Sulitnya Mengaudit Dana Kampanye

Sebagaimana telah diberitakan berbagai media massa, komisioner Komisi Pemilihan Umum mulai angkat bicara tentang kendala audit dana kampanye Pemilu 2009. Bahkan terkesan KPU sudah sampai pada kesimpulan bahwa audit dana kampanye tidak dapat dilakukan sebagaimana mandat Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Sejujurnya pernyataan di atas dapat dikatakan terlambat. Hal ini mengingat jauh-jauh masa sebelumnya, berbagai organisasi profesi, baik Ikatan Akuntansi Indonesia maupun Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), telah menyampaikan gambaran akan potensi gagalnya pelaksanaan audit dana kampanye. Namun, respons yang ditunggu dari KPU tidak juga muncul. Saat pelaksanaan audit dana kampanye tinggal beberapa bulan lagi, tanggapan dari KPU baru kita dengar.

Terlepas dari masalah lambannya daya tangkap KPU untuk mendeteksi kemungkinan tahapan pemilu tidak berjalan dengan baik, pernyataan resmi KPU sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR, karena terdapat kemungkinan besar salah satu tahapan Pemilu 2009, yakni audit dana kampanye sulit dilaksanakan. Keseriusan dari KPU, pemerintah, dan DPR untuk mengambil langkah-langkah darurat akan sangat menentukan, apakah pelaksanaan audit dana kampanye akan berjalan sebagaimana aturan main atau gagal sama sekali.

Pertanyaannya, apa faktor yang memungkinkan pelaksanaan audit dana kampanye terganggu? Sejauh pengamatan penulis, terdapat dua masalah krusial yang sangat menghambat atau bahkan dapat menggagalkan kerja audit. Pertama, faktor yuridis-formal, di mana terdapat kewajiban dalam UU Pemilu yang sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kerja teknis audit dana kampanye. Secara umum, UU Pemilu menggariskan beberapa hal, yakni adanya kewajiban bagi partai politik peserta pemilu, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dan peserta pemilu perseorangan membuat dan menyerahkan laporan dana kampanye kepada kantor akuntan publik (KAP). Berikutnya, laporan dana kampanye tersebut wajib diaudit oleh KAP. Terakhir, KAP diberi alokasi waktu 30 hari oleh undang-undang untuk menyelesaikan audit terhadap seluruh laporan dana kampanye.

Mengacu pada aturan main di atas, secara teknis, pelaksanaan audit dana kampanye menjadi sulit dilakukan. penyebabnya, entitas laporan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP tidak sebanding dengan jumlah KAP yang tersedia. Menurut catatan kasar IAPI, berdasarkan mandat UU di atas, paling tidak terdapat 20 ribu entitas laporan keuangan dana kampanye yang harus diaudit oleh KAP berdasarkan pada jumlah partai politik peserta pemilu, mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan peserta perorangan (calon Dewan Perwakilan Daerah).

Di sisi lain, jumlah KAP yang tersedia tidaklah banyak. Jumlah KAP yang bernaung dalam payung IAPI saat ini hanya 400-an KAP. Sangat mustahil 400-an KAP akan mampu mengaudit laporan dana kampanye dengan jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, jumlah KAP yang sedikit itu diikuti oleh penyebarannya yang tidak merata karena di atas 50 persen berada di Jakarta.

Jika dilihat dari substansi peraturan, adanya kewajiban pelaporan dana kampanye pada masing-masing struktur partai politik peserta pemilu merupakan cara yang baik untuk mendorong hadirnya transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu. Hal itu juga dapat dibaca sebagai upaya UU untuk mendorong desentralisasi dan penyebaran atas pengendalian dan pertanggungjawaban dana kampanye di masing-masing bagian dalam organisasi partai politik. Dengan adanya aturan ini, ada tuntutan kepada pengurus partai politik di masing-masing tingkatan untuk lebih profesional dalam mengelola organisasinya. Karena itu, menjadi sangat dilematis karena tujuan dari UU yang benar harus dikacaukan oleh keterbatasan jumlah KAP.

Lebih lanjut, UU Pemilu hanya menyebutkan bahwa yang berwenang melakukan audit dana kampanye adalah KAP, bukan auditor lain, semisal BPKP atau BPK RI. Pagar yang sudah sangat jelas ini membuat upaya untuk menyiasati keterbatasan KAP menjadi mustahil ditempuh. Pasalnya, jika KPU menggunakan tenaga auditor dari BPKP atau BPK, pasti akan melanggar aturan main karena mandat untuk melakukan audit hanya dimiliki oleh KAP.

Masalah pelaksanaan audit dana kampanye menjadi lebih rumit, karena UU hanya memberikan waktu yang sangat terbatas, yakni 30 hari kepada KAP untuk menyelesaikan audit dana kampanye. Mengacu pada standar yang wajar, pelaksanaan audit umum (general audit) membutuhkan waktu paling tidak hingga empat bulan. Rentang waktu yang semakin panjang akan memungkinkan pelaksanaan audit dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, sekaligus menjawab esensi dari tujuan audit itu sendiri. Sedangkan waktu audit dana kampanye yang teramat pendek dapat dipastikan tidak akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas, atau menemukan adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye. Bisa dikatakan, audit dana kampanye yang demikian pada akhirnya untuk memenuhi aspek formalitas belaka.

Masalah di luar kendala yuridis-formal adalah infrastruktur audit dana kampanye yang tidak siap, terutama pada sisi KPU dan pengelola dana kampanye di tingkat peserta pemilu. Pelaksanaan audit dana kampanye akan menyulitkan jika KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak mengatur beberapa pedoman teknis yang dibutuhkan. Paling tidak, ada dua pedoman yang seharusnya disiapkan oleh KPU, yakni pedoman audit dana kampanye dan pedoman pelaporan dana kampanye. Pedoman yang pertama akan menjadi pegangan bagi para auditor, sedangkan pedoman kedua menjadi panduan bagi peserta pemilu. Hingga saat ini, KPU belum juga menyusun pedoman yang dimaksud.

Pada sisi kesiapan pengelola dana kampanye peserta pemilu, hal yang paling mencemaskan adanya jika mereka tidak dapat mengelola dan mengadministrasikan secara jujur dan benar berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk pelaksanaan audit dana kampanye. Belajar dari pengalaman Pemilu 2004 dan pilkada di banyak daerah, laporan dana kampanye peserta pemilu menyiratkan kebohongan atau penipuan. Temuan adanya penyumbang fiktif, jumlah sumbangan yang tidak sesuai, tidak dicatatnya sumbangan, dan ditemukannya berbagai laporan dana kampanye yang tidak didukung oleh bukti yang memadai sangat mungkin terulang pada Pemilu 2009.

Jalan keluar

Dengan berbagai kendala yang berpotensi mengancam pelaksanaan audit dana kampanye, KPU dapat melakukan beberapa hal darurat. Karena kendala audit lahir dari faktor yuridis-formal, KPU harus secepatnya mengupayakan adanya terobosan hukum. Ada dua jalan yang dapat ditempuh oleh KPU. KPU dapat mendorong DPR atau pemerintah melakukan amendemen UU Pemilu terhadap beberapa pasal yang menyulitkan pelaksanaan audit dana kampanye. Karena masalahnya ada pada jurang angka yang tinggi antara entitas laporan dana kampanye dan ketersediaan KAP, usulan amendemen diarahkan terutama untuk memberi ruang bagi sumber daya auditor lain, seperti BPK atau BPKP, untuk dapat terlibat dalam melakukan audit, sekaligus desakan untuk memperpanjang waktu pelaksanaan audit dana kampanye.

Memang langkah ini secara politik akan lebih sulit, mengingat DPR sebagai lembaga politik tentu saja memiliki kepentingan terhadap kondisi lapangan yang tidak memungkinkan pelaksanaan audit dilakukan dengan benar. Di luar amendemen, KPU bisa saja menempatkan situasi ini sebagai darurat, sehingga Presiden bisa didesak membuat perpu yang secara substansial memiliki kesamaan gagasan dengan agenda amendemen UU Pemilu.

Pekerjaan rumah KPU selanjutnya adalah mempercepat lahirnya pedoman pelaksanaan audit dana kampanye dan pelaporan dana kampanye. Harus diingat bahwa kegiatan kampanye sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Peserta pemilu, baik partai politik maupun perorangan, pastinya sudah mulai mencari sumber-sumber pendanaan kampanye sekaligus membelanjakan dana kampanye mereka.

Tanpa diikuti oleh pedoman yang pasti dari KPU, laporan dana kampanye peserta pemilu tidak akan memenuhi kaidah dan standar pelaporan yang benar, sehingga menyulitkan KAP untuk melakukan audit. Tidak hanya itu, laporan dana kampanye peserta pemilu pada akhirnya tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, ada kemungkinan laporan dana kampanye dimanipulasi oleh peserta pemilu.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch 

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan