SP3 Kasus Riau Alot Dibahas

Surat Perintah Penghentian Penyidikan perkara menjadi tema yang dibahas panjang dan alot dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung, Senin (16/2).

Penghentian penyidikan yang menjadi sorotan Komisi III DPR adalah dalam perkara korupsi penjualan kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) Pertamina dan penebangan liar di Provinsi Riau.

Pada hari Senin, raker diskors selama tiga jam. Raker sempat dibuka pukul 09.45. Jaksa Agung Hendarman Supandji menyampaikan, ia dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk rapat terbatas. Akhirnya, raker dihentikan sementara. Raker dibuka lagi pukul 13.30, setelah Hendarman kembali ke Gedung DPR.

Pertanyaan tentang Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara penebangan liar di Riau disampaikan Maiyasyak Djohan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Panda Nababan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Arbab Paproeka dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Mereka mempertanyakan petunjuk Kejaksaan Tinggi Riau kepada Kepolisian Daerah Riau, saat pemberkasan perkara itu.

Pada 23 Desember 2008, Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal (Pol) Hadiatmoko menerbitkan SP3 untuk 13 perusahaan pemilik izin hutan tanaman industri, setelah berkoordinasi dengan Kepala Kejati Riau Suroso. Menurut kejaksaan, unsur melawan hukum terhadap tuduhan perusakan lingkungan dan pembalakan liar hutan sulit dibuktikan.

Berkas penyidikan sempat bolak-balik dari kejaksaan ke Polri dan sebaliknya, dan tak pernah dinyatakan lengkap. Perusahaan itu berada di bawah dua perusahaan besar, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper serta Indah Kiat Pulp and Paper. Dari 14 perusahaan yang diproses terkait pembalakan liar, hanya yang melibatkan PT Ruas Utama Jaya yang dilanjutkan penyidikannya.

”Apabila SP3 memang sesuai undang-undang, selama dua tahun kan kayu dalam status sita. Dua tahun mondar-mandir perkaranya dari polisi ke kejaksaan. Apa tidak abuse? Dua tahun tanpa pertanggungjawaban hukum,” kata Maiyasyak.

Keterangan ahli dari Departemen Kehutanan dalam perkara itu juga dipertanyakan Komisi III DPR. Mengenai ahli dari Dephut, Hendarman menjelaskan, dalam perkara yang menyangkut kehutanan, sudah ada nota kesepahaman (MOU) antara polisi, jaksa, dan Dephut.

”Dari MOU disepakati, keterangan ahli diambil dari Dephut,” kata Hendarman.

Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menyampaikan, Komisi III membentuk tim untuk meneliti lebih lanjut soal penerbitan SP3 kasus di Riau itu. Tim yang diketuai Maiyasyak itu rencananya akan menggelar rapat dengan Kepala Polda Riau, Rabu besok.

Kepala Kejati Riau Suroso yang hadir dalam raker juga diminta menjelaskan perkara pembalakan liar itu. Menurut Suroso, terkait 13 perusahaan pemilik izin hutan tanaman industri, unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi. Pengusaha memiliki izin hutan tanaman industri serta memiliki hak menebang kayu. Berdasarkan keterangan Dephut, mereka tak melanggar undang-undang.

”Hutan yang rusak nanti kan ditanami lagi tanaman industri,” kata Suroso. Ia menambahkan, pencurian juga tidak ada karena kayu yang dibawa keluar dari hutan sah. Pengusaha membayar Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan secara legal.

Dalam berkas penyidikan, ada keterangan ahli, yakni ahli kesuburan tanah dan ahli kebakaran hutan dari Institut Pertanian Bogor. ”Tetapi, tidak ada kebakaran hutan,” ujar Suroso.

Arbab menyinggung pentingnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dengan disampaikannya SPDP ini dari polisi ke kejaksaan saat penyidikan dimulai, mestinya bolak-balik berkas perkara tak akan terjadi.

Perkara VLCC
Mengenai perkara korupsi dalam penjualan kapal tanker raksasa Pertamina, T Gayus Lumbuun dari F-PDIP menanyakan SP3 yang diterbitkan kejaksaan. Dengan dihentikannya penyidikan, status tersangka pada mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, mantan Direktur Utama PT Pertamina Ariffi Nawawi, dan mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Alfred H Rohimone otomatis dicabut.

Hendarman menyatakan, saat menyidik perkara korupsi penjualan VLCC, penetapan tersangka dilakukan untuk membuat terang perkara itu. Dengan demikian, bisa meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memeriksa aliran dana. Namun, ternyata aliran dana itu tidak ada.

”Yang ada dalam kasus VLCC itu adalah pelanggaran administrasi. Satu-satunya jalan, diserahkan ke Pertamina supaya ada sanksi administrasi,” ujarnya.

Dalam raker, untuk pertama kalinya semua kepala kejati hadir. Trimedya menjelaskan, Komisi III DPR memang meminta agar semua kepala kejati hadir. ”Biar mereka juga tahu, seperti apa rapat kerja dengan DPR itu,” kata Trimedya.

Selain itu, kehadiran kepala kejati berhubungan dengan posisi kepala daerah sebagai orang partai politik. ”Kita tidak ingin, untuk kepentingan penguasa, dicari-cari kesalahannya. Jaksa kan menangani perkara korupsi,” ujar Trimedya. (idr)

Sumber: Kompas, 17 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan