SKPPP Soeharto, Hukum Vs Politis?
Meski Kejaksaan Agung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKPPP 11 Mei 2006, polemik status dan peradilan kasus Soeharto tetap meninggalkan perdebatan pro-kontra yang tidak lagi membawa karakteristik dari pemaknaan due process of law.
Politisasi hukum kasus Soeharto menjadi rutinitas dalam kehidupan hukum. Maka, sah tidaknya validitas penerbitan SKPPP dipertanyakan.
Kehendak pengusutan mantan Presiden Soeharto melalui Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 yang menyatakan, upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus tegas dilakukan terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroni, swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan memerhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak asasi manusia.
Politisasi hukum Soeharto akan selalu menentukan kredibilitas kekuasaan sehingga pelaksanaan Pasal 4 TAP MPR No XI inilah yang dijadikan barometer politik berhasil-tidaknya kekuasaan dalam menjalankan roda perputaran pemerintahan. Ada dua persoalan yang menjadi atensi penerbitan SKPPP, yaitu apakah penerbitan SKPPP menjadi kompetensi Kejagung dan SKPPP tidak menghendaki implementasi TAP MPR No XI.
Dalam pemahaman hukum, Pasal 4 TAP MPR No XI terhadap Soeharto telah dilaksanakan, artinya peradilan atas Soeharto telah berakhir. Pada proses pra-ajudikasi, implementasi prosedural yuridis kasus Soeharto dilaksanakan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan telah ada finalisasi melalui proses ajudikasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung melalui putusan final Nomor 1846 K/Pid/2000, 2 Februari 2001.
Bahkan, Ketua MA, melalui surat No KMA/865/12/2001, 11 Desember 2001, memberi pendapat hukum karena Tim Dokter menyatakan, terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka terdakwa (Soeharto) tidak dapat diajukan ke persidangan. Hal ini dapat diartikan, amanat Pasal 4 TAP MPR No XI memiliki daya jangkau aplikatif yang telah dilaksanakan oleh kekuasaan negara.
Mengingat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengembalikan berkas Soeharto ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, maka berkas kasus ada di bidang penuntutan, juga tidak benar bila ada pendapat kompetensi penanganan ada di area yudikatif.
Beberapa solusi
Berdasarkan pendekatan hukum, ada beberapa solusi sebagai arah pelaksanaan legalitas penyelesaian kasus Soeharto. Pertama, mengingat berkas kasus Soeharto ada di Kejakgung pada fase penuntutan, maka berdasar Pasal 14 Huruf h KUHAP dan Pasal 140 Ayat 2 Huruf a KUHAP Kejaksaan Agung/Penuntut Umum menghentikan penuntutan dengan alasan perkara ditutup demi hukum (dituangkan lewat SKPPP) dengan alasan medis karena tidak ada kemampuan Soeharto untuk dihadapkan ke persidangan (unfit to stand trial). Penghentian penuntutan umumnya berdasarkan alasan medis dan usia lanjut terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan inilah yang dilakukan Kejaksaan terhadap kasus Soeharto. Kasus ini ditutup demi hukum dengan menghentikan penuntutan berdasarkan alasan medis (brain damaged yang permanen) sehingga makna unfit to stand trial adalah aplikapabelitas sifatnya. Kejagung tidak pernah menghentikan penyidikan karena berkas kasus Soeharto ada di area penuntutan kejaksaan. Para pengamat hukum sebenarnya memahami hal ini.
Kedua, dengan melaksanakan Pasal 35 Huruf c UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportunitas). Dengan demikian oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Soeharto demi kepentingan umum, mengingat jasa-jasanya sebagai mantan Presiden, selain usia lanjut disertai alasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, makna kepentingan umum akan menimbulkan polemik multitafsir yang rancu di kalangan komunitas hukum, politik, dan masyarakat. Karena itu, arah Kejagung menerbitkan SKPPP adalah sebagai bentuk fleksibilitas yang solusif dibandingkan pemakaian hak oportunitas.
Ketiga, pendekatan politis dapat dilakukan melalui kebijakan negara (staasbeleid atau state policy). Hal ini yang kemudian menimbulkan istilah bagi Presiden Yudhoyono dengan pernyataan endap kasus Soeharto. Endap harus diartikan kontekstual sebagai political stage, bukan menjadi polemik area hukum yang finalisasinya melalui SKPPP.
Rehabilitasi dan abolisi
Sebagai aktualisasi Staatsbeleid, keputusan presiden dapat memberi rehabilitasi kepada mantan presiden, selain alasan kemanusiaan usia lanjut disertai alasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan (hal serupa pernah disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno).
Pemberian abolisi (juga amnesti) sesuai Pasal 1 UU No 11/Drt/1954 akan bersifat debatable karena abolisi hanya diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana yang fit to stand trial dengan alat bukti memadai. Sedangkan kasus Soeharto belum memasuki substansi koruptifnya, juga persyaratan unfit to stand trial.
Juga sesuai Pasal 14 Ayat 2 Perubahan Pertama UUD 1945, pemberian abolisi presiden hanya dibenarkan setelah memerhatikan pertimbangan DPR. Pemberian abolisi merupakan lingkup kekuasaan Pemerintahan Negara (Bab III). Karena itu, keputusan pemberian abolisi adalah soal staatsbeleid (kebijakan negara) yang menjadi eksklusivitas presiden dalam menjalankan kekuasaan, negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Sesuai pendekatan yuridis, SKPPP adalah solusi yang capable, sedang kebijakan endap Presiden Yudhoyono atas kasus Soeharto merupakan kebijakan dan pendekatan politis yang tidak menjadi area hukum. Karena itu, karakteristik negara demokratis yang mengakui asas rule of law tetap mendasari konsep politics are adopted by the law.
Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarjana UI Bid Studi Ilmu Hukum
Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 Mei 2006