Staf Khusus Butuh Perhatian Khusus
Kalau jadi, sebentar lagi presiden, wakil presiden, dan para menteri akan dikelilingi oleh sejumlah orang yang disebut dengan staf khusus. Mereka diangkat secara resmi oleh menteri yang bersangkutan atas persetujuan presiden dan gajinya dibebankan kepada APBN. Presiden akan dikelilingi oleh 10 orang staf khusus, wapres mendapat lima orang, dan para menteri kebagian masing-masing tiga orang staf khusus. Dengan komposisi Kabinet Indonesia Bersatu yang berjumlah 36 orang menteri, maka paling tidak akan ada kurang lebih 118 orang staf khusus, ditambah 10 orang yang 'mengabdi' kepada presiden dan 5 orang untuk wapres. Total jenderal ada 133 orang staf khusus.
Tidak dapat dipungkiri, kebijakan ini agak kontroversial mengingat beberapa alasan.
Pertama, yang akan segera terbayang adalah adanya alokasi anggaran baru yang cukup besar untuk membayar 133 orang staf menteri tersebut, yang pasti gajinya tidaklah kecil. Mereka-mereka yang diangkat mestilah para profesional, akademisi/ilmuwan, serta para orang hebat lain yang punya reputasi di bidangnya masing-masing, yang tentu tidak akan bersedia digaji rendah.
Sebab, untuk ikut mengurusi dan memikirkan masa depan negara yang semakin ruwet ini tentu mereka haruslah mencurahkan segenap pemikiran dan energi kreatif yang mereka miliki sedemikian rupa, sehingga barangkali akan menyita seluruh waktu mereka. Dan, kemungkinan besar para profesional dan akademisi/ilmuwan itu akan kehilangan kesempatan untuk mengurusi pekerjaan dan bisnis mereka yang lain. Kalaulah benar dia seorang profesional atau ilmuwan, tentu mereka akan sangat berhitung mengenai opportunity cost yang harus mereka bayar dengan menerima jabatan staf khusus itu, dengan cara 'yang paling lazim' menegosiasikan harga yang pantas untuk jasa mereka. Dan, tentu itu akan sangat tinggi.
Atau, barangkali para menteri itu akan mendapatkan para profesional dan akademisi/ilmuwan mumpuni di bidangnya dengan harga murah, dengan konsesi para profesional dan akademisi/ilmuwan itu akan diberikan akses seluas-luasnya untuk mengeruk keuntungan pribadi, dengan backing kekuasaan sang pejabat. Tetapi kalau yang akan direkrut itu adalah para profesional dan akademisi/ilmuwan sejati yang punya reputasi baik di bidangnya, rasa-rasanya sulit membayangkan mereka akan mengambil opsi ini. Tentulah mereka tidak akan mempertaruhkan reputasi profesionalisme jangka panjang, yang telah mereka bangun dengan susah payah dalam waktu yang lama, hanya dengan konsesi seumur jabatan itu. Meskipun bukan berarti hal ini tidak mungkin.
Kemungkinan yang paling lumrah adalah sang pejabat mendapatkan staf khusus yang mau dibayar murah tetapi dengan mengabaikan kualitas sang staf. Inilah yang biasanya terjadi di masa lalu dan disinyalir merupakan pintu KKN baru. Dengan tidak menutup kemungkinan pertama di atas juga akan mengakibatkan KKN, kemungkinan kedua ini tampaknya adalah pintu paling rawan bagi penyelewengan.
Pengalaman menunjukkan, di masa lalu ada banyak pejabat negara yang memiliki orang-orang kepercayaan di sekelilingnya yang tidak jelas apa fungsinya. Orang-orang kepercayaan itu bisa dengan bebasnya hilir mudik keluar-masuk ruang kerja sang pejabat dan bahkan menjadi broker politik yang membisniskan kedekatannya dengan sang pejabat tersebut. Kasus yang terjadi di Departemen Agama pada masa Said Agil Al-Munawwar di mana staf khusus itu ikut bermain dalam proyek haji adalah salah satunya. Atau 'yang paling tragis' kasus Soewondo sang staf khusus (baca: tukang urut) pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang terlibat pembobolan Yayasan Bina Sejahtera Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar Rp35 miliar, adalah kasus yang lain lagi.
Sampai batas tertentu praktik seperti ini masih terjadi sampai hari ini. Bukan rahasia lagi kalau para pejabat publik kita mempunyai sejumlah orang di sekeliling mereka yang 'entah dengan atau tanpa sepengetahuan sang pejabat' menjadi semacam kaki tangan sang menteri untuk urusan-urusan tertentu, di luar staf-staf resminya yang sah. Hal ini berlaku tidak hanya pada pejabat tinggi negara selevel presiden dan menteri, bahkan para gubernur, bupati, bahkan sampai pada level yang lebih rendah lagi. Hal yang sama juga berlaku di kalangan anggota DPR atau DPRD.
Jangan ditanya urusan kualitas orang-orang ini. Karena satu-satunya paspor untuk bisa menduduki posisi istimewa di sisi sang pejabat itu adalah 'kepercayaan', dengan definisinya yang sangat subjektif. Dengan bekal kepercayaan itulah banyak urusan penting bahkan genting dipercayakan sang pejabat kepada orang-orang ini, yang tidak jarang menuai banyak masalah di kemudian hari oleh karena faktor kepercayaan yang mengatasi kualitas tadi.
Kedua, kebijakan ini cenderung kontraproduktif mengingat para menteri tersebut memiliki wewenang untuk melakukan reformasi birokrasi. Para pejabat setingkat eselon satu dan di bawahnya di beberapa departemen dan kementerian itu sudah banyak yang harus diganti. Setelah enam bulan pemerintahan SBY-Kalla, sejumlah departemen dan kementerian itu belum kunjung lengkap juga struktur organisasinya. Akibatnya, fungsi-fungsi organisasi banyak yang tidak berjalan baik.
Kasus somasi yang dilakukan oleh para pejabat eselon I Departemen Pertahanan kepada Menteri Juwono Soedarsono, kurang lebih ada dalam kerangka penataan internal di birokrasi yang agak lamban itu. Demikian pula dengan inisiatif Menteri Negara BUMN yang lebih suka mengangkat sejumlah pembantunya dari luar, ketimbang mengisi dan mereformasi secepatnya pos-pos jabatan eselon satu yang ditinggal penghuninya.
Dengan kata lain, ada proses yang tidak dilalui dalam kasus pengangkatan staf khusus ini, yaitu reformasi sistem birokrasi, termasuk di dalamnya para birokrat di tingkat pejabat eselon. Reformasi inilah sesungguhnya yang mendesak untuk dilakukan.
Kita tahu, bahwa problem mendasar yang membuat reformasi berjalan sangat lamban ada pada para birokrat kita. Mental para birokrat yang sudah dibentuk selama sekian puluh tahun dalam sebuah sistem sarat KKN membuat reformasi sulit menembus labirin birokrasi yang berlapis-lapis itu. Kemauan politik (political will) pemberantasan korupsi ternyata membentur tembok ini. Dalam satu kesempatan, Presiden Yudhoyono juga pernah mengeluhkan sulitnya memberantas korupsi oleh karena mental para birokrat yang seperti itu.
Nah, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang datang dengan komitmen besar untuk melakukan reformasi, terutama memberantas korupsi seperti yang diamanatkan oleh Instruksi Presiden No 5 tahun 1994 itu, semestinya menggarap isu ini terlebih dahulu. Mengingat para birokrat inilah sejatinya aparat resmi yang dimiliki negara yang usianya pasti lebih panjang daripada kekuasaan politik sang pejabat.
Membiarkan kondisi birokrasi dalam situasi yang immune dari reformasi seperti itu hanya akan menghambat jalannya pemerintahan itu sendiri. Karena apapun yang nantinya akan diproduksi oleh pemerintahan SBY-Kalla akan menjadi tidak bermanfaat dan habis di tengah jalan sebelum sampai kepada publik. Lebih jauh, membiarkan birokrasi masih di huni dengan sistem yang sarat KKN hanya akan menambah panjang penderitaan masyarakat, publik pemilih SBY- Kalla.
Oleh karena itu, mengangkat staf khusus, meski memang dibutuhkan, merupakan solusi yang berjangka pendek. Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah reformasi sistem birokrasi secara keseluruhan, sehingga praktik-praktik kelambanan dan korupsi oleh birokrasi dapat diakhiri untuk selama-lamanya. Mengangkat staf khusus yang sangat skillful dan sangat capable sekalipun akan terasa mubazir jika reformasi di tingkat birokrasi ini tidak terjadi.(Ali Said Damanik, Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 12 April 2005