Soal SP3 Sjamsul Nursalim, Kejaksaan Bersikukuh [27/07/2004]

Meskipun mendapat sorotan dari sejumlah kalangan, namun Kejaksaan Agung tetap bersikukuh pada sikapnya bahwa pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara korupsi Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia) adalah sah. Sebaliknya, kejaksaan menilai pendapat sejumlah kalangan yang menyatakan SP3 tersebut tidak sah adalah keliru.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman, kepada wartawan, Senin (26/7), menegaskan bahwa pemberian SP3 tersebut ada dasar hukumnya.

Banyak tanggapan dari pengamat hukum yang menyatakan SP3 tersebut tidak sah, karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pendapat ini sangat keliru, ujarnya.

Alasannya, karena kasus penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, seperti kasus Sjamsul Nursalim tidak bisa disangkakan berdasarkan UU No 31/1999.

Menurut Kemas, dalam kasus BLBI dipakai UU korupsi yang lama yakni UU No 3/1971, karena dalam Aturan Peralihan UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 disebutkan, terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No 31/1999 diberlakukan UU No 3/1971. Sebaliknya terhadap tindak pidana yang terjadi setelah UU No 31/1999 baru diberlakukan UU 31/ 1999.

Tidak hanya itu, di dalam asas umum hukum pidana, Pasal (1) Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan apabila terjadi perubahan undang-undang, maka ketentuan yang menguntungkan terdakwa yang diberlakukan. Itu asas umum hukum pidana. Jadi tidak benar kalau orang mengatakan bahwa SP3 itu tidak sah, paparnya.

Kemas juga menegaskan, SP3 yang dikeluarkan Kejagung terhadap Sjamsul Nursalim, bukan karena Sjamsul Nursalim sudah membayar lunas, melainkan karena berdasarkan kebijakan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 8/2002.

Dalam Inpres tersebut disebutkan bahwa terhadap debitur yang kooperatif dan telah membayar lunas hutangnya diterbitkan Surat Keterangan Lunas oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setelah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

Nah terhadap debitur yang telah memperoleh SKL itu diberikan jaminan kepastian hukum, baik perdata maupun pidana, ujarnya. (SON)

Sumber ;Kompas, 27 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan