SP3 BERMASALAH, KAKAR TUNTUT PERKARA “KORUPSI” AYAT TEMBAKAU DIBUKA KEMBALI

SP3 BERMASALAH, KAKAR TUNTUT PERKARA

“KORUPSI” AYAT TEMBAKAU DIBUKA KEMBALI

Skandal hilangnya ayat dalam Undang-Undang Kesehatan yang menyebutkan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif belum dapat dikatakan selesai. Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (KAKAR) menuntut para pelaku penghilangan ayat itu tetap harus diproses secara hukum, kendati ayat yang hilang itu sudah kembali "ditemukan".

Koalisi pada 18 Maret 2010 pernah melaporkan Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ribka Tjiptaning ke pihak Kepolisian karena dugaan sebagai salah satu orang di belakang hilangnya ayat itu. Proses hukum sempat berjalan dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan juga pelapor. Polisi juga menyebutkan Ribka Tjiptaning, Aisiyah Solekan, dan Dr. Maryani A. Baramuli sebagai tersangka meskipun kemudian dibantah setelah rombongan Politisi PDIP mendatangi Mabes Polri. Proses hukum akhirnya terhenti setelah pada 15 Oktober 2010, Kepolisian menyatakan tidak ada unsur pidana yang dilanggar oleh Ribka dkk.

KAKAR sendiri sejak awal mencurigai SP3 ini bermasalah karena dua alasan. Pertama, alasan politis. SP3 terhadap perkara yang melibatkan Ribka Tjiptaning dkk muncul menjelang fit and propert test calon Kapolri di DPR yang akhirnya memilih Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolri. Patut diduga pencalonan Kapolri tersebut menjadi alat tawar menawar politik yang berdampak pada penghentian penyidikan sejumlah anggota dewan tersebut.

Kedua, penghentian perkara ini janggal dari aspek hukum dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1.      Perkara Penghilangan Ayat Tembakau telah didukung oleh bukti – bukti yang cukup dan dapat dijerat dengan tindak pidana

Perkara penghilangan ayat tembakau sebagaimana telah didukung dengan bukti – bukti yang cukup dan oleh karena itu unsur tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 266 dan Pasal 263 KUHP telah terpenuhi.

Pasal 266 KUHP :

“ (1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Pasal 263 KUHP :

“(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

2.      SP3 dalam Bertentangan Dengan Yurisprudensi

Perkara ini telah memasuki tahap penyidikan, hal ini dapat dilihat dari SP3 yang dikeluarkan oleh Kepolisian, dengan indikator sebagai berikut; sudah ada tersangka; untuk menetapkan seseorang tersangka harus berdasarkan bukti pendahuluan yang berhasil dikumpulkan; perkara yang dilaporkan merupakan tindak pidana kejahatan berdasarkan bukti pendahuluan serta sudah ada penetapan tersangka;

Penghentian penyidikan dengan alasan bukan merupakan tindak pidana padahal sudah ada para tersangkanya, tidak sesuai/bertentangan dengan yurisprudensi (putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Agustus 1983 Reg. No. 645 K/Sip/1982) yang pada pokoknya menjelaskan; “penghentian penyidikan dengan alasan bukan merupakan tindak pidana, jika terkait dengan kompetensi absolut, atau jika ternyata apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun  pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, tidak merupakan pelanggaran atau kejahatan yang termasuk ruang lingkup peradilan umum”.

Menurut KAKAR perkara ini merupakan tindak pidana kejahatan, dan sudah menentukan tersangkanya, kemudian SP3 dengan alasan bukan merupakan tindak pidana adalah alasan yang tidak tepat atau mengada-ngada yang melanggar yurisprudensi, mengakibatkan SP3 yang dikeluarkan adalah tidak sah dan/atau batal demi hukum.


3.      Penyidikan dalam perkara ini belum maksimal

Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atas perkara ini tidak maksimal, maka SP3 yang dilakukan oleh Polisi sangat mengada-ngada dan bertentangan dengan Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP dan Pasal 121 dan Pasal 122 Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengakibatkan surat ketetapan tentang penghentian penyidikan atas perkara aquo tidak sah dan/atau batal demi hukum.

4.      Keterangan Saksi Ahli Chairul Huda tentang Alasan SP3 tidak tepat

Surat Perintah Penghentian Penyidikan ini dibuat berdasarkan pendapat hukum dari Ahli Hukum Pidana Sdr. DR. Chaerul Huda, SH., MH, yang pada intinya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para tersangka tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana.

Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut bahwa apa yang telah dilakukan oleh tersangka adalah secara sadar dan hal ini merupakan suatu kesengajaan untuk menghilangkan salah satu ayat dalam ketentuan Pasal 113 dan perubahan tersebut akan diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, terbukti dengan telah dikirimkannya draft tersebut kepada Sekretriat Negara RI untuk mendapatkan pengesahan oleh Presiden.

Unsur kerugian dengan adanya surat palsu tersebut memang tidak mesti harus berupa kerugian yang sifatnya materiel kepada korban namun kerugian disini justru menimbulkan kerugian bagi masyarakat apabila ketentuan ayat yang terdapat dalam Padal 113 UUKesehatan dihapus.

Unsur-unsur lainnya yang sangat penting dalam pemalsuan surat adalah bahwa seolah-olah hilangnya ayat dalam UU Kesehatan adalah merupakan suatu kebenaran padahal kenyataannya bahwa hal tersebut bukanlah berdasarkan kebenaran, dimana kebenaran terhadap draft ketentuan Pasal 113 sebelum dihapus harus merujuk pada hasil Rapat Paripurna RUU Kesehatan yang tidak menghapuskan ketentuan ayat (2) Pasal 113 UUKesehatan sebagaimana yang dengan sengaja telah dilakukan oleh para tersangka sebagaimana modus tersebut diatas.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh para tersangka telah memenuhi unsur-unsur delik Pasal 263 KUHPidana dan Pasal 266 KUHPidana. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terjadi sesuai uraian sebelumnya menunjukkan bahwa perintah untuk menghapuskan ayat 2 Pasal 113 UUKesehatan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembubuhan penandatangan/paraf dalam setiap perubahan oleh para tersangka sebagai anggota Pansus RUU Kesehatan, sehingga telah merubah draft RUU Kesehatan yang menghilangkan ketentuan ayat (2) Pasal 113 dan draftnya telah dikirim kepada Sekretariat Negara untuk disahkan oleh Presiden merupakan perbuatan tersangka yang telah memenuhi unsur delik yang terdapat dalam ketentuan Pasal 266 KUHPidana.

Apabila ketentuan tersebut hapus maka hal itu akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Mengenai pengembalian ketentuan sebagaimana telah dikembalikan sesuai keputusan Rapat paripurna Pansus RUU Kesehatan yang tetap mempertahankan keberadaan ketentuan ayat (2) Pasal 113, menurut doktrin hukum maka hal tersebut tidak menyebabkan gugurnya hak menuntut kepada para tersangka dan para tersangka tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 266 KUHPidana.

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dan unsur-unsur delik sebagaimana telah diuraikan diatas maka perbuatan yang dilakukan oleh Ribka Tjiptaning dkk merupakan suatu tindak pidana dan melanggar ketentuan Pasal 263 dan 266 KUHPidana.

Oleh karenanya untuk membuka kembali SP3 dalam perkara “korupsi” ayat tembakau maka KAKAR bersama dengan Pelapor akan mengajukan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jakarta, 12 Januari 2012


KAKAR

- Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok -

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan