Suap di Kalangan Hakim Sulit Dibuktikan, Ibarat Gas Karbon Dioksida [17/06/04]

Kepala Direktorat Pidana Mahkamah Agung Moegihardjo menegaskan, praktik suap yang terjadi di kalangan hakim sangat sulit dibuktikan. Pemberian suap terhadap hakim itu ibarat gas CO2 (karbon dioksida) yang ada baunya, tetapi bentuknya tidak tampak.

Jadi, kalau memang terjadi hal yang demikian, memang pembuktiannya agak sulit, ujarnya ketika menjawab pertanyaan Djasri Marin, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, tentang bagaimana membuktikan penyuapan, pada saat uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, Rabu (16/6), di Gedung DPR.

Hari ketiga pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan ini, selain Moegihardjo, DPR juga menguji sembilan calon hakim agung, yakni I Made Tara (Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar), Imam Soebechi (Kepala Direktorat Tata Usaha Negara MA), Kardjan (Ketua PT Makasar), Lay Minggus (Wakil Ketua PT TUN Surabaya), Marina Sidabutar (Wakil Ketua PT TUN Medan), Mohammad Dalail (Ketua PT Mataram), Monang Siringo-Ringo (Ketua PT Medan), Muhammad Taufik (Ketua PT Palembang), dan M Baedhowie Haryosusanto (Hakim PT DKI Jakarta).

Dalam makalahnya, Moegihardjo menyatakan visinya bahwa seorang hakim agung harus memiliki komitmen yang kuat, integritas, dan kepribadian yang tidak tercela. Dalam mengadili perkara, hakim haruslah bebas dari pengaruh kekuasaan dari mana pun dan oleh siapa pun.

Meskipun demikian, ia menyatakan tantangan yang dihadapi MA saat ini adalah tunggakan perkara mencapai 20.000 perkara, sementara hakim yang ada di MA kini tinggal 37 orang.

Selain ditanyakan bagaimana membuktikan suap, Moegihardjo juga ditanya bagaimana strateginya dalam menyelesaikan tumpukan perkara di MA, termasuk apakah ia pernah menerima ucapan terima kasih dari pihak yang berperkara.

Panitera naik BMW

Yang menarik, ketika hampir selesai menjawab pertanyaan, tiba-tiba anggota Komisi II, JE Sahettapy, mengajukan pertanyaan kepada Moegihardjo bagaimana pendapatnya dengan seorang panitera di PN Surabaya yang naik mobil BMW, tetapi tidak pernah ditegur. Kami tidak pernah mengetahui masalah itu dan dari mana uangnya, juga orangnya saya juga tidak tahu Pak, ujarnya.

Mendengar jawaban tersebut, Sahettapy langsung memotong, Bukan itu, yang saya maksud itu indikasi korupsi apa tidak buat diperiksa oleh MA?

Moegihardjo menyatakan hal itu memerlukan pembuktian. Namun, Sahettapy malah balik bertanya berapa gaji panitera saat ini, yang dijawab Moegihardjo berkisar Rp 1,5-2 juta. Bisa beli BMW? tanya Sahettapy yang dijawab Moegihardjo tidak bisa.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan kemarin, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota Komisi II DPR tidak hanya berkisar masalah hukum, mulai bagaimana menangani perkara yang menumpuk di MA sampai pada kehidupan pribadi para calon termasuk asal usul harta kekayaan yang mereka miliki saat ini.

Bahkan, terhadap Marina Sidabutar ditanyakan bagaimana mengatur kehidupan pribadinya, karena suaminya juga berprofesi hakim. Ia juga ditanya bagaimana pendapatnya soal persaingan antarhakim perempuan.

Sebaliknya, Baedhowie Haryosusanto ditanya kenapa berhutang Rp 369 juta dan dari mana yang empat bidang tanah yang dia miliki saat ini. Oleh Baedhowie dijawab itu adalah utangnya di bank dan koperasi yang dijadikan sebagai sumber usahanya.

Tidak hanya itu, gelar pun mendapat pertanyaan dari anggota DPR. Seperti yang dialami Mohammad Dalail, gara-gara gelar SH, MH, dan PhD yang melekat di belakang namanya, ia malah mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari Sahettapy dan beberapa anggota Komisi II DPR.

Misalnya, pertanyaan yang diajukan Sahettapy, apa bedanya retroaktif dan retrospektif, tetapi Dalail tidak bisa menjawab. Bahkan, tidak ada satu pun pertanyaan Sahettapy yang dijawabnya.

Uji kelayakan dan kepatutan masih akan berlangsung hingga 18 Juni 2004. Sampai kemarin yang sudah diuji DPR berjumlah 26 orang, tinggal 18 orang lagi yang belum diuji. Setelah itu DPR akan memilih 12 hakim peradilan umum dan dua hakim tata usaha negara. (SON)

Sumber: Kompas, 17 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan