Soal Kenaikan Gaji DPR; Tak Ingin, Terserah Saja

Kalau tidak ada ribut-ribut soal usul kenaikan gaji, meski sudah sepuluh bulan menjadi anggota DPR, saya tidak tahu persis berapa sebenarnya gaji seorang anggota DPR.

Yang saya tahu, setelah dipotong berbagai macam, saya mendapat sisa uang 11 juta rupiah. Itu saya ketahui dari bukti setoran sisa gaji setiap bulan dari kesekjenan DPR ke rekening bank yang saya tunjuk untuk menampung gaji. Bukti penyetoran yang menyebut berbagai potongan itu tak pernah saya perhatikan sama sekali karena saya tak hendak mempersoalkannya.

Setelah ada ribut-ribut bahwa DPR mengusulkan kenaikan gajinya sendiri dari Rp 28,37 juta (anggota) dan Rp 40,1 juta (pimpinan) menjadi masing-masing Rp 48,15 juta dan Rp 82,1 juta, barulah saya bertanya kepada rekan sefraksi, Nursyahbani Kacasungkana. Apa betul selama ini gaji kita Rp 28,37 juta itu?

Ternyata, ada komponen pendapatan anggota DPR yang langsung disetorkan ke rekening dan tidak dilaporkan dalam rincian penyetoran gaji, yakni tunjangan listrik, telepon, dan lain-lain sebesar Rp 6 juta. Dari Nursyahbani-lah, saya tahu gaji yang masuk ke rekening saya sebagai anggota DPR setiap bulannya adalah Rp 17 juta.

Saya memang tidak pernah memeriksa, bahkan hampir tak pernah, menarik uang dari rekening gaji saya yang dari DPR. Bukan apa-apa, sampai sekarang, saya masih aktif mengajar pada program pascasarjana di berbagai perguruan tinggi. Jumat sampai Ahad, saya mengajar rata-rata tiga sampai empat sesi setiap hari dan setiap mengajar saya selalu mendapat uang cash dalam jumlah yang cukup untuk konsumsi kelas ekonomi sampai seminggu berikutnya.

Karena sekali datang saya mengisi tiga sampai empat sesi, maka setiap kampus tidak harus saya datangi setiap minggu, melainkan saya datangi secara bergiliran untuk sekaligus kuliah sampai tiga atau empat sesi.

Adapun tempat saya mengajar ialah di UII, UGM, UI, Unsoed (Purwokerto), UMS, UIR (Pekanbaru), Unilak (Pekanbaru), dan Universitas Udayana (Denpasar). Sesekali saya juga mengajar di Unisda (Lamongan) dan Uniska (Kediri) serta menjadi oponen ahli untuk penulisan disertasi di Unpad (Bandung) atau Unair (Surabaya).

Rata-rata, dua minggu sekali saya berbicara di seminar atau memberikan orasi ilmiah yang juga mendapat uang yang cukup. Saya juga menulis beberapa buku yang secara rutin menghasilkan royalti.

Pendapatan dari hasil mengajar, seminar, royalti buku, dan lain-lain sampai sekarang sudah sangat cukup untuk membiayai aktivitas saya dan keluarga tanpa mempersoalkan berapa gaji saya sebagai anggota DPR.

Apalagi, dari DPR dan MPR masih sering diterima uang cash sebagai honorarium di luar gaji untuk tugas-tugas yang sifatnya insidental, termasuk uang reses. Untuk saya yang hampir dalam semua hal biasa berkonsumsi dalam kelas ekonomi, cukuplah pendapatan-pendapatan itu, apalagi keluarga saya tinggal di Jogja yang biaya hidupnya lebih murah bila dibandingkan dengan di Jakarta.

Oleh sebab itu, saya pribadi tak pernah menginginkan agar gaji anggota DPR itu dinaikkan. Tetapi, saya juga tidak dapat membantah pendapat anggota DPR yang lain bahwa gaji anggota DPR itu sangatlah pas-pasan. Maka, meski tak ingin, saya nyatakan terserah kalau mau dinaikkan.

Sebagai bandingan, dapatlah dikemukakan pengeluaran saya setiap bulan, meliputi tiket pesawat (4 minggu) Rp 5 juta, transpor lokal (bensin, jalan tol, parkir) Rp 2 juta, pulsa telepon/listrik Rp 3 juta, sopir dan pembantu Rp 3 juta, makan keluarga sehari-hari Rp 7,5 juta, dan biaya pendidikan anak (SPP, kursus) dan sumbangan-sumbangan lain yang tiap bulan tak kurang dari Rp 1,5 juta.

Di luar biaya tiket pesawat (karena tak semua anggota DPR harus pulang-pergi mengajar setiap minggu seperti saya), kebutuhan-kebutuhan lainnya untuk setiap anggota DPR kira-kira sama besarnya dengan kebutuhan saya, bahkan mungkin bisa ditekan menjadi lebih kecil dari itu.

Karena itulah, menurut saya, pendapatan anggota DPR sekarang ini, setelah dipotong berbagai macam potongan termasuk potongan untuk parpol, bisalah dicukup-cukupkan untuk hidup sederhana dan pas-pasan tanpa harus dinaikkan.

Kekurangan-kekurangan yang mutlak ada bisa ditutupi dari pendapatan-pendapatan insidental di luar pendapatan gaji bulanan yang bisa diperoleh dari tugas-tugas tidak rutin di DPR dan MPR.

***

Saya tidak sependapat dengan pernyataan bahwa gaji para pejabat harus dinaikkan agar mereka tidak korupsi dan agar bisa sesekali mengajak anaknya mencicipi lezatnya McDonald atau Kentucky Fried Chicken seperti anak-anak orang berkecukupan di kota.

Kalau mau membandingkan dengan anak orang lain, selayaknya bukan membandingkan dengan segelintir anak orang kaya. Tetapi, bandingkanlah dengan jutaan anak di desa-desa yang untuk membayar uang SPP Rp 200 ribu setiap bulan saja tidak mampu.

Sudah beberapa kali kita mendengar adanya murid sekolah yang melakukan bunuh diri setelah merasa sangat malu karena tidak mampu membayar SPP selama berbulan-bulan yang jumlah totalnya tidak sampai Rp 100 ribu. Belum sebulan yang lalu, kita membaca berita seorang murid SD di Jawa Barat juga bunuh diri karena setelah menabung bertahun-tahun jumlah tabungannya hanya 29 ribu rupiah, tak cukup untuk masuk SMP.

Berjuta-juta anak desa yang miskin dan tak terdidik dengan baik itulah yang harus kita tatap kalau ingin melihat keberuntungan anak-anak kita. Jika kita selalu memosisikan anak-anak kita dalam perbandingan dengan anak-anak orang kaya, maka kita akan merasa kekuarangan terus.

* Moh Mahfud M.D., anggota DPR dari FKB dan guru besar dalam bidang hukum tata negara di berbagai perguruan tinggi

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 12 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan