Sosok dan Pemikiran; Korupsi dan Kemampuan Membuktikan

Indikator membaiknya pemberantasan korupsi yang paling jelas terlihat adalah tersentuhnya lembaga yang dulu tabu diusik oleh penegak hukum. Dulu penegak hukum sering kesulitan menyentuh sesama penegak hukum. Kini penegak hukum sudah berani masuk dan mengungkap perkara korupsi di dalamnya.

Bagi Rudy Satriyo Mukantardjo, indikasi itu sudah menunjukkan perbaikan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak perlu berpatokan indeks persepsi korupsi sebuah lembaga di luar negeri yang belum tentu benar keberadaannya. Alasannya, belum tentu indeks itu didukung data yang memang dimiliki Indonesia. Berbanggalah dengan indeks yang dihasilkan masyarakat Indonesia berdasarkan kondisi penegakan hukum yang ada, tegas Rudy.

Berkaca dari sentuhan kecil penegak hukum pada lembaga kepolisian dan militer itulah, Rudy yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini optimistis pemberantasan korupsi berkembang kian pesat. Kewenangan penegak hukum yang mempersempit peluang orang untuk lepas dari jeratan hukum tindak pidana korupsi, yang dipadu dengan transparansi permasalahan korupsi, menjadi alasan optimismenya.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Rudy di ruang kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di kawasan Salemba, Jakarta. Di sela-sela kesibukan menguji disertasi mahasiswanya, Selasa (11/7), Rudy mengungkap pemikirannya dengan lugas.

Setelah pemberantasan korupsi digencarkan, mengapa indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah?

Kita jangan berpatokan pada indeks persepsi korupsi yang dibuat negara. Kalau menurut saya, justru sekarang ini dengan adanya paling tidak lima sampai tujuh pemberitaan per hari di surat kabar tentang masalah korupsi, maka ada kecenderungan angka tersebut turun. Nyata benar dengan kondisi sekarang, semakin sulit bagi seseorang menjadi pimpinan proyek. Orang lebih baik tidak. Dengan kata lain, ada efek deterensnya (penggentaran), kemudian orang harus hati-hati menjalankan profesi yang berhubungan dengan keuangan atau menjalankan proyek. Di benak saya, indeks persepsi itu sudah turun, tidak seperti kondisi lampau.

Lalu?

Dengan adanya beberapa lembaga yang menangani korupsi, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK, justru semakin sempit peluang orang lepas dari aparat penegak hukum. Apalagi kalau kemudian kita memahami kiprah KPK. Mereka dibekali perlengkapan canggih, penyadapan, dan leluasa menerobos rahasia bank. Menurut saya, aparat semakin efektif walaupun pengeluaran yang dikeluarkan negara melalui KPK belum signifikan dengan hasil tangkapannya dan belum signifikan dengan pengembalian uang negara. Ibaratnya kan, modal dulu keluar, baru nanti ketemu hasilnya.

Perbaikan itu, apa penyebabnya. Kultur kita yang berubah atau peran pemerintah?

Kalau saya lihat, kultur kita belum bisa memperbaiki kondisi korupsi di Indonesia. Namun, yang saya lihat adalah keberanian pemerintah sekarang, kemudian memberikan peluang kepada aparat penegak hukum untuk bergerak walaupun masih terbatas. Kita bisa menerima kondisi ini karena masih berapa lama sih pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ini? Bukan mempromosikan SBY, tetapi kenyataannya demikian. Baru setahun-dua tahun, wajar kalau hasilnya seperti ini. Namun, ini sudah lompatan dibandingkan pemerintahan lalu.

KPK mendobrak karena undang-undangnya memungkinkan?

Undang-undang plus orangnya muda-muda, energik, yang didukung dana kuat. Ini yang kemudian dikatakan pantes-pantes aja kalau KPK berani. Kalau kejaksaan dan kepolisian dikondisikan sama, saya kira bisa juga. Pilih orang tertentu, seperti halnya mereka memerangi terorisme. Mungkin seperti Detasemen 88, tetapi untuk korupsi.

Dengan kata lain, saat ini kita bergantung pada KPK untuk memberantas korupsi?

Benar, ujung tombak kita KPK karena undang-undangnya mengatakan demikian. Bahkan kalau kemudian kasus korupsi ada pada kejaksaan dan kepolisian, KPK sebagai supervisornya. Ini memang barometernya mau enggak mau ditujukan kepada KPK. Jangan sampai KPK hilang sifat panutannya karena masalah yang enggak pantas. Saya setuju benar masalah Suparman... (KPK menangkap salah seorang penyidiknya, AKP Suparman, yang diduga memeras saksi perkara korupsi yang ditangani KPK)

Seleksi

Orang pilihan di kepolisian dan kejaksaan untuk menangani perkara korupsi, menurut Rudy, harus diseleksi berdasarkan kepribadian dan kemampuan penegakan hukum. Kemampuan dapat dibentuk melalui pelatihan, tetapi kepribadian merupakan syarat utama.

Ia juga mengkritik kualitas penegakan hukum. Menurut dia, adalah konyol apabila suatu perkara sudah disidik, dituntut, diajukan ke pengadilan, tetapi lalu dinyatakan tidak bersalah hanya karena penegak hukum tidak punya kemampuan membuktikan tuduhannya. Dalihnya adalah beda persepsi antara jaksa dan hakim

Semestinya standar hukum itu sama. Cuma yang bicara kemudian kemampuan membuktikan. Kalau sampai missed, pasti ada sesuatu yang enggak benar, yang dipaksakan supaya bisa ikut (ke persidangan).

Mantan staf penasihat hukum Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum-FHUI itu lantas mencermati kesan yang muncul di masyarakat bahwa perkara yang ditangani KPK dan masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dipastikan bahwa si terdakwa bersalah. Kesan itu berbahaya karena kemudian dapat dipaksakan seolah-oleh terbukti. Cap seperti itu tidak boleh diberikan karena bisa mengabaikan bukti yang mendukung tidak bersalahnya si terdakwa. Terdakwa itu harus dinyatakan tidak bersalah jika jaksa gagal membuktikan tuduhannya. Dengan demikian, semua aparat penegak hukum, mulai penyidik hingga pengadilan, harus bekerja berdasarkan standar hukum yang benar-benar ada.

Terkait dengan kebebasan pers, mengapa banyak wartawan kini dimintai keterangan sebagai saksi oleh penyidik, berkaitan dengan pemberitaan?

Wartawan itu saya pandang sama dengan tugas investigasi. Tentu wartawan dan penerbitan persnya tidak akan sembarangan mengedarkan beritanya kalau tidak ada bukti kuat. Kalau wartawan memang punya bukti, kenapa tidak disampaikan? Kalau ada bukti, kenapa tidak berani bersaksi di persidangan? Ya enggak ada masalah itu. Namun, sekali lagi, harus kuat tentang bukti yang akan disampaikan. Kalau tak kuat, bisa kena pasal fitnah.

Namun, catatan paling baik adalah seorang wartawan dalam suatu penerbitan tidak bisa dikenakan Pasal 310 KUHP (tentang pencemaran) atau Pasal 311 KUHP (tentang fitnah). Karena yang berlaku buat pers adalah UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Jadi bukan wartawan yang dimintai pertanggungjawaban, tetapi si penerbitnya. Dengan catatan, si wartawan tersebut bekerja sesuai tugas yang diberikan penerbit. Kecuali dia melampaui kewajibannya.

Kalau dikenai tuduhan pencemaran nama baik dalam suatu pemberitaan korupsi?

Ini penting sekali. Kalau buktinya memang kuat, yang wartawan akan jauh dalam posisi seperti itu. Artinya, tidak mungkin wartawan disangka sebagai pelaku tindak pidana. Bahkan kalau bicara soal Undang-Undang Anti-Korupsi atau konvensi antikorupsi, model wartawan yang demikian yang dilindungi sebagai saksi.

Memang benar sekarang Undang-Undang Perlindungan Saksi belum ada. Namun, sudah menjadi bagian kepolisian untuk memberi perlindungan atas model-model yang seperti itu. Kalau wartawan dimintai pertanggungjawaban pidana, tidak bisa dikenai KUHP karena dia bekerja untuk kepentingan pers.

Kebebasan pers tak terganggu?

Saya rasa tidak. Itu kan sebagian dari pertanggungjawabannya pada waktu dia menggunakan kebebasannya. Profesi wartawan kan bebas dalam menyampaikan pendapat. Namun, ada suatu batas kebebasan tersebut. Ia harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan. Satu hal yang biasa. Jadi kalau wartawan sudah bekerja secara profesional dan sesuai etiknya, tidak perlu khawatir. Mekanismenya bebas, kemudian tanggung jawabnya dalam masalah kemampuan membuktikan apa yang telah ditulisnya itu.

Wartawan juga enggak mungkin dikenakan (Pasal) 310 dan 311 (KUHP) tentang pencemaran nama baik dan fitnah. Sebab, di Ayat 3 (Pasal 310 KUHP) ditegaskan, sepanjang yang dilakukan adalah demi kepentingan umum, maka dia tidak dapat dipidana. Di sini fungsi wartawan, memberitakan untuk kepentingan umum. Ada batasannya kapan kemudian dapat dipertanggungjawabkan.

Tahun 1996 Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, tewas setelah dianiaya orang tak dikenal. Diduga akibat berita yang ia tulis. Kondisi sekarang?

Udin kan masa lalu, masa kegelapan Indonesia (Rudy tersenyum miris). Kalau kondisi sekarang, mudah-mudahan tidak terulang karena atmosfernya sudah berbeda. Sepanjang memang ada kemampuan memberikan bukti, plus ingat asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan, itu harus jadi pedoman wartawan. (Dewi Indriastuti)

Sumber: Kompas, 15 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan