Supervisi KPK untuk APBN
Ada terobosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup menarik. Baru-baru ini, lembaga antikoprupsi ini menyampaikan program untuk masuk lebih jauh ke sentra proses kebijakan penentuan keuangan negara. Untuk itulah, KPK mengirimkan pengamatnya ke arena ruang pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Tentu, pengiriman itu bukan dalam kerangka mencampuri mekanisme kerja dewan, tapi pemantauan proaktif untuk membangun kinerja konstruktif agar terhindar dari potensi penyalahgunaan keuangan negara melalui produk legislasi yang bernama APBN. Sungguh taktis dan strategis langkah KPK tersebut.
Seperti kita saksikan, sejak 1999 hingga kini, ada pergeseran kekuasaan penentuan anggaran. Meski lembaga legislatif punya hak budgeting dalam penyusunannya bersama pemerintah (pasal 4 tata tertib DPR), kini penentuan alokasi anggaran tidak lagi didominasi pemerintah. DPR pegang palu yang jauh lebih menentukan.
Implikasinya, tak sedikit porsi anggaran yang diusulkan pemerintah tidak disetujui dewan karena dinilai tidak rasional. Atau, pengusulnya (menteri yang bersangkutan) dinilai punya kepentingan tertentu untuk kelompok atau partai yang dipimpinnya. Akibatnya, tak sedikit usul dana pembangunan yang termentahkan.
Kekuasaan dan kekuatan dewan saat ini menggerakkan aparatur pemerintah -mulai tingkat pusat hingga daerah- berusaha "merapat" ke Senayan. Hal itu sering tampak di gedung parlemen, lobi-lobi di luar gedung "terhormat" tersebut. Minimal, terjadi komunikasi intensif-produktif. Targetnya jelas. Pengajuan anggaran belanja disetujui tanpa revisi yang berarti.
Perubahan peta kekuatan politik anggaran itu menjadikan anggota dan atau pimpinan panitia anggaran (panggar) DPR bagai raja. Implikasinya, siapa pun yang mendambakan kucuran APBN tanpa pandang objektif atau mengada-ada tidak hanya harus menghubungi dan atau berusaha berbaikan dengan orang-orang panggar, tapi juga harus "menghormati" apa yang diinginkan orang-orang panggar tersebut.
Sikap itu menggiring sebagian besar anggota dan atau pimpinan panggar aji mumpung. Di antara mereka -atas nama rakyat atau daerah konstituennya- memperjuangkan anggaran. Tapi, sejumlah catatan menunjukkan, kejuangan mereka kompensasional. Tak sedikit di antara mereka yang terang-terangan nitip sekian persen (10-20 persen) kepada pemda atau para pihak yang diperjuangkan.
Main Mata
Ada pula yang tidak nitip, tapi tetap "main mata" dalam bentuk kompensasi lain. Sikap "back street" itu sungguh dipahami oleh para pihak (pemda atau lainnya) yang sedang memproses anggaran.
Praktik kolusi itu menjadikan sikap orang-orang panggar membiarkan sinyal-sinyal mark up anggaran yang sesungguhnya telah terlihat. Setidaknya, dewan membiarkan program yang tumpang-tindih. Andai mengkritisi, sifatnya pelipur lara (pepantes). Banyak pihak yang mencurigai bahwa pembiaran tersebut tak lepas dari celah kompensasi yang akan diterimanya.
Karena itu, sungguh tak aneh jika salah seorang mantan orang panggar, seperti Fuad Bawazir, pernah menengarai tingkat kebocoran APBN mencapai 30 persen per tahun anggaran.
Tengara itu kian bertambah besar jika kita cermati kesepakatan langsung antara person pemda dan sang "pejuang" anggaran. Sinyalemen tersebut kini kian terkuak. Beberapa wakil rakyat itu kini harus menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dan -untuk sementara- harus rela meringkuk di ruang tahanan KPK.
Bagaimana para pihak menyampaikan "terima kasih" kepada para "pejuang" anggaran itu? Beragam bentuk. Salah satu bentuk yang cukup halus -agar terhindar dari sorotan kolusi- adalah memberikan proyek kepada orang kepercayaan panggar dalam bentuk "bendera" tertentu yang sengaja didirikan sebagai "penadah" dana terima kasih tersebut. Itulah data faktual yang sebenarnya dapat dan harus dikejar oleh KPK sebagai implikasi gratifikasi.
Mencermati proses politik anggaran yang sarat dengan kolusi itu, kiranya sungguh tepat kebijakan KPK yang memandang penting untuk mengirim pengamatnya. Observasi tersebut akan menyaksikan langsung bagaimana orang-orang panggar menyusun dan membahas anggaran sebagaimana diatur dalam Tatib DPR pasal 46 ayat 1- 4.
Yang terpenting, para pengamat bisa menyaring mana daya juang yang murni untuk kepentingan publik dan daerah serta mana yang terindikasi ada "udang" di balik perjuangannya (kompensasional). Selain itu, bagaimana kuantitas nilai anggaran yang objektif dan mengada-ada. Bahkan, juga dapat menilai kelayakan dan program, baik dari sisi urgensinya maupun kemungkinan tumpang-tindahnya sehingga layak didrop.
Berdasar hasil observasi itu, KPK dapat mencatat sejumlah potensi yang diperkirakan menjadi persoalan bagi keuangan negara. Yang lebih penting, para pengamat itu dapat memberikan catatan tertentu sehingga analisis hukumnya, bahkan mungkin tindakannya jauh lebih efisien, tidak seperti masuk dalam hutan belantara.
Ladang Aji Mumpung
Dengan pendekatan pengamatan langsung orang-orang KPK, kiranya produk APBN tidak lagi dijadikan ladang aji mumpung bagi para konspirator yang jelas-jelas akan mengeruk keuangan negara untuk kepentingan sempit pribadi atau golongan.
Harus kita catat dengan tinta emas, KPK memberikan kontribusi konstruktif bagi upaya pencegahan kebocoran uang negara dari sumber utamanya. Langkahnya taktisnya sungguh brilian, meski hanya dengan modal minimal.
Kini, kita perlu soroti, bagaimana etos kerja (kinerja) orang-orang panggar? Diperkirakan menyurut. Kebiasaan, yang sudah berlangsung lama di tengah panggar (dahulu komisi anggaran) sarat dengan nuansa kolusi yang bernilai jauh lebih besar dari total gaji, itu membuat spirit kerjanya memudar. Setidaknya, mereka hanya mau kerja sebatas jam kerja. Berarti, akan terjadi kemoloran proses. Implikasinya, bukanlah tak mungkin, produk anggaran mengalami keterlambatan yang signifikan. Berarti, realisasi program nasional pun dibayang-bayangi kontraksi.
Haruskah KPK disudutkan? Sungguh tidak fair jika lembaga yang berjuang ekstra untuk kepentingan negara dan atau rakyat itu harus dipersalahkan. Bukan hanya komitmen penegakan hukum, tapi misi penyelamatan keuangan negara, apalagi kondisinya masih morat-marit.
Di sisi lain, kehadiran tim pengamat KPK justru -sejak awal- menyelamatkan orang-orang dewan dari jeratan hukum. Prefentivitas jauh lebih mulia daripada harus menjalani proses hukum. Karena itu, yang harus dilakukan orang-orang panggar, bahkan para wakil rakyat secara keseluruhan, adalah sadar diri untuk menjauhkan diri dari praktik kolusi atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
A.M. Saefuddin , mantan anggota DPR dan mantan menteri pangan dan holtikultura
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 31 Juli 2008