Suap DPR

Pengaruh uang di parlemen mulai menampakkan wajah aslinya. Satu per satu kedok suap- menyuap anggota DPR mulai terkuak.

Daftar mereka mungkin akan kian panjang karena sejak pendulum kekuasaan bergeser dari eksekutif ke DPR di era reformasi, indikasi penyimpangan kekuasaan di DPR sudah menyebar dalam tiap fungsi parlemen, dalam hubungan dengan institusi pemerintah, negara, dan bisnis.

Dari delapan kasus suap di DPR yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, suap-menyuap itu terkait kebijakan resmi yang dibuat oleh komisi-komisi di DPR. Artinya, jika ada, pengaruh uang dalam setiap kebijakan itu bukan tindakan perorangan atau oknum, tetapi produk kolektif. Tentu saja seperti dalam teori hubungan korupsi dan demokrasi, pengaruh korupsi akan memusatkan perhatian kepada politisi yang paling murah dibeli (Rose-Ackerman, 2000).

Penting dikaji lebih jauh tipologi suap di DPR. Apakah karena inisiatif si penyuap atau karena ada unsur pemerasan?

Pengakuan terdakwa Azirwan dalam kasus Al Amin dan pengusaha rekanan dalam kasus Bulyan Royan di pengadilan mengonfirmasikan adanya keadaan yang memaksa mereka harus menyediakan uang atau gratifikasi dalam bentuk lain. Tentu saja akibatnya sama: kedua pihak tidak mau mematuhi asas kebijakan umum yang lazim. Di sini regulasi atau persyaratan good governance dijadikan rintangan sehingga mereka yang mau menghindari harus membayar.

Realitas itu menarik untuk menyusun cara membongkar jaringan suap di DPR. Saya yakin jika KPK menempatkan si penyuap sebagai peniup peluit dan berani mengambil diskresi untuk mengabaikan mereka dari tuntutan hukum akan banyak anggota DPR yang masuk bui. Tawaran ini rasanya akan disambut kalangan ”korban” dari pemerintah dan bisnis daripada mereka harus menerima risiko yang sama diadili. Dalam pembicaraan informal, kalangan pemerintah dan bisnis sering mengeluhkan, setiap interaksi dengan anggota parlemen, baik melalui undangan rapat dengar pendapat, pembahasan undang-undang, maupun kunjungan kerja, mereka harus menyediakan apa yang kadang disebut amplop, ucapan terima kasih yang tak lazim.

Konvensi Menentang Korupsi OECD (2002) memang masih menoleransi perusahaan untuk memberi facilitating payment kepada pemegang otoritas atas jasa-jasa kecil, tetapi signifikan untuk memperlancar urusan bisnis yang dipersulit tanpa alasan, tetapi tidak untuk mendapatkan kontrak bisnis.

Kepentingan umum

Menangkap bandit besar dengan bandit kecil adalah moralitas universal perang terhadap kejahatan terorganisasi. Yang harus diperhitungkan dalam upaya ini adalah kepentingan umum adanya sistem politik yang bersih. Ke depan, parpol yang tak mau kehilangan suara dalam sistem pemilu yang mengarah kepada kandidat mungkin harus melakukan perbaikan sistem pemilu internal yang lebih demokratis untuk memilih kader-kader mereka yang berkualitas dan jujur.

Meski probabilitas politisi kotor untuk tertangkap masih rendah—karena relatif sedikit jumlah mereka yang diadili sehingga belum menakutkan mereka untuk berhenti korupsi—tidak berlebihan jika pujian diberikan kepada KPK yang mulai membidikkan sasaran ke arah tepat.

KPK jilid pertama sama sekali tidak menyentuh DPR meski ada dua mantan menteri yang sudah dibui. Barometer Korupsi Global Transparency International selama tiga tahun terakhir sejak 2005 menempatkan tiga pilar demokrasi—yaitu parpol, DPR, dan aparat penegak hukum—ada dalam wilayah mother of corruption, yang mengakibatkan korupsi memiliki sistem imunitas sendiri.

Pergeseran korupsi dari model predatori zaman Soeharto ke model transaktif pada kekuasaan politik yang terfragmentasi sejak Pemilu 1999 telah memperlihatkan korupsi yang menyebar, kecil-kecil dan acap berdiri sendiri, tetapi cenderung tidak terkendali karena tak ada lagi raja bandit yang ditakuti utuk menjaga batas-batas kleptokrasi.

Celakanya, seperti Andrew McIntire (2003) bilang, dalam sistem kekuasaan yang menyebar, sulit melakukan perubahan yang cepat. Ini berbeda dengan Pemerintah China yang dapat melakukan pemberantasan korupsi secara efektif melalui tindakan hukum yang keras terhadap pemuka-pemuka Partai Komunis yang duduk dalam pemerintahan, dan reformasi birokrasi di tingkat daerah untuk memperbaiki kualitas pelayanan umum.

Dalam kleptokrasi yang masih lemah seperti sekarang, tidak sekuat bandit menetap (Olson, 1993), ada kecenderungan memelihara kesemrawutan birokrasi untuk memaksimalkan kemungkinan korupsi.

Karena itu, program reformasi birokrasi untuk menutup setiap peluang korupsi sulit dilaksanakan di sini. Lihat hasil reformasi birokrasi di kejaksaan dan Mahkamah Agung, misalnya. Kita berharap reformasi di Departemen Keuangan akan berjalan lancar meski di Bea dan Cukai kedodoran sehingga para pengusaha banyak mengeluh karena diperlambat, padahal gaji mereka ada yang hampir sepuluh kali lipat.

Dari sisi penegakan hukum, level korupsi yang ditangani KPK dan kejaksaan hingga kini mayoritas baru menyentuh pejabat menengah ke bawah. Dari 175 orang yang telah divonis, 38 persen adalah pejabat menengah dan 61 persen pejabat rendahan (ICW, 2007). Karena itu, wajar jika pengaruhnya masih kecil meski jumlah kasus korupsi yang dibongkar meningkat dan mendapat liputan luas media, tetapi sepertinya belum menyurutkan mereka untuk berhenti korupsi. Lihat, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun lalu turun dari 2,4 (2006) ke 2,3 (2007).

Bunuh diri?

Mungkin langkah KPK mengarahkan salah satu targetnya ke DPR dinilai sebagai bunuh diri. Soalnya, bisa saja DPR menarik kembali mandatnya dari KPK dan menjadikannya komisi ompong seperti komisi yang lain.

Suara-suara ke arah itu sudah lama diteriakkan sejumlah anggota Komisi Hukum di DPR yang ingin menghapus kewenangan KPK dalam hal penyadapan yang terbukti jitu menangkap koruptor, termasuk gagasan mengembalikan Pengadilan Tipikor di bawah pengadilan umum.

Intervensi politik serupa pernah terjadi saat Jaksa Agung Mr Soeprapto mengadili atasannya, Menteri Kehakiman Mr Jodi Gondokusumo, akhir 1950-an, yang juga pemimpin parpol.

Masalahnya, kini KPK tak bisa mundur. Sang gladiator hanya punya satu kesempatan: ”membunuh” atau ”dibunuh”. Ingat, perlawanan dari persekongkolan elite koruptor untuk mematikan KPK bisa lewat banyak pintu: dipenggal lewat DPR atau Mahkamah Konstitusi, bisa juga disusupi agen koruptor.

Teten Masduki Aktivis Antikorupsi

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan