SKPP Bibit-Chandra; Sebaiknya Mereka Hadapi Saja di Pengadilan

Perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat jelas. Kasus yang menimpa Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diselesaikan di luar pengadilan. Sikap Presiden itu disampaikan sewaktu bertemu pimpinan media massa di Istana Negara, Jakarta, 22 November 2009 (Kompas, 23/11/2009).

Perintah Presiden itu diulangi lagi saat memberikan tanggapan atas rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra (Tim Delapan) di Istana Merdeka, Jakarta, 23 November 2009. Ia menyatakan, solusi yang lebih baik ditempuh dalam penanganan kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu adalah dengan tidak membawanya ke pengadilan.

Presiden menyatakan, kewenangan penghentian penyidikan di tangan Polri, penghentian penuntutan kewenangan Kejaksaan, dan pengesampingan perkara (deponeering) melalui asas oportunitas adalah kewenangan Jaksa Agung (Kompas, 24/11/2009). Itulah tiga pilihan yang tersedia jika memang mau menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra di luar pengadilan.

Perintah Presiden dijalankan Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) bagi Bibit dan Chandra yang semula dituduh memeras dan menyalahgunakan wewenang, terutama terkait kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan dengan tersangka Anggoro Widjojo pada 1 Desember 2009. SKPP ditandatangani Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung Arimuladi (Kompas, 2/12/2009).

Namun, penyelesaian di luar pengadilan yang diambil Kejaksaan itu diseret Anggodo Widjojo, adik Anggoro, ke pengadilan dengan mengajukan praperadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutuskan penerbitan SKPP itu tidak sah (Kompas, 4/6).

Jika mengacu pada perintah Presiden, Jaksa Agung kini tinggal memiliki satu pilihan untuk menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra, yaitu melalui deponeering. Meski tidak mengejutkan, Jaksa Agung ternyata mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK) (Kompas, 11/6).

Hendarman menyatakan, PK dipilih untuk konsistensi sikap Kejaksaan dan demi asas keadilan di muka hukum. Jika kasus Bibit dan Chandra dikesampingkan, berarti kasus Anggodo yang diduga berupaya menyuap pimpinan KPK dan menghalangi penyelidikan kasus korupsi pun harus dihentikan. Kasus Bibit dan Chandra ditangani Kejaksaan. Perkara Anggodo ditangani KPK setelah Kepolisian tidak dapat menemukan dugaan tindak pidananya.

Padahal, diakui Jaksa Agung, Pasal 45A Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) menyatakan, putusan praperadilan tak dapat dimintakan kasasi. Artinya, putusan PT DKI Jakarta yang menilai penerbitan SKPP tak sah, sesuai permohonan Anggodo, sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Karena itu, pengadilan memerintahkan kasus Bibit dan Chandra segera dilimpahkan untuk disidangkan.

Dengan mengajukan PK, bisa diartikan Jaksa Agung menyerahkan penyelesaian perkara Bibit dan Chandra ke pengadilan, bukan di luar pengadilan, seperti diamanatkan Presiden. Silakan hakim yang memutuskan kasus itu berlanjut atau tidak. Padahal, sikap Presiden Yudhoyono sejak awal jelas, agar diupayakan perkara itu diselesaikan di luar pengadilan. Kalau Presiden, seperti diakui Jaksa Agung, tidak keberatan dengan pilihannya, itukah kebijakan politik terbaru pemerintah terkait kasus Bibit dan Chandra?

Putusan PT DKI Jakarta dinilai jaksa mengandung kekhilafan dan kekeliruan yang nyata. Alasan itulah yang akan disampaikan dalam memori PK. Kekeliruan dan kekhilafan hakim terkait pendapat, perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21) harus dilanjutkan ke pengadilan.

Dengan mengajukan PK, kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari, status Bibit dan Chandra tetap sebagai tersangka.

Siapkan diri ke pengadilan

Mantan Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution, Kamis di Jakarta, menilai, rencana Jaksa Agung mengajukan PK adalah mengada-ada karena tidak punya dasar hukum. Upaya itu juga hanya menambah rumit dan bertele-tele penyelesaian kasus Bibit dan Chandra. PK juga hanya bisa diajukan terhadap perkara yang final, ditandai dengan putusan kasasi. Kasus Bibit dan Chandra masih taraf prosedural.

Adnan Buyung dan mantan anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis, menambahkan, PK tak dapat menunda eksekusi. Dengan demikian, tidak ada alasan menunda melimpahkan perkara Bibit dan Chandra ke pengadilan.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, T Gayus Lumbuun, mengakui, memang pernah ada pelanggaran terhadap ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya. Namun, pelanggaran itu semestinya tak menjadi pembenar bagi jaksa untuk melakukan pelanggaran terus-menerus dengan mengajukan PK.

Gayus juga mengakui, pengajuan PK juga menyimpang dari political will pemerintah untuk menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra di luar pengadilan. Sebab, kasus Bibit dan Chandra harus diteruskan ke pengadilan.

Hakim di PN Bengkulu, Binsar Gultom, pun mengakui, putusan praperadilan tidak bisa diajukan PK karena status Bibit dan Chandra bukan terpidana. ”Walaupun jaksa pernah menerobos ketentuan KUHAP, sebaiknya jangan diulangi lagi karena akan makin merusak sistem hukum acara pidana,” katanya.

Binsar sepakat, sebaiknya kasus Bibit dan Chandra dilanjutkan ke pengadilan saja. Ini adalah risiko jabatan.

Adnan Buyung mengakui, jika Bibit dan Chandra diadili, bisa jadi KPK akan lumpuh sebab tinggal memiliki dua unsur pimpinan, yaitu M Jasin dan Haryono Umar. KPK seharusnya memiliki lima unsur pimpinan.

Bibit dan Chandra sepertinya tak lagi bisa mengelak dari meja hijau. Dengan pengajuan PK, keduanya kini sebenarnya seperti terpenjara. Mereka memang masih aktif di KPK, tetapi tak lagi bisa mengambil keputusan strategis. Penonaktifan keduanya juga hanya masalah waktu dan kemauan Presiden.

Bibit dan Chandra menyatakan siap ke pengadilan. Penasihat KPK, Said Zainal Abidin, juga mendorong perkara keduanya diselesaikan ke pengadilan. ”Saya berpendirian kasus itu sebaiknya dibawa ke pengadilan supaya jelas apakah Bibit-Chandra yang salah atau Anggodo yang tidak betul. Biar rakyat bisa lihat dan KPK tak dipermainkan terus-menerus,” katanya.

Namun, lebih dari soal siap atau tidak, yang lebih penting adalah bagaimana masa depan KPK jika Bibit dan Chandra dibawa ke pengadilan?

Kuasa hukum Bibit dan Chandra, Taufik Basari, mengakui, membawa perkara ini ke pengadilan sama dengan memberi angin pada mafia kasus. ”Sebab, dari awal kasus ini tak ada. Namun, jika itu memang harus dilakukan, kami siap,” katanya.

Taufik mengingatkan, jika ke pengadilan yang dipilih, KPK di ambang kehancuran. Sebab, jika mengikuti kronologi yang disusun Anggodo, tak hanya Bibit dan Chandra yang akan dijerat. Jasin, Deputi Penindakan KPK Ade Raharja, dan sejumlah penyidik lain juga akan dijadikan tersangka. Artinya, KPK di ambang titik nadir. Arah politik dan kekuasaan agaknya memang menginginkan itu. Mereka tidak menginginkan KPK berdaya.

”Kami yakin berdiri di atas kebenaran yang dibangun atas fakta. Kami tidak takut. Untuk menyatakan kebenaran akan selalu siap, termasuk jika dibawa ke pengadilan,” ucap Taufik.

Bonaran Situmeang dan OC Kaligis, penasihat hukum Anggodo, dalam berbagai kesempatan, juga meminta agar kasus Bibit dan Chandra diajukan ke pengadilan. Mereka tidak perlu takut jika memang tak salah.

Menurut Kaligis, Polri dan Kejaksaan melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan sehingga berkas perkara Bibit dan Chandra dinyatakan lengkap serta siap dilimpahkan ke pengadilan. Desakan masyarakat, yang menganggap kasus Bibit dan Chandra direkayasa, yang membuat kasus itu tak dilanjutkan ke pengadilan.

Koordinator Masyarakat Sipil Anti Korupsi Fadjroel Rachman, Jumat (11/6), menekankan, jika kasus Bibit dan Chandra diajukan ke pengadilan, rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah penegak hukum yang diputar di Mahkamah Konstitusi, 3 November 2009, harus menjadi pegangan. Rekaman itu menunjukkan adanya rekayasa dalam kasus Bibit dan Chandra. (ana/why/nwo/har/fer/aik/idr/tra)
Sumber: Kompas, 12 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan