Sudah Miskin, Dikorupsi Lagi

Corruption perception index (CPI) negara-negara di dunia untuk 2007 kembali diluncurkan Transparency International (TI) pada 26 September lalu. Tidak jauh berbeda dengan penilaian atas indeks korupsi dunia pada 2006, tahun ini korupsi tetap tinggi di negara-negara yang tergolong miskin. Fakta dari hasil survei kali ini menunjukkan bahwa korupsi di negara-negara miskin justru terjadi pada sektor-sektor yang dekat dengan pengentasan masyarakat miskin, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sungguh tragis! Di tengah minimnya dana untuk pengentasan masyarakat miskin, dana untuk para kaum papa ini masih saja dicuri.

CPI 2007 lebih difokuskan pada penilaian pengamat dan para ekspatriat di 180 negara atas korupsi di sektor publik. Indeks dihasilkan dari 14 survei ahli, yang masing-masing dilakukan dengan luas cakupan jumlah negara yang berbeda-beda. Survei kali ini termasuk yang paling luas cakupan jumlah negaranya dibanding pada 2006, yang hanya mencakup 163 negara. Dari 14 jenis survei ini kemudian ditentukan nilai pembobotan (scoring) dari nol hingga 10 untuk mengurutkan negara yang terburuk kondisi korupsinya hingga yang tebersih. Tahun ini negara yang dinilai terburuk adalah Myanmar dan Somalia, dengan nilai indeks 1,4. Adapun negara yang dinyatakan tebersih adalah Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia, dengan nilai indeks 9,4.

Dalam analisis TI, penentuan indeks kali ini semakin menunjukkan lurusnya perbandingan antara tingkat korupsi dan kemiskinan. Rata-rata negara yang memiliki indeks korupsi di bawah 3--yang oleh TI dikategorikan kondisi korupsi yang tak terkendali (rampant)--adalah negara-negara yang tergolong miskin, menurut kategori yang dibuat oleh Bank Dunia. Jumlah negara-negara yang masuk kategori ini cukup besar, mencapai 40 persen (72 negara) dari total 180 negara.

Hasil survei menjelaskan bahwa beberapa negara di wilayah Afrika mengalami perbaikan indeks secara signifikan. Misalnya, Namibia, yang pada 2006 mengantongi indeks 4,1, tahun ini naik menjadi 4,5. Begitu juga Afrika Selatan, yang pada 2006 memiliki indeks 4,6, tahun ini meningkat menjadi 5,1. Beberapa negara lain yang mengalami peningkatan signifikan adalah Swaziland, Kosta Rika, Kroasia, Kuba, Republik Cek, Dominica, Italia, dan Suriname. Hal ini menunjukkan adanya tindakan yang berarti dalam upaya pemberantasan korupsi dan perbaikan kemauan untuk berubah (political will) di negara-negara bersangkutan.

Sebaliknya, beberapa negara mengalami penurunan nilai indeks, di antaranya Austria, Bahrain, Laos, Butan, Malta, Oman, Papua Nugini, dan Thailand. Beberapa negara tetap berada di bagian terbawah dari indeks karena persoalan internal yang tidak berkesudahan, terutama konflik, seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Myanmar, Somalia, dan Sudan. Konflik membuat negara-negara ini tidak memiliki kemampuan mendorong pemerintahan yang baik. Ketika institusi publik tidak memiliki kapasitas dalam melayani, sedangkan di sisi lain permintaan tinggi untuk dilayani, akibatnya masyarakat harus menguras kocek lebih untuk mendapatkan pelayanan.

Kondisi ini sangat banyak dipengaruhi oleh praktek birokrasi yang kompromistis. Korupsi birokrasi, terutama suap, terus saja terjadi dan seakan dianggap wajar. Terutama untuk kalangan bisnis, hal ini bahkan telah memunculkan kompromi baru, termasuk dalam membelanjakan anggaran perusahaan untuk melakukan suap. TI berupaya juga mendorong agar bisnis jangan mau berkompromi dengan birokrasi yang korup. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertinggi transparansi manajemen keuangan dan pengawasan internal perusahaan untuk menghentikan belanja untuk menyuap birokrasi.

Kondisi Indonesia
Indeks persepsi korupsi Indonesia untuk 2007 menurun. Dari sebelumnya 2,4 pada 2006, turun menjadi 2,3 pada 2007. Artinya, tidak ada perubahan yang cukup berarti dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia selama periode 2006-2007. Dan penilaian kali ini lebih menunjukkan bahwa korupsi di sektor pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, masih sangat tinggi dan memiliki kecenderungan peningkatan. Hal ini dapat dikaitkan dengan tidak adanya pencegahan dan penindakan yang cukup berarti terhadap tingginya pungutan di sekolah, mahalnya biaya obat untuk keluarga miskin, termasuk munculnya mafia perdagangan obat yang sebenarnya gratis untuk keluarga miskin, dan hancurnya infrastruktur utama di banyak daerah.

Sebenarnya, indeks persepsi korupsi Indonesia sempat terdongkrak pada 2006 dibanding pada 2005, yang hanya mencapai 2,1. Asian Intelligence Newsletter yang diterbitkan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menjelaskan bahwa naiknya persepsi korupsi Indonesia saat itu banyak disebabkan oleh gencarnya kampanye antikorupsi pemerintah untuk melaksanakan visi-misi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. PERC adalah satu-satunya lembaga di Asia yang paling dirujuk oleh TI dalam membuat indeks korupsi. Artinya, jika merujuk pada survei PERC, penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia kali ini disebabkan oleh agenda pemberantasan korupsi Yudhoyono-Kalla yang mulai tidak jelas arahnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan rendahnya inisiatif pemerintah dalam menyelesaikan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan serta rendahnya pembangunan infrastruktur karena anggaran negara banyak terparkir di rekening pejabat dan dipakai untuk membeli sertifikat Bank Indonesia dan bermain saham di pasar bursa.

Indonesia oleh TI dimasukkan dalam klasifikasi 72 negara miskin (versi Bank Dunia) yang memiliki tingkat korupsi tinggi dengan CPI di bawah angka 3. Di sisi yang lain, angka pertumbuhan kemiskinan di Indonesia terus meningkat dari 35 juta jiwa (15,97 persen) pada Februari 2005 menjadi 39 juta jiwa (17,75 persen) pada Maret 2006. Jika dikaitkan dengan statistik kemiskinan, penurunan indeks ini sangat masuk akal untuk menyimpulkan bahwa korupsi adalah salah satu faktor utama penyebab kemiskinan di Indonesia, terutama problem korupsi di birokrasi yang menyebabkan melambungnya harga pelayanan dasar. Penurunan nilai CPI pada 2007 harus menjadi tamparan bagi pemerintah Yudhoyono-Kalla. Tabiat birokrasi sebagai monster pengisap darah kaum miskin harus segera dibenahi. Kasihan rakyat kita, sudah miskin, dikorupsi lagi!

Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 Oktober 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan