Soal Vonis MK terhadap KY
Setelah Mahkamah Konstutusi (MK) dituduh jaksa agung sebagai pelindung koruptor karena membatalkan pasal tertentu dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini MK bisa dituduh sebagai pelindung mafia peradilan. Sebab, MK membatalkan sebagian pasal UU Komisi Yudisial (UU KY) melalui putusannya No 05/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006.
Konsekuensi yuridis putusan MK yang membatalkan pasal tertentu UU KY tersebut, antara lain, diamputasinya wewenang KY dalam mengawasi hakim untuk menegakkan kehormatannya. Kini, KY efektif hanya memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Pengawasan terhadap perilaku hakim akan kembali menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA).
Amanat Konstitusi
Sejatinya, lahirnya KY adalah amanat konstitusi, yakni dalam amandemen UUD 1945 (khususnya amandemen ketiga) yang secara normatif melahirkan lembaga yang bernama Komisi Yudisial. Sebagai amanat konstitusi, kehadiran KY merupakan conditio sine quanon dalam sistem kekuasaan kehakiman, meski KY bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Jadi, bila terdapat pihak yang resistan terhadap eksistensi KY, pihak tersebut telah secara sistematis melakukan pembangkangan terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi yang merupakan kontrak sosial (meminjam istilah J.J. Roussou) dari seluruh rakyat di republik ini.
Setelah diamanatkan konstitusi, kelahiran KY secara teknis dibidani oleh lahirnya UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. UU KY tersebut merupakan tonggak penting dalam struktur ketatanegaraan RI, khususnya yang berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaku kekuasaan kehakiman.
Dengan lahirnya KY, MA tidak lagi memonopoli pembinaan serta pengawasan terhadap para hakim, melainkan sudah harus berbagi wewenang dengan KY.
Jika dikaji secara normatif, baik dari ketentuan dalam konstitusi maupun dalam UU KY, wewenang utama KY adalah hanya pada dua hal. Yakni, pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung. Kedua, wewenang lain untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Betapa luhur tugas yang dibebankan kepada KY tersebut.
Dengan wewenang dalam konstitusi dan UU KY tersebut saja, masih terdapat problematika yuridis di dalamnya. Apalagi pasca putusan MK yang semakin menghabisi wewenang KY, terutama berkaitan dengan pengawasan perilaku hakim. KY kini menjadi lembaga negara yang layu sebelum berkembang.
Memang, dalam beberapa hal, KY juga salah fatal dalam menjalankan tugasnya seperti memasuki wilayah teknis peradilan dengan cara melakukan eksaminasi terhadap putusan peradilan. Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi di Bank Mandiri (Neloe cs). Tetapi, tidak sepatutnya kaki dan tangan KY dibabat habis oleh MK atas alasan tersebut.
Pada setahun berkiprah sebelum putusan MK tersebut, KY telah menghasilkan 18 rekomendasi yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan para hakim. Namun, di antara semua rekomendasi tersebut, tidak ada satu pun yang digubris MA.
Hal itu menandakan adanya sikap arogan dari lembaga yang diposisikan sebagai benteng terakhir pencari keadilan. Bahkan, MA seakan meledek habis-habisan KY dengan mengangkat kembali Nana Juwana sebagai ketua pengadilan tinggi. Padahal, KY merekomendasikan untuk diberhentikan sementara setahun karena kasus putusan pilkada Depok.
Awal Harapan
Kelahiran KY sebagai lembaga independen dalam sistem kekuasaan kehakiman sebenarnya merupakan awal harapan untuk menegakkan kewibawaan peradilan yang sudah runtuh akibat ulah para mafia peradilan.
Dengan demikian, kehadiran KY justru akan memberikan nilai tambah demi mengembalikan citra lembaga peradilan yang sudah rusak. KY bisa menjadi sebuah katarsis dalam pembebasan penyakit-penyakit dan stigma yang melekat pada lembaga peradilan selama ini.
Proposisi tersebut merupakan hal yang sulit, jika reformasi peradilan dimulai dari dalam MA. Reformasi peradilan harus dilakukan dari luar lembaga peradilan. Hal itu dimungkinkan dengan dimulai dari lembaga KY.
Namun, awal titik harapan tersebut sekarang sudah sirna dengan adanya putusan MK tersebut. Harapan untuk mengurai benang kusut mafia peradilan telah menemui tembok tebal yang tidak bisa ditembus. Tembok tebal itu bernama MA dan MK. MK yang semula diharapkan merupakan benchmark bagi sistem peradilan di negeri ini kini bergandeng erat dengan MA untuk melindungi hakim yang berperilaku tidak luhur yang merendahkan martabat sendiri.
Memang, MK telah menunjukkan kualitas yang sangat bermutu pada beberapa putusannya sebelumnya. Namun, hakim-hakim konstitusi dalam MK juga manusia biasa yang tidak bisa dilepaskan dari beberapa unsur pelengkap sebagai manusia seperti kepentingan dan mungkin tekanan.
Kepentingan MK dalam putusan ini adalah kepentingan kelembagaan, di mana hakim konstitusi sedapat mungkin untouchable dari pengawasan lembaga lain, dalam hal ini pengawasan dari KY. Mereka lupa bahwa manusia perlu nasihat dari manusia lain. Ajaran agama yang dianut sebagian besar hakim konstitusi menyatakan bahwa saling bernasihat-nasihatlah di dalam kebenaran dan kesabaran.
Dengan pengawasan dari KY, mereka sebenarnya lebih nyaman dalam menjalankan tugas negara sebagai hakim. Namun, mereka berpikir sebaliknya.
Memang, MK dalam pertimbangan putusan tersebut sedemikian sahih mengungkapkan teori hukum dan meta teori hukum tingkat tinggi yang sangat sulit dipatahkan orang awam.
Namun, keadilan tidak mesti didapatkan dari orang-orang yang berkepandaian setingkat kepandaian dewa sekalipun. Kadang keadilan bisa dipetik dari seorang buruh yang dihukum hanya karena memakai (baca: dituduh mencuri) sandal bolong di perusahaan tempat dia bekerja.
Dr M. Hadi Shubhan, pengajar di Fakultas Hukum Unair Surabaya, (hadi_unair@yahoo.com)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 Agustus 2006