Skandal Texmaco dibuka ulang; KPK segera periksa Marimutu Sinivasan [12/06/04]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengincar sejumlah skandal korupsi yang diduga menimbulkan kerugian negara miliaran.
Setelah menangani korupsi di Nangroe Aceh Daruusalam (NAD) dan mengawasi penyidikan pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun, lembaga yang baru dibentuk awal 2004 itu membidik skandal korupsi Texmaco senilai US$ 516 juta dan Rp 450 miliar.
Skandal Texmaco dengan tersangka Marimutu Sinivasan tersebut sejatinya telah dihentikan penyidikannya lewat SP3 oleh Kejagung era Jaksa Agung Marzuki Darusman, 2000 silam. Nah, karena kasus yang telah di-SP3 tidak dapat diambil alih, KPK hanya bisa menyelidiki ulang lewat pelacakan bukti baru adanya praktik korupsi dalam perkara tersebut.
Penyelidikan skandal Texmaco sudah di mulai lembaga pimpinan Taufiequrachman Ruki tersebut beberapa pekan lalu. Dalam pengumpulan alat bukti, KPK bahkan telah memanggil direktur Kepatuhan Bank BNI dan sejumlah pejabat teras BNI. Mereka dipanggil karena proses pengambilan kredit ekspor yang diduga fiktif diajukan Sinivasan lewat Bank BNI.
Lalu kapan Sinivasan bakal dipanggil? “Tunggu saja tanggal mainnya. Yang pasti, sekarang kami masih melakukan pengumpulan data untuk menguatkan adanya praktik korupsi,” ujar Erry Riyana Hardjapamekas, wakil ketua KPK, di gedung KPK, Jl Veteran II Jakarta, kemarin.
Menurut mantan dirut PT Timah Tbk itu, penanganan skandal Texmaco, KPK belum menetapkan tersangka karena proses penanganannya belum memasuki tahap penyidikan. Meski demikian, jika sudah ditetapkan tersangka, KPK berjanji melanjutkan ke proses persidangan alias tidak akan menerbitkan SP3.
Penanganan kembali skandal Texmaco, lanjut Erry, bukan berdasarkan laporan Kejagung tapi hasil evaluasi perkara yang dilakukan KPK terhadap kinerja empat institusi penegakan hukum, yakni Kejagung, Mabes Polri, BPK, dan BPKP selama periode 2000-2003. KPK berwenang melakukan penyelidikan ulang karena merujuk pada ketentuan Pasal 8, Pasal 9 UU No 30/2002 (UU tentang KPK).
Seperti diketahui, penanganan skandal korupsi Texmaco disoroti sejumlah kalangan, khususnya aktivis anti-korupsi. Bahkan, pertengahan 2003 silam, Indonesian Corruption Watch (ICW) lewat pengacara Bambang Widjojanto pernah mempraperadilankan Kejagung yang dianggap tidak serius menangani skandal tersebut. Sayangnya, upaya praperadilan tersebut kandas di tengah jalan setelah PN Jaksel menolaknya.
Kejagung semasa Jaksa Agung Marzuki Darusman menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam skandal Texmaco karena tidak ditemukan bukti adanya unsur KKN menyangkut disposisi mantan presiden Soeharto atas kasus Grup Texmaco. Dengan SP3 tersebut, Sinivasan dicabut statusnya sebagai tersangka.
SP3 yang merujuk pada surat No. 64/F/F/FPK, tertanggal 16 Mei 2000 itu diteken oleh Direktur Penyidikan Kejakgung Ris Pandapotan Sihombing mengatasnamakan JAM Pidsus Kejagung Ramelan.
Skandal korupsi Texmaco terkait dengan pengajuan dan perolehan kredit ekspor yang tidak sesuai SK Direksi BI No 30/132/Kep/DIR, tanggal 4 November 1997 dan SK Direksi BI No 30/194/Kep/DIR, tanggal 3 Februari 1998. Berdasarkan fakta yang terungkap, Sinivasan disebut-sebut telah menikmati fasilitas kredit ekspor keseluruhannya sebesar US$ 516 juta dan Rp 450 miliar.
Bagaimana komentar Kejagung? Kapuspenkum Kemas Yahya Rachman menyatakan Kejagung bersikap pasrah atas penyelidikan ulang skandal Texmaco.
Menurut Kemas, KPK memang berwenang membuka kembali perkara tersebut. ‘’Kalau ada bukti baru, kenapa tidak. Mereka kan punya kewenangan secara undang-undang,’’ jelas Kemas yang dihubungi sedang mengikuti kunjungan kerja di Makassar. Kejagung berjanji bakal membantu proses penyelidikan ulang tersebut jika KPK membutuhkan kelengkapan data perkara tersebut.
Kasus Texmaco awalnya dilaporkan ICW pada 2000 silam. Saat itu, ICW mengungkapkan ada sejumlah bukti yang menunjukkan adanya unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, serta merugikan perekonomian negara dalam penggunaan fasilitas diskonto pre-shipment (pengapalan).
Fasilitas yang semula untuk kepentingan ekspor itu ternyata disalahgunakan untuk membayar utang dan membiayai kepentingan usaha grup Texmaco.
Di samping itu, menurut ICW, jumlah yang diminta Texmaco melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Texmaco pada September 1997 mengajukan permohonan bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia melalui Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar US$ 300 juta untuk menuntaskan kewajiban jangka pendek berupa pelunasan commercial paper yang sudah jatuh tempo dan tak bisa diperpanjang.
Sementara itu, diajukan lagi paket analisa kredit (PAK) atas fasilitas pre-shipment yang besarnya US$ 516 juta. PAK baru dibuat setelah dana direalisasikan oleh BI.
Pemberian kedua fasilitas itu sudah diketahui pihak BNI sebagai suatu pelanggaran BMPK. Hal ini kemudian diduga oleh ICW sebagai keterlibatan pejabat bank atas pelanggaran BMPK.
Menyangkut kerugian negara, masih menurut ICW, berkait dengan adanya pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada akhir 2000 soal nilai aset Texmaco yang dijaminkan. Besarnya Rp 16,759 triliun. Dari jumlah itu Rp 5,542 triliun telah diikat secara notariil. Padahal, kredit macet Texmaco besarnya Rp 15,37 triliun.
Kendati demikian, perhitungan nilai aset Texmaco itu hanya didasarkan pada pemeriksaan dan hasil penilaian konsultan independen (appraisal independent). Tidak ada penilaian kembali dari BPKP atas kebenaran fisik agunan dan kewajaran nilai agunan Texmaco. BPKP pun tak meneliti ada tidaknya pemalsuan dokumen.
Fasilitas kredit untuk Texmaco dari pre-shipment yang kemudian menjadi kredit macet dapat mengakibatkan penyimpangan lain, menurut ICW, yakni negara tak dapat memperoleh tambahan devisa negara atas rencana hasil ekspor tersebut. Negara pun akan mendapat pembebanan biaya berkaitan dengan dana rekapitulasi untuk BNI. (agm)
Sumber: Sumatera Ekspres, 12 Juni 2004