Skandal Dana BI; KPK Akan Panggil Syahril Sabirin

Penggunaan dana Rp 100 miliar tidak pernah dipertanggungjawabkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi berencana memanggil mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin terkait dengan pengucuran dana bantuan hukum bagi para mantan pejabat bank sentral yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Seperti diberitakan koran ini kemarin, Syahril diketahui pernah memimpin rapat Dewan Gubernur BI pada 20 Maret 2003 yang memutuskan pemberian dana Rp 15 miliar kepada tiga mantan pejabat bank sentral, yakni Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo. Adapun pengucuran dana Rp 100 miliar untuk keperluan serupa dan dana lobi bank sentral di BI diputuskan pada rapat Dewan Gubernur BI di masa Burhanuddin Abdullah, gubernur sekarang, pada 3 Juni 2006.

Ya, KPK akan memanggil Syahril Sabirin nanti. Rapat pengucuran dana itu akan menjadi bagian dari proses pengembangan penyelidikan kami, ujar juru bicara KPK, Johan Budi, di kantornya kemarin.

Kepada Tempo, Syahril Sabirin sebelumnya membenarkan adanya rapat Maret 2003 itu. Namun, dia mengaku tidak ingat kapan dan apa hasilnya. Dia juga memastikan siap memberikan keterangan jika dipanggil KPK. Kalau diperiksa, tidak apa-apa karena semuanya resmi, ujarnya.

Sementara itu, Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin bertemu dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dan Auditor Utama Keuangan Negara III Soekoyo di gedung BPK, Jakarta.

Dalam jumpa pers seusai pertemuan, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun mengatakan fakta-fakta yang disampaikan BPK akan menjadi bahan pendukung untuk menindaklanjuti pengusutan aliran dana ke anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004. Anggota Badan Kehormatan, Anshory Siregar, memastikan Badan Kehormatan berkomitmen mengusut tuntas kasus ini. Biar jadi pelajaran (buat) anggota DPR sekarang, ujarnya.

Terkait dengan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar oleh BI, Soekoyo menjelaskan, baik Yayasan maupun bank sentral sama sekali tidak membuat laporan pertanggungjawaban pemakaian duit itu.

Menurut dia, fakta itu terungkap ketika audit BPK menemukan penurunan aset Yayasan--yang kemudian berubah menjadi Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)--pada 2003 sebesar Rp 92,5 miliar. Per Juni tahun itu, aset Yayasan masih tercatat Rp 271,9 miliar, tapi tinggal tersisa Rp 179,4 miliar pada Desember 2003. Penurunan aset itu tidak dicatatkan dalam laporan keuangan Yayasan 2003. Sepertinya ada proses rekayasa akuntasi, kata Soekoyo.

Dalam laporan BPK ke KPK, dana Rp 100 miliar itu digunakan untuk bantuan hukum tidak resmi senilai Rp 68,5 miliar dan Rp 31,5 miliar dialirkan ke anggota Komisi Keuangan DPR.

Kepada Tempo, mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan pernah membenarkan penggunaan dana Rp 100 miliar itu. Menurut dia, tidak ada yang salah dengan hal itu, Karena dana yang ada di LPPI adalah milik BI. Bukan milik negara.

Hal ini dibantah Soekoyo. YPPI terafiliasi dengan BI. Artinya, uang di YPPI itu uang negara, tuturnya. Itu sebabnya, pemimpin YPPI dan BI serta koordinator penggunaan dana Yayasan harus mempertanggungjawabkannya.

Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Lukman Boenjamin enggan berkomentar saat dimintai konfirmasi soal kasus ini. Sudahlah, tanya yang lain saja, ujarnya. Cheta Nilawaty | EKO NOPIASYAH | KURNIASIH

Sumber: Koran Tempo, 12 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan