SKPP Bibit-Chandra; Anggodo Menyuap atau KPK yang Memeras?

Selain polemik politik yang melatarbelakangi diterimanya permohonan praperadilan terhadap surat keputusan penghentian penuntutan atau SKPP dari Kejaksaan Agung terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, perkara ini juga berdimensi hukum yang tumpang tindih. Anggodo Widjojo, yang juga tersangka percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK dan menghalangi penyelidikan kasus korupsi, berada di tengah pusaran sengkarut masalah hukum ini.

Anggodo diduga adalah sosok yang berada dibalik dijadikannya Bibit dan Chandra sebagai tersangka kasus penyuapan yang kemudian bergeser menjadi pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Anggodo—adik Anggoro Widjojo, tersangka dan buron kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan—adalah orang yang mengajukan praperadilan terhadap SKPP Bibit- Chandra yang dikabulkan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nugroho Setiadji.

Di kutub yang berseberangan, sebagai tersangka, berkas perkara Anggodo, Rabu (21/4), dilimpahkan jaksa penuntut umum KPK ke Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Suap atau pemerasan
Pengadilan terhadap kasus Anggodo akan menjadi penting karena diharapkan bisa memberikan titik terang terhadap ”sisi g elap” sangkaan perkara pemerasan yang pernah menjerat Bibit dan Chandra. Dengan demikian, hasil persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap polemik praperadilan SKPP.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah di Jakarta, Rabu, mengatakan, kalau terbukti ada penyuapan, berarti benar dugaan yang beredar selama ini, Anggodo yang bersalah. Namun, jika terbukti ada pemerasan, berarti inisiatifnya dari pihak KPK.

Juru Bicara KPK Johan Budi pernah mengatakan, jika dibutuhkan, persidangan di Pengadilan Tipikor dalam kasus Anggodo bisa saja menghadirkan Bibit dan Chandra untuk bersaksi. Selama ini, untuk menjaga independensi penyidikan, Bibit dan Chandra mengambil jarak dalam perkara Anggodo. Mereka menyatakan tidak ikut campur proses sejak dalam tahap penyelidikan hingga penuntutan.

Di sisi lain, Pengadilan Tipikor diharap bisa membuktikan apakah Anggodo adalah korban pemerasan, seperti yang didalilkan dalam permohonan praperadilan dan keyakinan hakim PN Jakarta Selatan, atau sebaliknya, sebagai aktor yang punya inisiatif melakukan upaya suap terhadap pimpinan KPK. Jika suap dan rekayasa yang dilakukan Anggodo dan jaringannya terbukti, seharusnya klaim pengacara Anggodo bahwa mereka diperas pun runtuh dengan sendirinya.

Masalahnya, jika memang sudah ada uang yang dialirkan Anggodo melalui Ary Muladi, ”Apakah benar itu sampai ke KPK? Kepada siapa atau sampai di mana uang itu? Selama ini, mata rantai aliran uang yang diklaim dikeluarkan Anggodo ini masih terputus dan menjadi sisi gelap dalam perkara Bibit- Chandra,” kata ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satrio.

Oleh karena itu, kata Rudi, Pengadilan Tipikor dalam perkara Anggodo harus mampu membongkar ”sisi gelap” yang belum terkuak dalam kasus Anggodo versus Bibit-Chandra selama ini. ”Selain itu, jika Pengadilan Tipikor mampu mengungkapkan uang yang dialirkan Anggodo kepada Ary Muladi adalah uang Anggoro, otomatis, Anggodo sebenarnya tak punya legal standing untuk mengajukan praperadilan SKPP Bibit-Chandra, tetapi Anggoro yang punya,” k a t a ny a .

Berikutnya, menurut Rudi, jika tak ada aliran suap kepada Bibit-Chandra dan semua hanya rekayasa Anggodo dalam rangka menghalangi penyidikan kasus SKRT, pengadilan harus mengungkap bagaimana hal itu dilakukan. ”Termasuk, dengan siapa Anggodo berupaya menghalangi penyidikan itu,” k a t a ny a .

Menurut Febri, Pengadilan Tipikor diharap bisa menjadi ajang pembuktian terhadap rekayasa proses hukum terhadap dua unsur pimpinan KPK dalam berbagai bentuk, mulai dari inisiatif pemberian uang, komunikasi dengan sejumlah penyidik dan pejabat kepolisian, surat pencabutan pencegahan palsu, hingga dugaan gratifikasi terhadap pejabat di Kejaksaan Agung.

Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Anggodo yang segera digelar, selain bisa menjawab keraguan publik terhadap hakim PN Jakarta Selatan, juga diharap bisa membungkam politisasi munculnya SKPP yang sejak awal terasa didesain lemah. Desain itu karena alasan penghentian penuntutan dua unsur pimpinan KPK itu disebutkan lebih karena ”sosiologis” dan bukan alasan ”perkara ditutup demi hukum”, sebagaimana dimaksud Pasal 140 Ayat 2 Butir a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (AHMAD ARIF)

Sumber: Kompas, 23 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan