mirip dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soekarno. Bedanya, ketika itu pejabat presiden (Soeharto) selaku pengemban amanat Tap MPRS Tahun 1967 tidak mengambil langkah hukum terhadap mantan Presiden Soekarno.

Karena tuntutan hukum tidak dilaksanakan, maka mengikuti asas praduga tidak bersalah, mantan Presiden Soekarno harus dianggap tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Karena itu, harus dipulihkan nama baiknya, harkat dan martabatnya sebagai pribadi maupun sebagai mantan presiden, tegas Yusril.

Hal yang sama berlaku pada kasus mantan Presiden Soeharto. Meski Soeharto masih hidup, secara fisik dia dinilai tidak layak memberikan kesaksian dan melakukan pembelaan di depan persidangan. Jadi, juga ada dasar untuk memulihkan nama baik Beliau (Soeharto), terangnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, sekitar pukul 20.00 tadi malam, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra menyerahkan draf keputusan presiden (keppres) kepada Presiden SBY yang pada intinya kepala negara memberikan rehabilitasi kepada mantan Presiden Soekarno dan mantan Presiden Soeharto.

Dengan keppres tersebut, seluruh harkat dan martabat selalu pribadi maupun sebagai mantan presiden dipulihkan. Seluruh dokumen, termasuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dari Kejaksaan Agung, telah saya sampaikan pada Presiden SBY. Biarlah beliau yang mengambil keputusan, tegas Yusril.

Presiden SBY pagi ini sekitar pukul 06.00 dijadwalkan memberikan keterangan pers di Base Ops Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. Kuat dugaan Presiden SBY akan mengumumkan penerbitan keppres tentang rehabilitasi mantan Presiden Soekarno dan mantan Presiden Soeharto secara resmi.

Kemungkinan Abolisi
Keputusan penerbitan SKKP kasus Pak Harto dibuat setelah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melaksanakan rapat dengan stafnya tadi malam. Mereka adalah Wakil Jaksa Agung Basrief Arief dan sejumlah jaksa agung muda, termasuk JAM Pidsus Hendarman Supandji dan JAM Intelijen Mochtar Arifin yang pernah menjadi JPU (jaksa penuntut umum) sidang Pak Harto.

Setelah rapat, semua pejabat Kejagung menolak mengungkapkan hasil pertemuan tersebut. Hendarman yang ditemui pukul 20.45 mengatakan, bentuk putusan akhir itu akan diumumkan jaksa agung hari ini. Sudah ada keputusan hukum atas (kasus) Soeharto. Saya belum bisa sampaikan karena akan diumumkan Pak Jaksa Agung besok pagi (hari ini). Ini sesuai pesan Pak Jaksa Agung, kata Hendarman.

Ditanya mengapa tidak langsung diumumkan, Hendarman menolak menjelaskan. Besok (pagi ini) tanya Pak Jaksa Agung. Saya nggak berani memberikan alasan. Beliau sebetulnya akan mengumumkan sekarang (kemarin). Tetapi, karena ada alasan yang belum bisa disampaikan, maka akan ditentukan kemudian, beber jaksa yang juga menjabat ketua Timtastipikor itu.

Informasi yang didapat koran ini menyatakan, Hendarman maupun JAM lain menolak mengumumkan karena tingginya risiko politis.

Sumber koran ini di Kejagung menyebutkan, penghentian kasus Pak Harto hanya dapat melalui dua pintu masuk, yakni abolisi dan SKPP. Kalau SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), jaksa agung sudah menegaskan tidak. Amnesti dan grasi juga tidak mungkin. Amnesti terkait kasus politik bersifat masal seperti pengampunan GAM. Grasi harus didahului dengan keputusan hukum berkekuatan tetap, jelas sumber tersebut.

Deponering tidak dipilih karena harus disetujui legislatif dan yudikatif atas definisi kepentingan umum dalam penghentian penuntutan. Di antara dua pintu masuk itu, pemerintah tampaknya memilih abolisi yang akan diumumkan SBY.

Presiden punya kewenangan tersebut karena memang diatur dalam konstitusi (hasil amandemen ke-4 UUD 1945 pasal 14 ayat 2), jelas sumber tersebut.

Menurut dia, pemberian abolisi terhadap mantan orang nomor satu di Indonesia itu akan tertuang dalam keputusan presiden (keppres). Dan, yang meyakinkan lagi, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra tadi malam diminta SBY untuk menyusun draf rehabilitasi Soeharto yang menjadi roh pemberian abolisi.

Sikap jaksa agung yang menolak mengumumkan (penghentian kasus Soeharto) juga bisa dipahami mengingat pengumuman abolisi memang porsi SBY, imbuh pejabat bagian penuntutan itu. Pemberian abolisi lebih bersifat penyelesaian kasus Soeharto secara politis.

Penerbitan SKPP dalam kasus Soeharto juga sangat mungkin ditempuh. Menurut sumber tersebut, kejaksaan berwenang mengeluarkan SKPP karena hak tersebut melekat pada jaksa agung sesuai dengan UU No 16/2004. Jaksa agung tinggal memerintah Kajari Jaksel untuk menyusun legal opinion dalam penerbitan SKPP, jelasnya.

SKPP lebih punya kekuatan hukum daripada abolisi. Mengapa? Sebab, kasus Soeharto tidak bisa dibuka lagi tanpa putusan pengadilan lewat praperadilan atas SKPP tersebut. Pengadilan sendiri tidak akan mudah mengabulkan praperadilan karena merujuk pada fatwa MA (Mahkamah Agung) yang menyebutkan bahwa memburuknya kondisi kesehatan membuat Soeharto tidak layak diadili, ujar sumber tersebut.

Dasar hukum penerbitan SKPP adalah ketentuan pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Yaitu, penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. (noe/agm/abi

Sumber: Jawa Pos, 12 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan