Strategi

Gebrakan KPK menahan mantan Kepala Polri Jenderal (pur) Rusdihardjo, menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka, serta menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dan Arthalita Suryani dalam kasus dugaan penyuapan merupakan bagian dari strategi efek jera dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Gebrakan KPK menahan mantan Kepala Polri Jenderal (pur) Rusdihardjo, menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka, serta menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dan Arthalita Suryani dalam kasus dugaan penyuapan merupakan bagian dari strategi efek jera dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Ketua KPK Antasari Azhar sendiri beberapa hari lalu menyebut strateginya itu sebagai strategi memotong satu ayam untuk menakuti banyak monyet (10/3/2008). Metafora ketua KPK ini menarik dicermati karena terkesan menyederhanakan masalah yang kompleks dan efektivitas penjeraan yang meragukan.

Tentu saja koruptor bukanlah monyet. Itu hanya metafora. Tetapi, metafora dari KPK tersebut cenderung membawa kita pada konsep mazhab klasik bahwa orang melakukan kejahatan karena telah menimbang untung-rugi melakukan kejahatan. Memang benar, sesuai konsep ini, pelaku korupsi mungkin akan mengurungkan niat korupnya begitu tahu bahwa koruptor lain sudah dijebloskan ke dalam penjara.

Ternyata, ditinjau dari perspektif ini pun, strategi potong ayam agar monyet takut juga tidak valid. Mengapa? Koruptor tentu telah menghitung untung-rugi korupsinya. Dengan kondisi kita saat ini, sangat mungkin dia tetap merasa untung melakukan korupsi.

Hal itu disebabkan probabilitas untuk tertangkap atau dihukum -apalagi dihukum berat- di negeri ini masih rendah. Data dari Indonesian Corruption Watch (2007) bahkan menyebut, setidaknya, 30 koruptor Indonesia hidup bebas di luar negeri. Sidang-sidang perkara korupsi pun (khususnya melalui pengadilan umum) banyak berujung pembebasan.

Apalagi jika kita tinjau dari perspektif yang lebih modern, di mana orang melakukan kejahatan dipengaruhi banyak faktor di luar si pelaku. Maka, metafora di atas jelas kurang pas. Betapa tidak, koruptor yang diibaratkan monyet justru akan menyalahkan koruptor lain (yang diibaratkan ayam) yang begitu mudah tertangkap dan dipotong.

Meminjam pendapat Sutherland dengan differential association-nya, perilaku kejahatan dipelajari termasuk modus dan caranya lolos dari jerat hukum. Tentu para koruptor terus akan mengembangkan strategi yang lebih jitu untuk tidak terjerat hukum, dan bukan ketakutan seperti monyet dalam metafora di atas.

Masih Percaya Diri
Menurut hemat saya, koruptor di Indonesia masih percaya diri melakukan aksi-aksinya. Mereka bukanlah ayam yang mudah disembelih dan juga bukan monyet yang gampang takut melihat darah. Koruptor kelas ratusan miliar hingga triliunan mungkin sama digdaya dan jurusnya dengan gembong mafia.

Dalam organisasi mafia, antisipasi atas sepak terjang penegak hukum dilakukan secara sistematis. Bahkan, ada unit khusus yang menangani (menyuap, mengancam, atau mengintimidasi) penegak hukum dari tingkat bawah hingga paling tinggi. Bukan hanya itu, para koruptor mempunyai plan A hingga plan Z untuk bisa lolos dari jerat hukum.

Para penegak hukum pun -termasuk KPK- tidak sedemikian mudah untuk memotong ayam alias menuntut dan menghukum koruptor. Hal itu disebabkan banyaknya jebakan dalam penegakan hukum. Pertama, masih mudahnya pelaku kejahatan dan harta hasil kejahatan lolos ke luar negeri, serta begitu sulitnya membawa kembali keduanya ke dalam negeri. Ekstradisi pelaku korupsi sulit dijalankan karena beberapa faktor (antara lain perbedaan sistem hukum, status belum tersangka, dan perbedaan definisi korupsi).

Kedua, problematika kewenangan antarlembaga serta interpretasi hukum. Contoh paling aktual, kasus BLBI telah merugikan kita hingga ratusan triliun rupiah, tetapi hingga kini masih diperdebatkan apakah KPK bisa mengambil alih kasus itu dari kejaksaan. Mengingat sepak terjang KPK selama ini, tentu beralasan jika soal kewenangan itu dibiarkan tidak tuntas.

Ketiga, korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan banyak aktor yang terlibat. Dari kasus korupsi DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) yang lalu kita bisa ambil sebagai contoh bagaimana uang negara telah disebar secara meluas sehingga mampir di banyak tokoh dan lembaga. Dalam konteks ini, tidak tertutup kemungkinan banyak dana telah disebar guna memengaruhi proses penegakan hukum.

Melihat hal-hal di atas, jelas bahwa strategi membunuh satu ayam agar semua monyet takut tampaknya tidak tepat. Korupsi di negeri ini sangat canggih untuk diumpamakan dengan perilaku ayam dan monyet. Korupsi di negeri ini sudah sangat sistemik dan licik.

Jakarta, 12 Maret 2008

Topo Santoso, advisor pada Partnership for Governance Reform, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan