Sri Mulyani dan Modernisasi Pajak
"You are guilty until you proven innocent (Sri Mulyani, 2010)."
WAKTU cepat berlalu dan tak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Kemarin (5/5) berita mengejutkan muncul mengenai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Berita itu sangat mengembirakan sekaligus menyedihkan, setidaknya bagi saya. Gembira karena Ibu Sri Mulyani diakui dunia (lagi) dengan penunjukannya sebagai managing director World Bank. Sebaliknya, sedih karena mau tidak mau Ibu Sri Mulyani akan meninggalkan Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, yang saat ini diuji serta masih disembuhkan dan sangat membutuhkan karakter pemimpin seperti beliau.
Maraknya pemberitaan tentang Sri Mulyani akhir-akhir ini kembali membuka memori saya mengenai beliau. Setidaknya mengenai sepak terjang beliau dalam meletakkan fondasi modernisasi perpajakan di Indonesia. Sebagai orang yang ikut dalam gerbong modernisasi, saya merasakan betul bahwa kebijakan yang dia ambil sangat memengaruhi keberhasilan modernisasi tersebut.
Secara pribadi, saya tidak mengenal dekat Ibu Ani (panggilan beliau). Tetapi, wacana tentang pemikirannya sudah saya kenal saat masih kuliah pada 1990-an. Saat itu Ibu Ani menduduki jabatan kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia. Pemikiran kritis ditunjang data yang akurat merupakan ciri khas beliau dalam menjabarkan sesuatu. Bagi saya yang merupakan mahasiswa nonekonomi kala itu, membacanya sungguh mengasyikkan. Pemikiran beliau bersaing ketat dengan analisis ekonomi Kwik Kian Gie waktu itu, yang dimuat secara reguler di sebuah harian nasional.
Awalnya, modernisasi di Ditjen Pajak berjalan di tempat. Sebab, pada 2002 sebenarnya modernisasi dimulai, walaupun awalnya dibidani IMF. Tarik ulur terhadap perubahan terjadi. Karena itu, pada periode 2002-2004 modernisasi menjadi stagnan dan tidak menarik di Ditjen Pajak. Semua seakan berjalan lambat dan pemangku kepentingan lebih nyaman pada comfot zone-nya. Permasalahan utamanya, tidak ada lokomotif yang mengerakkan gerbong modernisasi tersebut. Semua menunggu, siapa gerangan sang lokomotif.
Perubahan di Ditjen Pajak baru benar-benar terjadi saat Ibu Ani menjadi menteri keuangan dan Darmin Nasution menjabat Dirjen Pajak. Dengan dukungan penuh, Ditjen Pajak dalam kurun waktu hanya dua tahun telah menuju ke alam perubahan, modernisasi! Pernah suatu waktu SBY berujar bahwa yang dilakukan oleh Ditjen Pajak sekarang bukan hanya modernisasi atau reformasi, tetapi juga silent revolution, revolusi diam-diam. Sebab, perubahaan tersebut cepat dan menyeluruh.
Kantor pajak di seluruh Indonesia telah berubah menjadi lebih baik. Yang dibenahi bukan hanya perangkat kerasnya. Elemen utama, yakni sumber daya manusia, juga diubah. Sistem berbasis kinerja, dukungan teknologi informasi, dan grading pegawai telah dibakukan. Semua jenis pelayanan pajak telah memiliki standard operating procedure (SOP) sehingga terukur.
Sistem remunerasi pegawai diperbaiki. Kinerja pegawai juga dipantau. Reward dan punishment pun diterapkan tanpa pandang bulu. Dalam waktu yang relatif singkat, survei tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap pajak terus membaik. Dengan analisis dan pemikiran yang tajam, beliau memberanikan diri mereformasi birokrasi di Indonesia. Sistem reformasi perpajakan kemudian menjadi cikal bakal utama program reformasi birokrasi pemerintah saat ini.
Saat Ditjen Pajak diterpa masalah karena ulah pihak yang tidak bertanggung jawab, Ibu Ani berdiri di depan. Tujuannya bukan membela tanpa argumentasi, melainkan ingin membenahi Ditjen Pajak secara transparan dan akuntabel. Karakter kepemimpinan beliau untuk terus kukuh bahwa reformasi birokrasi telah berjalan sesuai dengan jalur yang benar dengan mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya merupakan kunci bangkitnya semangat puluhan ribu pegawai Ditjen Pajak.
Saat ini tugas utama Ditjen Pajak semakin berat, yaitu mencapai target penerimaan pajak 2010 di tengah menurunnya kepercayaan publik atas institusi tersebut. Berdasar data APBNP 2010, target penerimaan pajak Rp 658,24 triliun atau naik 16,34 persen dari realisasi penerimaan pajak 2009. Dengan pertumbuhan ekonomi 5,8 persen dan tingkat inflasi 5,3 persen, pertumbuhan alami yang didapat 11,1 persen. Program ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi pajak akan menutupi kekurangan 5,3 persen tersebut.
Geliat perekonomian mulai terasa. Kredit perbankan untuk usaha juga mulai mengalir deras. Selain itu, suku bunga mulai turun. Di lapangan, meningkatnya target penjualan kendaraan bermotor merupakan indikasi membaiknya ekonomi masyarakat.
Peraturan perpajakan sudah sangat mendukung. Berlakunya Undang-Undang PPN baru yang sangat propasar dan pengembalian PPN bagi turis asing bakal langsung mengenjot penerimaan pajak dari sektor pariwisata. Asal Ditjen Pajak segera berbenah, target penerimaan pajak tahun ini optimistis tercapai.
Tentu ada hal utama yang harus diwaspadai jajaran Ditjen Pajak dalam mencapai target penerimaan pajak tahun ini. Yaitu, mengantisipasi efek negatif beberapa kasus pajak, mulai kasus Gayus Tambunan, Bahasyim, pemalsuan surat setoran pajak di Jawa Timur, hingga Paulus Tumewu. Walaupun belum ada pengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak (dilihat dari indikator kepatuhan penyampaian SPT 2009 yang cukup tinggi), gerakan moral untuk memboikot pajak beberapa waktu lalu dapat menjadi peringatan dini.
Di tengah ancaman penurunan produktivitas dan demoralisasi pegawai Ditjen Pajak karena kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, kebutuhan akan karakter pemimpin yang mampu menggugah dan bersemangat, cerdas, serta trengginas, juga memiliki rencana tentang aksi pemulihan yang cepat merupakan suatu keniscayaan. Kalau itu gagal, tidak tertutup kemungkinan reformasi perpajakan kembali ke belakang, ke masa profesionalitas menjadi tidak berarti.
Chandra Budi, staf Ditjen Pajak Kementerian Keuangan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 6 Mei 2010