Skandal Dana Taktis Departemen
Merebaknya kasus pencairan dana Departemen Kelautan dan Perikanan ke kas partai politik dan politikus membuka kembali catatan buruk praktek pendanaan politik. Kasus ini menunjukkan rawannya anggaran taktis departemen disalahgunakan untuk membiayai berbagai kekuatan politik dan politikus di parlemen.
Dalam konteks anggaran, hal ini menunjukkan buruknya praktek pengelolaan keuangan negara di departemen pemerintah pada satu sisi dan besarnya tekanan berbagai kekuatan politik untuk merongrong anggaran di departemen di sisi yang lain.
Kisah dana taktis di pemerintah sebenarnya bukan berita baru. Belum lekang dari ingatan mengalirnya dana sejenis dari rekening Dana Abadi Umat yang dikelola oleh Departemen Agama. Dana sisa proyek haji yang seharusnya untuk mendukung kegiatan keagamaan berubah fungsi dan mengalir ke beberapa politikus dan menteri. Lebih buruk lagi, dana ini lebih banyak mengalir untuk membiayai kegiatan pribadi menteri dan pejabat departemen terkait, seperti untuk tambahan tunjangan, ongkos naik haji, perbaikan jalan menuju rumah pribadi menteri, jalan-jalan menteri dan keluarga ke luar negeri, serta biaya umrah untuk anak-anak pejabat negara.
Kasus aliran Dana Abadi Umat hanya salah satunya. Badan Pemeriksa Keuangan bahkan pernah mempermasalahkan tidak kurang dari 600 rekening khusus yang masih mengatasnamakan menteri dan pejabat negara. Hal ini menunjukkan besarnya volume anggaran negara yang mudah diselewengkan dan berada di luar mekanisme pengelolaan anggaran negara serta sulit tersentuh audit laporan keuangan BPK.
Mengalirnya dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan ke berbagai parpol, organisasi masyarakat, elite kekuasaan, dan politikus, selain menunjukkan praktek penyalahgunaan kekuasaan, menunjukkan buruknya praktek penganggaran di pemerintah. Buruknya praktek penganggaran pemerintah sangat jelas digambarkan oleh hasil audit BPK pada 2004 dan 2005 yang tidak dapat diberi opini (disclaimer).
Buruknya hasil audit ini, selain karena penyajian laporan keuangan pemerintah yang masih tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintah yang ada, karena masih terdapat selisih laporan keuangan yang cukup besar: Rp 3,4 triliun pada 2004 dan Rp 1,9 triliun pada 2005. Ini berarti terdapat cukup besar jumlah dana yang belum dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah setiap tahun. BPK bahkan mengkhawatirkan pendapat hasil audit tetap akan sama (disclaimer) untuk implementasi anggaran pada 2006.
Keterangan mantan menteri Rokhmin Dahuri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa dana taktis departemen yang pernah dipimpinnya sebenarnya diambil dari dana operasional menteri Rp 100 juta setiap bulan dan dana sukarela dari pejabat eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Sudah tradisi. Di zaman masih menjabat Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pun Rokhmin mengaku sudah ada pungutan semacam ini sebesar Rp 100-200 juta setiap bulan.
Pertanyaannya, dari mana para pejabat di lingkungan departemen mendapatkan dana untuk disetorkan ke rekening dana taktis? Hal ini menjadi penting karena masing-masing pejabat ini memegang wewenang implementasi anggaran pemerintah di bagiannya masing-masing. Pembentukan dana taktis dari sumber-sumber yang terkait dengan implementasi anggaran negara memiliki indikasi kuat korupsi anggaran negara dari pungutan proyek-proyek departemen.
Hal ini juga pernah terjadi di Komisi Pemilihan Umum dalam pengelolaan dana Pemilu 2004, dengan setiap rekanan harus menyetorkan sejumlah uang ke bagian keuangan KPU, yang kemudian dibagikan kepada anggota KPU dan instansi terkait setelah pemilu. Dari fakta ini, menjadi penting mengusut tidak hanya aliran dana dari rekening dana taktis ke berbagai pihak, tapi juga dana rekanan yang mengalir ke para pejabat di departemen yang bersangkutan.
Politik dana taktis
Mengucurnya dana Departemen Kelautan dan Perikanan ke berbagai kekuatan politik semakin menunjukkan bahwa rekening dana taktis sengaja dipersiapkan untuk menjaga kemesraan pejabat di departemen dengan berbagai kekuatan politik. Jabatan politik, apalagi sekelas menteri, tentu saja didapat atas peran berbagai kekuatan politik, terutama partai politik yang memiliki akses dan pengaruh kuat terhadap kekuasaan. Tidak mengherankan jika kekuasaan atas departemen, terutama kekuasaan atas anggaran, juga diarahkan agar dapat memberikan keuntungan politik sebagai bentuk balas budi.
Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat tidak kurang dari 1.700 transaksi uang mengalir dari dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan. Dua puluh persen di antaranya sedikitnya mengalir ke empat partai politik besar, tiga tim sukses pasangan calon presiden, beberapa politikus kakap di Dewan Perwakilan Rakyat, serta berbagai ormas. Luasnya sebaran dana ini menunjukkan besarnya tekanan politik terhadap departemen. Dari pengakuan Rokhmin, dana ini juga dipergunakan untuk memfasilitasi berbagai kegiatan DPR, terutama dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang Perikanan yang dibahas pada saat itu. Artinya, meskipun sudah memiliki dana resmi di departemen terkait, juga alokasi pembuatan undang-undang dalam anggaran DPR, dana-dana tidak jelas tetap saja mengalir deras ke kantong politikus dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Rokhmin juga mengakui besarnya hambatan dalam hubungan kerja dengan DPR dalam membahas program kerja dan anggaran jika dilakukan tanpa pelicin.
Dipandang dengan lebih jernih, bisa jadi penyalahgunaan kekuasaan atas aliran dana taktis departemen tidak semata dipicu oleh pejabat di departemen yang membutuhkan proteksi politik dan kelancaran hubungan kerja dengan instansi tertentu (baca: DPR), tapi juga oleh besarnya kekuatan penekan dari luar. Meskipun untuk membuktikan hal ini, harus diperiksa sesuai dengan konteks pengucuran dana.
Terungkapnya skandal dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan ini seharusnya menjadi pelajaran untuk menertibkan rekening-rekening dana taktis di departemen yang berjumlah ratusan. Pembiaran berbagai rekening tidak jelas di departemen sama saja dengan melanggengkan korupsi di departemen. Atau memang ini yang menjadi alasan perebutan jabatan politik di departemen?
Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Mei 2007