Sulitnya Mengikis Budaya Korupsi [19/07/04]
Entah mengapa ulasan-ulasan mengenai korupsi di berbagai media massa dan forum-forum ilmiah tidak begitu gencar. Mungkin, publik serta pengambil keputusan di kalangan pemerintahan menganggap korupsi sebagai masalah klasik, dan pembahasan mengenai korupsi akan berputar-putar pada siklus yang tidak berujung pangkal. Padahal, masalah korupsi adalah masalah kemanusiaan yang mendasar, bukan sekadar masalah moral.
Kini, setelah sekian lama terhambat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdulllah Puteh sebagai tersangka kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 merek PLC Rostov buatan Rusia. Pengadaan helikopter senilai Rp12,5 miliar itu dianggap KPK telah merugikan negara sekurang-kurangnya Rp4 miliar (Koran Tempo, 13 Juli).
Selain itu, Mabes Polri juga sedang memeriksa Puteh dalam kasus sejenis untuk pembelian genset senilai Rp30 miliar. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan, mengapa ada dua lembaga berbeda yang menangani kasus sejenis pada orang yang sama.
Kita hampir, bahkan sudah putus asa, dengan benang kusut korupsi di negeri ini. Rakyat masih trauma dengan penyelesaian atas penyelewengan dana Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung, yang akhirnya diputus bebas oleh Mahkamah Agung.
Akankah peristiwa-peristiwa sejenis berulang, yang akhirnya hanya menambah kegamangan masyarakat terhadap kredibilitas lembaga negara dalam menangani korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)? Baik oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun. Korupsi yang telah menjadi sistem dan melembaga, bahkan dianggap sebagai suatu budaya.
Meskipun demikian, terbukanya celah kasus dugaan korupsi dalam pembelian helikopter di Aceh memberi kesempatan luas untuk mengintip jambang korupsi di provinsi itu, yang berdasarkan investigasi telah melibatkan tidak hanya struktur birokrasi dan pemerintahan daerah, tapi juga sampai ke pusat.
Isu negatif memang muncul berkaitan dengan terbongkarnya skandal korupsi skala nasional ini. Seperti kepentingan menjerat Puteh tak lain hanyalah skenario konsumsi pemilu, atau karena akan berakhirnya masa jabatan Gubernur Aceh pada 2005.
Namun, jika dicermati, isu itu dimunculkan sebagai antipropaganda untuk membentengi para koruptor baik di daerah maupun di Jakarta. Nah, tanggung jawab memang berada di tangan hakim, tetapi tanpa ada upaya serius dari pemerintah untuk mendukung proses penegakan keadilan, kasus korupsi (hampir selalu) akan berakhir dengan basa-basi formal hukum.
Saat ini, menuduh pemerintah yang ada sebagai lokomotif korupsi tidaklah bijaksana. Pemahaman umum kita menalar, budaya korupsi telah bermetamorfosis sangat panjang dan curam dalam kehidupan politik bangsa. Jika ingin menyebut siapa yang menjadi manajer korupsi pun, barangkali itu adalah Orde Baru, yakni kekuasaan yang mempertahankan dirinya secara otoriter dan naristik.
Yang diperlukan bangsa kita dalam konteks pemberantasan korupsi bukan sekadar upaya melanjutkan, meningkatkan, dan memperbaiki, karena memang upaya pemberantasan korupsi itu sendiri bisa dikatakan belum ada yang signifikan. Pengungkapan kasus korupsi kolektif anggota DPRD di Sumatra Barat dan beberapa daerah lain, misalnya, bukanlah usaha pemerintah, melainkan upaya rakyat yang sudah muak dengan korupsi.
Atas dasar pengalaman selama lima tahun terakhir ini, lembaga-lembaga peradilan kita dewasa ini pada hakikatnya tidak mungkin bisa dipercaya dapat memberantas korupsi. Kondisi MA dan tiga lembaga peradilan lainnya (kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan) terlalu parah, sehingga tanpa reformasi secara mendasar terhadap lembaga-lembaga itu, tak mungkin wabah korupsi dapat diberantas.
Seperti terungkap dari banyak kasus korupsi selama ini, pada akhirnya lembaga-lembaga peradilan justru menjadi 'penghambat' pemberantasan korupsi. Karena itu, agenda reformasi terhadap lembaga-lembaga peradilan jelas bersifat mutlak, tak bisa ditunda-tunda.
Tetapi, reformasi lembaga-lembaga peradilan hampir mustahil dilakukan tanpa perubahan, peninjauan, dan penataan kembali berbagai aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan korupsi. Sebagai konsekuensi dari komitmen reformasi lembaga peradilan, maka diperlukan agenda lain, yakni perubahan mendasar atas berbagai regulasi tentang korupsi.
Pesimistis
Sangatlah keliru jika dikatakan bahwa bangsa kita telah memiliki UU dan aturan yang baik di bidang pemberantasan korupsi. Seolah-olah yang salah selalu 'oknum' jaksa, polisi, dan hakim. Padahal, jaksa, polisi, dan hakim adalah produk dari sistem peradilan yang buruk, yang dilahirkan melalui UU dan aturan yang masih buruk pula.
Pemilu kita kali ini, juga memenuhi ruang pertarungan nilai yang lebih luas, akankah calon presiden yang masuk putaran kedua mau mengadopsi visi dan membangkitkan keberanian memenjarakan para koruptor? Andai pilihan yang muncul bukan 'kehendak sempurna', kita harus menyemangati diri bahwa pemerintahan terpilih adalah sebuah legitimasi yang lahir dari rahim sejarah politik baru yang mau memberantas korupsi serta menyingkirkan koruptor di jajaran pemerintah.
Terlepas dari niat luhur pemerintah dalam membentuk KPK, rasa pesimistis masyarakat terhadap upaya perlawanan korupsi lebih cenderung membentuk kecurigaan daripada keyakinan.
Apalagi KPK adalah lembaga negara bentukan pemerintah, sementara pemerintah terkesan tidak serius dalam memberantas KKN. Bagaimana kemampuan KPK mengubah sikap pesimistis masyarakat menjadi dukungan merupakan pekerjaan tersendiri.
Memang untuk mengubah perilaku masyarakat dan budaya korupsi diperlukan waktu panjang dan program yang konsisten. Dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang diharapkan perilaku korupsi yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia akan terkikis dan KPK berhasil membangun budaya hidup bersih sebagai way of life bangsa Indonesia.(Muhdianto Y, Mahasiswa Universitas Riau)
Tulisan ini diambil dari Media Kampus, Media Indonesia, 19 Juli 2004