Soal Penegakan Hukum; Mahfud: Presiden Harus Campur Tangan

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus berani campur tangan dalam proses penegakan hukum di Tanah Air.

"Presiden bisa menyuruh kepolisian dan kejaksaan ke arah yang jelas, itu harus. Sebab, penegak hukum tertinggi adalah presiden," kata Mahfud di kantornya kemarin.

Pada Selasa lalu, Yudhoyono meminta pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono menjelaskan soal kasus Gayus Halomoan Tambunan, tahanan dan terdakwa mafia pajak yang bisa melakukan pelesiran ke Bali, serta vonis politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mukhammad Misbakhun. Namun, dalam rapat di kantor Presiden tersebut, Yudhoyono menegaskan bahwa ia tak akan, tidak mungkin, dan tak boleh melakukan intervensi pada sisi hukum karena bukan kewenangannya.

Menurut Mahfud, campur tangan Presiden dalam ranah penegakan hukum bukan berarti Presiden mengintervensi proses hukum. Sebab, keduanya merupakan hal yang berbeda.

Presiden, kata Mahfud, tak bisa mengintervensi proses pengadilan. Sebab, hal itu sudah masuk ke ranah yudikatif, yang sifatnya independen. Namun, sebaliknya, Yudhoyono bisa melakukan intervensi terhadap lembaga penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, yakni kepolisian dan kejaksaan.

"Kalau ke Jaksa Agung dan Kapolri, presiden bisa intervensi," ujar Mahfud. Misalnya presiden bisa mengeluarkan instruksi kepada kepolisian dan kejaksaan, dua institusi penegak hukum yang selama ini terbelenggu kolusi.

Berkaitan dengan kasus pelesiran Gayus, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Martin Hutabarat, menghormati permintaan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menyelesaikannya dalam waktu 10 hari. Dalam tenggat itu, polisi harus mengusut tuntas seluk-beluk keluarnya Gayus dari Rumah Tahanan Markas Komando Brimob di Kelapa Dua, Depok.

"Kapolri harus menindak mafia hukum yang terlibat keluarnya Gayus serta mengungkap apa yang dilakukan Gayus selama di Bali," kata Martin. Namun, jika dalam jangka waktu itu polisi tak bisa merampungkan, Komisi Hukum DPR akan meminta secara resmi agar Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasus tersebut. MAHARDIKA SATRIA | AMIRULLAH | DWI WIYANA
 
Sumber: Koran Tempo, 19 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan