Studi Banding Menambah Penghasilan Anggota DPRD; Setiap Komisi Membutuhkan Sedikitnya Rp 60.000.000
Ketua Perhimpunan Bandung Institute of Governance Studies atau BIGS Dedi Haryadi mengamati, studi banding yang dilakukan anggota DPRD Kota Bandung bertendensi mencari tambahan uang penghasilan.
Kalaupun mendapat tambahan ilmu, mereka tidak pernah memublikasikannya secara detail, apalagi untuk meningkatkan pembangunan kota.
Belajar itu sah-sah saja. Namun, jangan boros, ujar Dedi, Selasa (28/8) di Bandung. Selain itu, lanjut Dedi, sebaiknya frekuensi studi banding dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Sebagai gantinya, anggota DPRD Kota Bandung dapat mencari cara lain untuk belajar dari daerah yang lebih maju. Mereka bisa melihat dari internet atau memanggil satu orang dari daerah yang dianggap maju. Ini akan mengirit biaya, kata Dedi.
Komisi B dan Komisi C DPRD Kota Bandung baru saja kembali dari studi banding. Komisi B ke Kota Palembang dan Batam pada tanggal 21-24 Agustus, sementara Komisi C ke Kabupaten Badung, Bali, 22-25 Agustus.
Wakil Ketua Komisi B, M Iqbal Abdul Karim, di kantornya, mengatakan, studi banding ke Kota Palembang bertujuan melihat pola pengelolaan dan pengembangan pasar tradisional di sana. Sebab, koperasi pasar tradisional di Kota Palembang telah berkembang. Salah satu indikasinya adalah bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional sebesar Rp 15 miliar untuk salah satu koperasi pasar di sana.
Menurut Iqbal, ada dua kunci keberhasilan koperasi di Kota Palembang. Pertama, Pemerintah Kota Palembang membina koperasi dengan melibatkan masyarakat luas. Dengan cara ini, semua warga ikut bertanggung jawab. Kedua, sebelum pasar dibangun, harus ada kesepakatan bulat dari para pedagang dan investor. Masyarakat juga ikut dilibatkan secara bersama-sama dan konsisten.
Yang bisa ditarik ke Kota Bandung, pemberdayaan koperasi pasar tradisional. Dinas Koperasi Kota Bandung harus bergerak untuk mendata dan membina koperasi pasar. Kemudian, mengajukan konsep seperti Kota Palembang ke Wali Kota untuk menjadi pertimbangan revitalisasi pasar, kata Iqbal.
Adapun kepergian 11 anggota Komisi B ke Batam, kata Iqbal, untuk melihat pola penertiban pedagang kaki lima (PKL). Ketika masih menggunakan sistem otorita, tidak banyak PKL di Batam. Namun, setelah masuk sistem otonomi daerah, PKL menjamur karena regulasinya menjadi longgar.
Sekarang ini, Pemerintah Batam mengambil tindakan tegas terhadap PKL. Tetapi, pemerintah setempat juga menyediakan lahan relokasi yang memadai bagi mereka sehingga PKL yang jumlahnya mencapai 6.000 itu bisa tertib, kata Iqbal. Pemkot Bandung juga dapat menertibkan PKL asal tegas. Rp 60 juta
Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung Yod Mintaraga mengatakan, studi banding Komisi C untuk melihat pola penataan menara base tranceiver station (BTS) di Kabupaten Badung, Bali. Pemerintah Kabupaten Badung mampu menyederhanakan 126 titik menara BTS menjadi 46 titik. Pola yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Badung dapat ditiru Pemkot Bandung yang selama ini kesulitan menertibkan menara BTS.
Sekretaris DPRD Kota Bandung Ebet Hidayat mengatakan, dalam sekali studi banding, setiap komisi membutuhkan dana sedikitnya Rp 60 juta. Dana ini bisa membengkak bergantung pada harga tiket pesawat masing-masing tujuan.
Menurut Ebet, ini belum termasuk uang surat perintah jalan (SPJ) dan uang representatif yang nilainya mencapai Rp 500.000 per hari per orang. Satu komisi terdiri dari 11 orang. Maka, uang SPJ dan representatif ini mencapai Rp 5,5 juta per hari. Padahal, rata-rata studi banding menghabiskan waktu empat hari. (MHF)
Sumber: Kompas, 29 Agustus 2007