Subsidi
Ada seorang pakar ekonomi, yang kebetulan pejabat eselon I di sebuah departemen, mengeluh betapa sulit meyakinkan rekan- rekannya yang non- ekonom bahwa subsidi adalah tidak sehat. APBN yang mengandung pos subsidi, betapapun kecil, adalah tidak sehat. Maka jika masyarakat dan bangsa Indonesia bisa diyakinkan untuk suatu ketika menghapuskan sama sekali pos subsidi dari APBN, ia sungguh akan merasa sangat puas (lego).
Tentu kita dapat menjamin bahwa pakar ekonomi ini adalah pakar ekonomi konvensional yang menyelesaikan studi lanjutnya di Amerika, serta sangat setia dan percaya penuh pada teori-teori ekonomi neoklasik yang tertulis dalam buku-buku teks. Maka, akan menarik untuk mengetahui reaksinya jika diajukan pernyataan Prof Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, yang baru-baru ini berceramah di Jakarta sebagai berikut: Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government.... Since typical American style textbook relies so heavily on a particular intellectual tradition the neoclassical model.
Kalau terhadap peringatan Stiglitz ini ia bergeming (bersikukuh) dan mengatakan bahwa bagaimanapun perekonomian yang tanpa subsidi lebih sehat daripada perekonomian yang menanggung beban subsidi, kita dapat mencoba mengingatkan pernyataan John Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice, sebagai berikut: A theory however elegent and economical must be rejected or revised if it is untrue; likewise laws and institutions no matter how efficient and well arranged must be reformed or abolished if they are unjust. (Rawls, 2001:3)
Menghapus subsidi pupuk
Tidak biasa Kompas marah luar biasa. Dengan judul editorial Semoga Pemerintah Tidak Bermain Api, Kompas hari Kamis 6 Januari 2005 menggugat pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pada petani kita yang hidup dalam kemiskinan. Bagi petani, subsidi pemerintah merupakan satu-satunya andalan bagi mereka untuk bisa bertahan. Lebih lanjut ditulis: Kalau kita ingatkan pemerintah untuk tidak bermain api, sama sekali tidak ada keinginan untuk memanas-manasi keadaan. .... Terus terang kita bertanya-tanya ke mana sebetulnya arah keberpihakan pemerintah ini. .... Pemerintah sangat tidak suka kalau dikatakan liberal. Tetapi, sepertinya negara yang paling liberal dan membuka seluruh pasarnya adalah Indonesia.
Kita yang sedikit tahu seluk ekonomi pertanian Indonesia, yang pernah protes keras keluarnya Inpres No 9/1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) bulan April 1975, dapat memahami kemarahan Kompas. Mengapa Dr Susilo Bambang Yudhoyono yang menulis disertasi Doktor tentang Pembangunan Pertanian dan Perdesaan rupanya tidak mengetahui ada anggota kabinet yang mengkhianati misi pemerintahannya untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan petani?
Rupanya sangat banyak pejabat pemerintahan SBY-Kalla yang berpikiran persis seperti pakar ekonomi konvensional yang disebut pada awal tulisan ini. Bagaimanapun, segala jenis subsidi harus dihapus karena subsidi dalam bentuk apa pun dan berapa pun adalah penyakit yang kalau dibiarkan akan menggerogoti kesehatan perekonomian Indonesia.
Terlihat jelas dalam iklan pemerintah untuk membela rencana kenaikan harga BBM yang diberi judul Subsidi BBM selama ini dinikmati golongan mampu dan orang kaya, bahwa pemerintah bertekad jalan terus dalam rencananya menaikkan harga BBM meskipun mahasiswa dan masyarakat yang berakal sehat menolaknya melalui berbagai argumentasi ekonomi yang rasional.
Jika pemerintah bertekad menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi, tanpa pandang bulu, mungkin rakyat masih berusaha memahaminya. Tetapi, yang aneh memang pemerintah justru tidak konsekuen karena sama sekali tidak ada tanda-tanda akan menghapus subsidi bunga/dana rekapitalisasi perbankan yang dimasukkan dalam pos pengeluaran APBN. Jika subsidi pupuk ZA dan SP-36 yang dihapus hanya bernilai Rp 400 miliar, mengapa subsidi Rp 45 triliun yang sudah berjalan lima tahun, yang notabene dinikmati oleh penjahat-penjahat perbankan, tidak ada tanda-tanda akan dihapus?
Rakyat yang hanya sedikit tahu logika ekonomi, tetapi sangat paham ukuran-ukuran keadilan, pasti memprotes kebijakan pemerintah yang sangat tidak adil ini. Pemerintah dengan menaikkan harga BBM bermaksud mencabut subsidi yang pasti berakibat pada kenaikan harga-harga umum, dan pasti memberatkan kehidupan rakyat. Tetapi meneruskan pemberian subsidi pada orang- orang kaya eks-konglomerat, yang kini menikmati subsidi bunga obligasi pemerintah yang luar biasa dengan uang rakyat ini, akan merupakan tragedi nasional yang sangat menusuk hati rakyat.
Subsidi tidak jahat
Saya sangat bersimpati pada kemarahan Kompas yang menggugat subsidi pupuk senilai Rp 400 miliar yang benar-benar memukul petani tebu dan petani hortikultura. Saya khawatir mereka benar-benar akan berdemo ke Jakarta untuk menuntut pencabutan subsidi yang sangat tidak adil ini.
Jika pada bulan April 1975 petani TRI tidak berani memprotes Inpres No 9/1975 yang memasukkan kembali sistem kapitalisme liberal dalam perkebunan tebu di Jawa, liberalisasi ekonomi pertanian/perkebunan kita sekarang pasti akan diprotes secara keras oleh petani kita.
Petani kita memilih SBY- Kalla karena percaya sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Pak SBY dan Pak Kalla akan mengadakan perubahan kebijakan ekonomi yang akan lebih berpihak kepada petani. Rakyat petani sungguh akan kecewa berat jika harapan ini tak terpenuhi.(Mubyarto Guru Besar Ekonomi UGM )
Tulisan ini diambil dari Kompas, 12 Januari 2005