Sulit, Jamin Dana Kompensasi BBM untuk Pendidikan Akan Tepat Sasaran; Gali dan Arahkan Dana untuk Pe

Model pengawasan apa pun tidak akan bisa menjamin dana kompensasi bahan bakar minyak untuk pendidikan bagi kalangan miskin sebesar Rp 5,6 triliun tidak terjadi kebocoran dan sampai ke sasaran yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya lebih memfokuskan pada upaya-upaya penggalian dana untuk pelayanan pendidikan dasar gratis.

Demikian dikemukakan Sekretaris Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen, aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, dan Lodi Paat dari Koalisi Pendidikan. Mereka dihubungi secara terpisah, Kamis (3/3), berkaitan dengan rencana pemerintah untuk memanfaatkan dana kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bidang pendidikan tahun 2005.

Mereka menilai, pola penggunaan dana kompensasi BBM yang berlaku sekarang tidak banyak berbeda dengan tahun- tahun sebelumnya. Dengan pola semacam itu, dana yang disalurkan tidak ada jejaknya dan tidak bisa menyelesaikan persoalan pendidikan yang dihadapi masyarakat miskin.

Tak ada data pasti
Menurut Ade, dana beasiswa untuk siswa dari kelompok masyarakat miskin tidak bisa dijamin sampai ke sasaran yang tepat karena data yang pasti mengenai anak dan sekolah miskin pun belum ada. Selama data itu tidak ada, problem yang selama ini terjadi akan terus berulang dan tidak akan bisa dipecahkan.

Semestinya, kata Ade, sebelum dana disiapkan, telah dibuat dulu sistem dan mekanisme penyaluran dana kompensasi tersebut. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Program-program semacam ini juga sudah dilakukan di sejumlah daerah dan terbukti tidak efektif untuk memecahkan persoalan biaya pendidikan yang dihadapi oleh masyarakat miskin. Pelibatan komite sekolah dan dewan pendidikan di daerah juga tidak banyak manfaatnya karena pengaruh birokrasi dan kepala sekolah yang sangat besar dalam proses pembentukannya.

Sejak awal saya tidak yakin dengan mekanisme seperti sekarang ini dana tersebut dapat disalurkan tepat sasaran, kata Ade.

Abduhzen juga meragukan model dan mekanisme penyaluran dana BBM yang ada sekarang. Menurut dia, besar sekali kemungkinan dana beasiswa untuk anak-anak dari keluarga miskin itu untuk tidak sampai pada sasaran. Apalagi model seperti itu sangat sulit diawasi dan tidak banyak manfaatnya. Akan ada sekitar 16 juta anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah yang tidak bisa dikover dengan program seperti itu.

Sekarang semua orang bicara tentang pengawasan dan mengingatkan agar dana tersebut sampai tepat sasaran. Namun, tidak lama lagi orang akan segera lupa. Melibatkan mahasiswa untuk ikut mengawasi juga tidak ada gunanya, kata Abduhzen.

Pendidikan gratis
Menurut Abduhzen, lebih bermakna bila dana kompensasi BBM diintegrasikan dengan dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menyediakan pendidikan dasar gratis bagi semua orang. Dengan dana yang terbatas, bisa saja yang ditempuh kebijakan sekolah gratis untuk SD dengan membebaskan sekolah dari semua bentuk pungutan, meniadakan uang masuk, dan menyediakan buku pelajaran gratis untuk semua siswa.

Gagasan serupa juga disuarakan oleh Lodi Paat. Daripada menyalurkan dana kompensasi BBM lewat mekanisme beasiswa, akan lebih bermakna bila pemerintah tetap fokus pada upaya pelayanan pendidikan dasar gratis. Kekurangan anggaran yang selama ini menjadi argumen harus dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah.

Menurut Lodi, sebetulnya tidak ada alasan bagi pemerintah-dengan bersembunyi di balik ucapan kekurangan anggaran-untuk menyelenggarakan pendidikan gratis tingkat dasar bagi warga negara. Lewat pendidikan gratis, otomatis anak miskin dapat langsung mengakses pendidikan.

Subsidi silang lewat pajak
Sebetulnya, pemerintah punya banyak alternatif untuk menggali berbagai sumber dana bagi pendidikan, termasuk melalui subsidi silang secara tidak langsung melalui pajak.

Contohnya, mereka yang semakin besar kekayaannya semakin besar pajaknya. Sebagian perolehan pajak itu langsung diperuntukkan khusus bagi pembangunan pendidikan, katanya.

Hal ini sudah sering kali disuarakan masyarakat, tetapi tidak kunjung ada hasil. Padahal, jika saja langkah alternatif ini difokuskan, pemerintah tidak mesti mengandalkan dana kompensasi BBM dan sekolah pun tidak perlu mengandalkan pungutan langsung dari masyarakat.

Ironisnya, kata Lodi, yang belakangan tampak justru beban biaya pendidikan semakin besar ditanggung oleh masyarakat. Padahal, misi utama pembentukan negara ini, seperti yang tertuang dalam UUD 1945, salah satunya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan dasar merupakan hak warga negara. Apalagi pemerintah sendiri sudah berkomitmen menuntaskan wajib belajar sembilan tahun, yang seharusnya berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan dasar, ujarnya.

Dia juga meragukan kecukupan nilai beasiswa dari dana kompensasi BBM sebesar Rp 25.000 per bulan per siswa untuk tingkat SD sederajat, Rp 65.000 per bulan per siswa untuk SMP sederajat, dan Rp 120.000 per siswa per bulan untuk tingkat SMA sederajat.

Ukuran yang digunakan untuk orang yang di desa. Padahal, orang miskin juga ada di kota. Sebaiknya subsidi tidak diteruskan, kata Lodi, pengajar yang aktif dalam kelompok kajian studi kultural Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.

Lodi juga mengkhawatirkan efektivitas model penyaluran tersebut. Dengan pemberian beasiswa tersebut, relatif tingkat kebocoran, penyunatan bantuan, dan salah sasaran lebih besar karena mekanisme yang rumit serta melibatkan banyak sekali orang sehingga sulit dikontrol. (wis/INE)

Sumber: Kompas, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan