Soeharto dan Estrada
Baru-baru ini pengadilan menjatuhkan putusan atas dua mantan presiden di Asia Tenggara. Soeharto, penguasa otoriter rezim Orde Baru, dinyatakan oleh Mahkamah Agung menderita pencemaran nama baik atas pemberitaan majalah Time. Atas pemuatan artikel tersebut, majalah Time dikenai sanksi denda Rp 1 triliun serta harus meminta maaf di media papan atas baik dalam maupun luar negeri.
Ribuan kilometer dari Jakarta, mantan penguasa Filipina yang juga aktor laga beken, Joseph Estrada, dikenai vonis penjara seumur hidup atas penjarahan (plunder) dana publik. Selain itu, Sandiganbayan (pengadilan antikorupsi) melarang Erap--panggilan akrab Estrada--menduduki jabatan publik di tingkat apa pun sampai akhir hayat (Reuters.com).
Investigasi jurnalistik
Kedua otoritas hukum itu menjatuhkan putusan yang bertolak belakang, walau muasal pembongkaran kedua kasus dari hasil investigasi yang dilakukan oleh jurnalis. Terlepas dari tudingan kubu Erap akan intervensi kekuasaan pada proses hukum, yang menarik dicermati adalah kesigapan aparat penegak hukum dalam memproses kasus korupsi.
Ingar-bingar kasus Estrada bermula ketika sekelompok jurnalis independen yang tergabung dalam Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJ) pada awal 2000 mulai mengubek-ubek jaring kekuasaan orang nomor satu Filipina tersebut. Investigasi yang dilakukan selama setahun itu memberikan hasil yang mencengangkan.
PCIJ berhasil melacak aset properti, baik yang diatasnamakan Erap, keluarganya, maupun para gundiknya yang tersebar di Filipina. PCIJ membagi rayon wilayah sebagai daerah operasi dengan menggunakan puluhan tenaga relawan. Dari perbincangan penulis dengan pengurus PCIJ beberapa tahun lalu, para sukarelawan sudah nongkrong sejak pagi di kantor-kantor pertanahan, pajak, security and exchange commission serta pemerintah daerah (town hall) guna memperoleh dokumen yang relevan.
Perburuan tersebut membuahkan hasil. Setelah satu per satu dokumen diteliti, terkuak puzzle yang menghebohkan. Properti Estrada dan keluarganya tersebar di penjuru Filipina meliputi rumah, mansion, vila, dan peternakan. Juga kepemilikan beragam perusahaan maupun saham berbagai entitas bisnis (PCIJ.org).
Temuan ini kemudian dibandingkan dengan laporan harta kekayaan Estrada serta dokumen pembayaran pajak. Indikasi awal adalah ketidakcocokan antara harta kekayaan yang jauh melampaui akumulasi penerimaan resmi baik sebagai pejabat publik (Erap memulai karier politik dari anggota dewan perwakilan rakyat daerah, wali kota, sampai presiden) maupun bintang layar lebar dan iklan. Juga ternyata pajak yang dibayarkan jauh lebih kecil dari keharusan.
Tiga laporan investigasi dengan judul Can Estrada Explain His Wealth? dirilis pada Juli hingga akhir 2000 serta dimuat dalam situs PCIJ.
Bersamaan dengan itu, Luis Chavit Singson, gubernur dari Ilocos Sur, membuat pernyataan bahwa Estrada menerima upeti dari judi jueteng serta penggelapan cukai tembakau. Mendadak sontak, publik Filipina gempar dan skandal ini menjadi komoditas publik. Ujungnya, Estrada menjadi presiden pertama yang dikenai impeachment pada 2001 lalu.
Dalam persidangan selama 6 tahun, akhirnya Estrada terbukti melakukan penjarahan dana publik hingga 4 miliar peso (setara dengan Rp 765 miliar). Pengadilan juga memerintahkan Estrada mengembalikan uang Rp 140 miliar serta mansion yang dibangun untuk selirnya (Reuters.com).
Lantas mengapa akhir drama Estrada berbeda dengan drama Soeharto? Walau temuan Time Asia hasil investigasi selama empat bulan di 11 negara sebangun dengan PCIJ, ujungnya bagai bumi dan langit. Jawabannya terletak pada politik pemberantasan korupsi. Di Filipina, segera setelah laporan PCIJ dan pernyataan Singson terkuak, otoritas hukum dan politik segera mengambil tindakan.
Di ranah politik, senat segera membentuk tim investigasi yang menguji apakah Estrada telah melakukan penyimpangan kekuasaan. Didorong oleh tuntutan publik hingga melahirkan people power kedua, putusan politik untuk memberhentikan Estrada dijatuhkan. Sandiganbayan, pengadilan khusus korupsi yang dibentuk oleh Presiden Aquino kala itu, langsung membentuk tim guna memulai proses hukum. Laporan tersebut dijadikan pijakan awal untuk memulai penyidikan. Sedangkan di Indonesia, yang didahulukan oleh penegak hukum adalah kasus pencemaran nama baik, bukannya menelusuri temuan kejanggalan kepemilikan aset ataupun perusahaan. Pun, jangan lupa, MA adalah lembaga lama yang masih belum tuntas direformasi.
Di Indonesia, ada kesan pemberian privilese kepada mantan presiden Soeharto. Proses hukum atas Soeharto menjadi terombang-ambing dengan alasan kesehatan. Sedangkan di Filipina, Estrada dan bahkan Marcos juga pernah dalam kondisi sakit, tapi proses hukum tetap dijalankan.
Yang membedakan Indonesia dari Filipina adalah tiadanya landasan hukum bagi warga untuk dapat memperoleh informasi. Filipina telah memiliki undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik sejak Marcos digulingkan. Dengan adanya payung hukum ini, siapa pun di sana dapat mengakses data pajak, perusahaan, kepemilikan tanah, dan dokumen keuangan publik sehingga kontrol publik dapat terlaksana.
Lagi-lagi, pemberantasan korupsi serta kebebasan pers harus menelan pil pahit. Jika politik pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan agenda aksi pemerintah, jangan risi jika Indonesia tetap dikategorikan sebagai surga bagi para koruptor.
Luky Djani, peneliti Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 September 2007