Suap Jaksa Kasus BLBI

Bagaikan Vampire Demokrasi
Siapa loba akan keuntungan gelap, mengacaukan rumah tangganya, tetapi siapa membenci suap akan hidup. [Bijak Bestari Purbakala Timur Tengah dalam Proverbs XV:27]

KPK menangkap tangan koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI berinisial UTG saat menerima suap senilai USD 660 ribu dari seorang pria berinisial AS. Dugaannya adalah suap tersebut terkait dengan penghentian kasus BLBI Sjamsul Nursalim (JP, 03/03).

Jaksa Agung Hendarman Supandji pernah mengingatkan bahwa kasus BLBI memang mirip hutan belantara yang penuh memedi atau hantu (JP, 03/03). Ternyata, peringatan Jakgung diabaikan dan jaksa UTG tertangkap hantu di hutan belantara.

Kasus suap terhadap jaksa penyelidik kasus BLBI merupakan preseden buruk law enforcement dalam proses demokratisasi. Jika Hendarman menggunakan metafora memedi, maka penulis memakai metafora vampire, ikon dalam imajinasi film-film horor, hantu pengisap darah.

Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam refleksi hasil seleksi KPK, korupsi memang buruk, tetapi jauh lebih buruk adalah korupsi dalam penanganan kasus korupsi (Cermin Kegagalan Pemberantasan Korupsi, JP, 08/12/2007).

Suap dalam penanganan kasus korupsi bagai vampire yang berpotensi menyebabkan demokrasi menjadi sekarat.

Anatomi Suap
Menganalisis kasus suap ini, penulis memakai pendekatan Susan Rose-Ackerman (2000). Disebut sebagai suap karena suatu pembayaran mencakup dua dimensi, yakni memberikan quid pro quo (manfaat timbal balik) dan kedudukan sang penerima suap yang tidak tepat.

Dimensi pertama, quid pro quo yakni pihak pemberi menerima penghentian penyelidikan perkara, sedangkan pihak penerima meraup profit finansial dalam jumlah tidak sedikit. Sedangkan dimensi kedua, pihak penerima tidak berada dalam kedudukan menerima uang.

Pembayaran denda atau kewajiban, berapa pun nilainya, adalah hak negara, bukan hak penyelenggara negara. Penyelenggara negara menerima insentif, bukan denda atau kewajiban. Karena itu, pembayaran kewajiban Rp 3,4 triliun oleh pihak Sjamsul Nursalim bukanlah suap karena diterima oleh pihak yang berhak, dalam hal ini negara.

Dalam analisis Rose-Ackerman, suap tidak memiliki kekuatan penaatan kontrak yuridis formal karena merupakan penyelesaian persoalan di luar meja hijau. Justru karena merupakan penyelesaian alternatif nonyuridis dan biasanya murah, sehingga merupakan suatu pelanggaran hukum positif.

Penaatan kontrak antara pemberi dan penerima suap didasarkan atas empat elemen, yakni kepercayaan, reputasi, penyanderaan, dan kewajiban timbal balik. Kepercayaan adalah awal suap.

Adagium satire Amerika Latin berbunyi A los amigos todo, a los enimigos nada, al extrano la ley (Untuk sahabatku: segala-galanya, untuk musuhku: tak sedikit pun, untuk orang asing: undang-undang).

Tidak heran, kepercayaan, suatu nilai etis positif, justru berubah menjadi pintu masuk pada endemik kleptokrasi karena relasi resiprokal patronase (patron-client) dengan hasil win-win solution.

Kelemahannya adalah merugikan pihak ketiga, dalam hal ini hukum dan masyarakat.

Selain itu, relasi resiprokal patronase dalam kasus suap biasanya didasarkan pada reputasi kotor pejabat publik atau penerima suap. Pemberi suap tahu bahwa penerima adalah orang yang bisa cincai-cincai. Yang aneh, jaksa UTG disebut-sebut sebagai salah seorang jaksa terbaik tanah air yang menjadi bagian dari 35 jaksa terbaik daerah yang ditugaskan menyelidiki kasus BLBI.

Hal itu sebenarnya membuktikan bahwa semua manusia sudah jatuh dalam dosa dan rentan penyimpangan. Tidak ada satu manusia pun yang imun dari kejahatan.

Elemen lain penunjang praktik suap dan penaatan kontraknya adalah sandera reputasi. Jaksa penyelidik memegang rahasia koruptor sebagai kartu truf sehingga koruptor tidak bisa berkutik. Apalagi, nilai suap biasanya lebih kecil daripada nilai kewajiban yang seharusnya dibayarkan kepada negara.

Kasus suap atau setidaknya gratifikasi ex-post (setelah transaksi) dapat berubah menjadi modal ex-ante (sebelum transaksi) berikutnya. Hal ini akan membentuk satu elemen lagi, yakni kewajiban timbal balik. Hal itulah yang menyuburkan praktik korupsi jika hukum tidak ditegakkan.

Ketidakadilan dan Kemiskinan
Anatomi dan kultur suap yang terus bertumbuh, bahkan koeksis dengan proses demokratisasi, sejatinya merugikan. Hal ini disebabkan, di mana pun praktik KKN berlangsung, sulit mencapai keadilan dalam kriteria substantif sekalipun dapat saja memenuhi keadilan prosedural-administratif.

Apalagi jika praktik korupsi dalam pemberantasan korupsi. Korupsi dipakai sebagai pupuk untuk menyuburkan korupsi. Hasilnya, korupsi akan beranak-pinak serta menghancurkan hukum dan demokrasi. Pada gilirannya, angin kemiskinan menyapu negeri bencana ini.

Antonius Steven Un, peneliti filsafat, etika dan demokrasi pada Reformed Center for Religion and Society Jakarta, tinggal di Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan