Studi Banding DPR: Menyingkap Kegagalan Hingga Mendorong Perbaikan

Pernyataan Pers

Fakta Terkini
Tidak keliru rasanya jika kita menyebut semester pertama tahun kedua keanggotaan DPR periode 2009-2014 merupakan periode tambahan studi banding, setidaknya bagi Komisi VIII (membidangi Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan), Komisi X (membidangi Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian, dan Kebudayaan) dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Ketiga alat kelengkapan tersebut sebelumnya telah melakukan studi banding pada 2010 (selengkapnya lihat Daftar Kunjungan ke Luar Negeri atau Studi Banding Alat Kelengkapan DPR Periode 2009-2014 sepanjang Oktober 2009 s/d Mei 2011).

Daftar Kunjungan tersebut mengkonfirmasi pula bahwa Komisi I (yang membidangi Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi) menjadi alat kelengkapan paling aktif mengadakan studi banding selama masa reses. Lima negara, Amerika Serikat, Rusia, Turki, Perancis, dan Italia, dikunjungi Komisi I. Padahal akhir 2010 lalu, Komisi I sempat berjanji mendukung moratorium studi banding, meskipun saat itu moratorium yang dimaksud tidak terlampau jelas batasannya sampai mana.

Dari Daftar Kunjungan itu pula akhirnya kita bisa mengetahui bahwa sepanjang Oktober 2009 hingga Mei 2011, terhitung 58 kali studi banding dilakukan oleh berbagai alat kelengkapan DPR periode 2009-2014.

Menyingkap Kegagalan
Dari 58 kali studi banding dimaksud atau dari 143 kali kunjungan ke luar negeri yang dilakukan oleh alat kelengkapan (tidak termasuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP) pada keanggotaan DPR periode 2004-2009, kami menemukan beragam fakta yang sangat mempertaruhkan resiko keefektifitasan studi banding. Kami mempertanyakan pula dimana letak urgensi serta kemampuan studi banding selama ini sebagai alat bantu mendapatkan data dan informasi.

Dari 143 kali kunjungan ke luar negeri tersebut, 3 (tiga) laporan saja yang dipublikasikan oleh (hanya) satu alat kelengkapan, yaitu Komisi III. Dilihat dari isi laporan, terdapat perbedaan dari segi format, muatan, dan bobot informasi yang disajikan. Bahkan untuk studi banding yang ke Swedia, hanya tersedia satu lembar laporan, yang tidak lebih dari sekedar deskripsi singkat kegiatan dan jadwal. Kondisi yang serupa dapat ditemukan juga pada laporan studi banding Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Hortikultura  ke Belanda yang hanya terdiri atas 2 (dua) halaman. Yang pasti, keduanya juga tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kaitan antara temuan dan hasil telaah selama studi banding dengan capaian terakhir substansi RUU.

Laporan studi banding (i) BURT ke Maroko, Jerman, dan Perancis atau studi banding (ii) Panja RUU Kepramukaan ke Korea Selatan, Jepang, dan Afrika Selatan, atau studi banding (iii) Badan Kehormatan (BK) ke Yunani adalah contoh laporan yang hingga saat ini belum dipublikasikan secara resmi melalui situs www.dpr.go.id. Bahkan sangat disayangkan, situs www.dpr.go.id tidak menyediakan fitur tersendiri yang menempatkan laporan kunjungan keluar negeri yang dilakukan BURT dan BK. Padahal harus diakui, laporan tersebut sebenarnya sudah tersedia, setidaknya dari apa yang diberikan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR kepada Indonesia Corruption Watch (ICW).

Kedangkalan data dan informasi yang diperoleh dari sebuah kegiatan studi banding nampak pula dari laporan studi banding Panja RUU Kepramukaan ke Afrika Selatan yang tak berbeda jauh dengan penjelasan yang ada di situs www.scouting.org.za/sasa atau laporan studi banding etika keparlemenan yang dilakukan BK yang sebenarnya merupakan materi dari Standing Orders of the Hellenic Parliament yang dapat diperoleh melalui http://www.hellenicparliament.gr/Vouli-ton-Ellinon/Kanonismos-tis-Voulis/

Temuan studi banding juga ternyata tidak diolah dan didesain untuk mampu menjawab kebutuhan data dan informasi terkait pembahasan suatu RUU. Sebagai contoh, Komisi III sebelumnya telah melakukan studi banding ke Swiss (6-12 Juni 2009) dan Rusia (24-29 Mei 2009) dalam rangka pembahasan RUU Tindak Pidana Pencucian Uang. Status RUU tersebut tidak selesai pada DPR periode 2004-2009. Kemudian, DPR periode 2009-2014 memasukkan RUU Pencucian Uang ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2010 dan kembali diprogramkan studi banding ke Perancis dan Australia pada 7-13 Juni 2010. Kondisi yang sama dipratekkan pula oleh BURT saat melakukan studi banding ke Inggris dan Amerika Serikat (1-7 Mei 2011), dengan dalih studi perbandingan tentang penguatan lembaga parlemen. Padahal Pansus RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, atau Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang dibentuk pada 2006 lalu telah melakukan serangkaian studi banding, dengan maksud dan tujuan yang sama.

Agenda Perbaikan
Kami mendorong moratorium (kegagalan) studi banding. Atau dengan kata lain mengurangi secara signifikan resiko ketidakefektifitasan studi banding.

Kami mengerahkan perbaikan yang menurut kami bukanlah hal yang mustahil, selagi imajinasi ke arah sana selalu terbangun dan DPR secara terus menerus membangun kepantasan dan mendayagunakan aset yang mereka miliki secara tepat. Badan Legislasi (Baleg) secara tidak sadar pernah melakukannya, dengan mengganti model kunjungan ke negara tujuan studi banding dengan sarana korespondensi, dalam rangka pembahasan RUU Bantuan Hukum.

Bukan hanya menyangkut anggaran transportasi atau akomodasi, kami juga menaruh perhatian terhadap alokasi anggaran publikasi atas laporan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kegiatan studi banding (bisa dipelajari dari tabel Anggaran Kepustakaan dan Sistem Informasi DPR).

Kami mencatat, hampir semua kegiatan studi banding yang selama ini berjalan, khususnya terkait RUU yang diusulkan oleh DPR, dilakukan mendekati babak akhir pembahasan, bukan saat penyusunan naskah akademik dan perancangan awal naskah RUU.

Kami mendesak agar aspek perencanaan dan pertanggungjawaban menjadi agenda prioritas, bukan sekedar memangkas anggaran studi banding. Seluruh ketentuan Pasal 143 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR tidak mengatur dan memerintahkan penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding. Akibatnya prinsip akuntabilitas jadi terabaikan.

Pernyataan kami hari ini merupakan sinyal bahwa kami siap untuk berinteraksi dengan pimpinan DPR, BURT, dan Setjen DPR guna menjajaki berbagai kemungkinan perbaikan, terutama mengefektifkan penggunaan Term of Reference (ToR) sebagai media perencanaan dan Field Report (FR) untuk aspek pertanggungjawaban kegiatan studi banding.

Jakarta, 8 Mei 2011

Indonesia Corruption Watch (ICW): Ade Irawan (081289486486)
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK): Ronald Rofiandri (0818747776)
Indonesia Budget Centre (IBC): Roy Salam (081341670121)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan