Suara Anggodo Jadi Pembuka Lagu Rap

Suara rekaman telepon Anggodo Widjojo yang diputar di Mahkamah Konstitusi itu menjadi pembuka lagu berirama rap yang dinyanyikan Marzuki ”Kill the DJ”, musikus dari Yogyakarta, di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (8/11). Hampir seribuan orang berkumpul di sana. Matahari meninggi. Terik membakar, tetapi mereka tidak beranjak, menyimak lirik sarat kritik. Simaklah lirik pembukanya:

Ono cicak nguntal boyo,

Boyo coklat nyekel godo

Ojo seneng nguntal negoro

Mundak rakyatmu dadi sengsoro

(Ada cicak makan buaya,

Buaya coklat memegang pentungan

Jangan suka ”makan” negara

Nanti rakyatmu sengsara)

”Lagu ini saya buat begitu mendengar rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Rasa marah, sedih, dan kecewa bercampur ketika mendengar rekaman itu. Betapa hukum di negeri ini dipermainkan,” kata Marzuki, yang menyelesaikan pembuatan lagunya hanya dalam dua jam.

Tak hanya Kill the DJ, sejumlah penyanyi dan musisi meramaikan acara itu, seperti Slank, Once ”Dewa”, Efek Rumah Kaca, Oppie Andaresta, dan Erwin Gutawa. Sementara Happy Salma, selain membacakan puisi, juga ikut menyanyi. AM Massardi juga membacakan puisi ”Negeri Bedebah”. Pemandu acara pergelaran musik kemarin adalah Indra Bekti dan Sandrina. Beberapa tokoh masyarakat, LSM, dan akademisi, seperti Fadjroel Rachman, Yudi Latif, Eep Saefulloh Fatah, Effendi Gazali, Atmakusumah, Teten Masduki, Danang Widoyoko, dan Erry Riyana Hardjapamekas, bergantian berorasi.

Tua-muda, bahkan anak-anak sekolah, ikut bergabung dalam unjuk rasa yang diberi judul ”Indonesia Sehat Lawan Korupsi” itu.

”Korupsi adalah musuh bersama rakyat. Kami di sini untuk menyatakan sikap melawannya. Kita semua merasa diremehkan para koruptor. Mereka kira bisa mengelabui kita, tetapi kita tak tertipu,” kata Once.

Menurut Once, dia ikut bergabung dengan gerakan ini karena menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih diperlukan hingga kejaksaan dan polisi benar-benar bersih.

Erwin Gutawa mengatakan, KPK merupakan harapan terakhir rakyat untuk memberantas korupsi. ”Jadi, saya di sini mendukung lembaga KPK, bukan semata orang-orangnya,” katanya.

Erwin menambahkan, bukan eranya lagi takut mengkritik dan bukan saatnya lagi penguasa tak mau mendengar kritik. ”Rakyat tak bisa lagi dibungkam lagi,” ucapnya.

Keberanian bersikap itu juga ditunjukkan Johan, siswa kelas III sebuah SMA di Bumi Serpong (BSD) Tangerang. Seumur- umur baru sekali ini ia ikut demonstrasi. ”Saya datang bersama 21 kawan sekolah. Ini pengalaman pertama kami, tetapi kayaknya akan ikutan terus,” katanya.

Agnes, teman Johan, menambahkan, ”Kami sudah minta izin orangtua dan guru. Semua mendukung.” Dari BSD, anak-anak itu naik kereta api, turun di Tanah Abang, lalu menyambung dengan bus kota.

Acara yang digalang komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) itu, menurut Agam Faturrachman, salah satu penggiatnya, adalah untuk mendekatkan gerakan antikorupsi kepada masyarakat. ”Ini juga untuk mengingatkan bahwa rakyat sudah sedemikian marah terhadap koruptor. Ini gerakan orang biasa, gerakan rakyat antikorupsi,” katanya.

Effendi Gazali, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, memeriahkan suasana dengan slogannya, ”Cicak jaya, koruptor mati, Presiden bangun”.

Tak ketinggalan, ratusan facebookers—sebutan untuk pengguna jejaring sosial Facebook di internet—pagi itu ikut turun ke jalan bergabung dengan massa Cicak lainnya. Di dunia maya, dukungan facebookers kepada KPK sudah lebih dari 1 juta anggota.

Suara rakyat

Di mata Effendi Gazali, dukungan facebookers terhadap KPK lebih baik dan jelas dibandingkan dengan sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut dia, apa yang disampaikan oleh forum tersebut sangat mewakili pendapat masyarakat kebanyakan. ”Apa yang disampaikan mereka (facebookers) ini pada dasarnya sederhana, yakni supaya polisi bersih, kejaksaan bersih, sehingga rakyat bisa percaya kepada penegak hukum,” katanya.

Kritik terhadap DPR, yang dinilai lebih memberi angin kepada polisi, memang deras mengalir dari masyarakat. Beberapa orator mengkritik para anggota Dewan yang tidak kritis dan membebek kepada kekuasaan. Sasaran kritik lainnya adalah kepolisian dan kejaksaan. Beberapa orang membawa poster Anggodo Widjojo, yang didandani dengan seragam polisi berpangkat jenderal dengan tulisan di bawahnya: ”Kapolri”.

Indira Sugondo, anggota DPR dari Fraksi PDI-P periode 1999-2004, mengatakan, apa yang dilakukan DPR saat ini tak jauh beda dengan DPR pada masa lalu. ”Rakyat tak bisa mengharapkan mereka. Apalagi DPR sekarang sudah dikuasai partai penguasa, sedangkan oposisi tiarap,” kata Indira, yang mengundurkan diri dari DPR pada tahun 2002, ”Saya mundur karena DPR tidak bersikap dalam kasus Bulog Gate II.”

Indira pagi itu datang bersama tujuh cucu, anak-anak, dan menantunya. ”Ini momentum untuk mereformasi hukum dan pengadilan. Perbaiki kejaksaan, polisi, bahkan juga KPK. Kami ingin ikut bagian menggerakkannya,” katanya.

Agam mengatakan, baru 11 tahun kekuatan rakyat merobohkan Orde Baru yang korup. Kini, rakyat kembali bergerak. Rakyat mungkin lelah, tetapi tak akan diam. Seperti ditulis dalam lirik lagu Kill the DJ:

Mungkin kita capek revolusi

Mungkin kita bosan demonstrasi

Tapi jangan pernah berhenti

Paling tidak tunjukkan rasa peduli

Untuk Indonesia yang kita cintai.... (WIN)

Ahmad Arif

Sumber: Kompas, 9 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan