Skandal Bank BNI [28/07/04]

Dana L/C Fiktif Lenyap?
Apa kabar skandal L/C fiktif BNI? Bagi masyarakat awam, kasus bobolnya dana BNI senilai Rp 1,7 triliun ini mencerminkan moral hazard yang parah. Jebolnya brankas Bank BNI Cabang Kebayoran Jakarta itu diduga karena terjadi konspirasi atau kongkalikong antara kalangan debitor, pimpinan dan penguasa.

Tidak hanya Bank BNI, baru-baru ini aparat hukum juga disibukkan dengan terjadinya pembobolan di sejumlah bank, antara lain Bank Permata Cabang Semarang (Rp 1 miliar), Bank Danamon Cabang Manado (Rp 4,5 miliar), Bank BNI Cabang Magelang (Rp 24 miliar), Bank Danamon Cabang Medan (Rp 33 miliar), serta Bank Internasional Indonesia Cabang Segitiga Senen yang dibobol hingga Rp 31 miliar.

Jika ditengok lebih jauh ke belakang, kejahatan perbankan yang terkait penerbitan L/C juga pernah menggemparkan dunia perbankan kita. Kasus yang spektakuler antara lain, Skandal Bapindo Cabang Kuningan yang dibobol Edy Tansil melalui Golden Key Group senilai Rp 1,3 triliun. Kasus itu hingga kini belum berhasil diusut tuntas.

Masyarakat menuntut agar aparat hukum bersikap keras terhadap para penjahat perbankan itu, apalagi bank-bank korban pembobolan adalah bank-bank besar yang direkapitalisasi dengan memakai dana pemerintah. Selain itu, pengusutan tuntas sangat diperlukan terkait upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan Indonesia.

Akibat L/C fiktif yang terungkap pada pertengahan Oktober 2003 itu, PT Bank Negara Indonesia (BNI) harus menyisihkan dana tak kurang dari Rp 941 miliar sebagai provisi untuk menutup kerugian yang mungkin muncul dari kucuran kredit ekspor tersebut.

Setali tiga uang, Skandal Bapindo Rp 1,3 triliun yang berawal dari dibukanya Usance L/C, kemudian diubah menjadi Red Clause L/C, seperti pernah diakui sendiri oleh Towil Heryoto, bekas Direktur Utama Bapindo, selain menghancurkan bank itu, juga sangat merugikan masyarakat pemilik dana di bank tersebut. Sesaat sesudah pembobolan BNI itu berlangsung, Mabes Polri langsung menahan delapan orang tersangka dalam upaya penyelidikan atas kucuran kredit ekspor US$140 juta, yang dicurigai terkait penipuan dan tindak pencucian uang.

Selain itu, polisi pun mengejar tiga tersangka lainnya. Penyelidikan skandal ini pada akhirnya tidak hanya seputar kasus pembobolan dana BNI saja. Berbagai tindakan yang mengarah pada upaya membuktikan isu-isu atau rumor lain yang merebak berkaitan dengan kasus L/C fiktif tersebut, seperti penyaluran dana hasil pembobolan BNI bagi para calon presiden, turut ditempuh pihak kepolisian.

DPR Mengecam
Seusai rapat Panja DPR kasus pembobolan PT Bank Negara Indonesia Tbk dengan Direksi BNI, 10 Juni lalu, Ketua Sub Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Antoni Z Abidin pernah menyesalkan kelambanan pengusutan kasus tersebut. Setelah sekian lama, kasus ini tidak ada kemajuan. BNI sendiri pesimis dananya akan kembali, tutur Abidin kepada wartawan ketika itu. DPR juga mempertanyakan mengapa Maria Pauline Lumowa, tokoh utama pembobolan BNI, tak kunjung bisa diringkus.

Faisal Baasir, anggota Komisi IX DPR RI, juga menyesalkan hal serupa. Polisi berputar-putar terus dengan dalih kasus L/C fiktif ini masih dalam proses penyidikan, keluh Baasir ketika ditemui Pembaruan. Ini kan kasus digoreng terus. Sekarang ini, untuk aktor intelektualnya, seolah semua dibebankan kepada Maria Pauline serta orang-orang yang kini sedang disidangkan di pengadilan, tutur Baasir lebih lanjut. Padahal, rekayasa finansial besar-besaran atas skaldal BNI itu tidak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan direksi.

Beberapa dokumen kelengkapan untuk kredit ekspor berjaminan (Letter of Credit atau L/C) dalam kasus tersebut, diakui oleh Imanuel Wiryono, Kepala Satuan Pengawasan Internal (SPI) BNI Pusat, terbukti fiktif dan menyalahi prosedur.

Pengakuan itu terungkap dalam sidang kasus L/C fiktif BNI di PN Jaksel, 15 Juli lalu, yang dihadiri oleh empat terdakwa, yakni Ollah Abdullah Agam (Dirut PT. Gramarindo Mega Indonesia), Aprilla Widharta (Dirut PT. Pan Kifros), Titik Pristiwanti (Dirut PT. Bhinekatama Pacific) dan Richard Kuontul (Dirut PT. Metrantara). Sedangkan satu terdakwa yang lain, yakni Adrian Pandelaki Lumowa (Dirut PT. Magnetique Usaha Esa), tidak hadir karena alasan sakit.

Pemeriksaan khusus terhadap keaslian dokumen L/C pada 12-31 Agustus 2003 telah dilakukan, menanggapi permintaan pihak manajemen BNI, kata Wiryono dalam sidang tersebut.

Ada sekitar 28 L/C bermasalah, ujarnya. Dokumen kelengkapan ekspor seperti Bill of Lading (B/L), invoice, weight list, diwarnai oleh berbagai kejanggalan. Misalnya, di antaranya tanda-tangan yang tertera dalam semua dokumen identik satu sama lain, yaitu dari Jeffry Basso (Direktur Tri Ranu Caraka Pasifik), yang juga terdakwa dalam kasus ini. Cap stempel yang digunakan dalam dokumen itu juga tidak sama dengan nama perusahaan. Alamat perusahaan yang dicantumkan dalam dokumen tidak benar. Beberapa nomor telepon perusahaan pun tidak terdaftar di Telkom.

Wiryono mengatakan, selain fiktif, penegosiasian L/C juga bermasalah. Jika mengacu aturan BNI, pencairan (diskonto) L/C juga tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan (akseptansi) dari bank penasihat (Advising Bank).

Ternyata ke-28 L/C bermasalah itu diterbitkan oleh bank di luar negeri (Opening Bank) yang bukan merupakan koresponden BNI. Penegosiasian L/C bermasalah oleh BNI itu berlangsung sejak 2 Desember 2002 sampai 9 Juli 2003.

Dianggap turut bertanggung jawab atas jebolnya duit BNI sebesar Rp 1,7 triliun tersebut akibat L/C fiktif, Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Koesadiyuwono dan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santoso pun akhirnya menjadi tersangka.

Kasus L/C fiktif yang menggerogoti keuangan dan kinerja BNI itulah, menurut Baasir, penyebab mengapa DPR belum menyetujui divestasi BNI, termasuk rencana akuisisi Bank Permata oleh BNI.

Ironisnya, tampak tidak ada political will dari pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, untuk menyelesaikan kasus ini. Berbagai informasi yang diterima Panja DPR tentang pembobolan BNI sebesar Rp 1,7 triliun juga masih simpang-siur, misalnya terkait aliran dana.

Sebetulnya perusahaan-perusahaan apa saja yang pertamakali membuka L/C? Nah, untuk masalah yang ini, BNI sampai sekarang belum mau memberi informasi yang seluas-luasnya kepada DPR, tutur Baasir mempertanyakan.

Memang, daftar PT yang pertamakali membuka L/C seharusnya bisa diperoleh lewat Bank Indonesia (BI). Namun hal itu tidak dilakukan, karena BI sendiri terbentur kerahasiaan bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Juga yang jadi pertanyaan, apakah dana pembayaran kembali L/C-L/C tersebut benar-benar kembali ke kas BNI dengan perhitungan bahwa Rp 1,7 triliun sama dengan US$ 211 juta, sedangkan outstanding PT-PT lokal itu hanya US$ 120 juta.

Sama dengan kasus kejahatan perbankan yang lain, menurut Baasir, ada kecenderungan kuat kasus L/C fiktif Rp 1,7 triliun ini akan ditarik hanya sebatas masalah perdata.

Mengapa kasus perjanjian utang (perdata) dipidanakan, sedangkan pencucian uang (money laundering), penipuan dan pemalsuan yang dilakukan oleh BNI sendiri dengan memberikan fasilitas L/C hanya pro forma (untuk pantas-pantasan saja atau untuk basa-basi sekedar mengikuti tata cara yang berlaku, Red.) dipidanakan? katanya.

Bahkan yang lebih parah lagi, beredar informasi bahwa saldo-saldo PT-PT lokal di sejumlah rekening BNI sebesar kurang lebih US$ 15,3 juta, yang awalnya dikatakan diblokir, ternyata kini sudah lenyap.

Nah, untuk hal-hal seperti ini kenapa tidak dipidanakan? kata Baasir mempertanyakan. Ini adalah cara BNI tidak mau membukukan sebuah kerugian, sehingga sebagai perusahaan publik lebih mudah untuk menghapuskan kebobrokan sebuah sistem.

Baasir sangat berharap, aparat penegak hukum bisa memberikan sanksi terhadap kejahatan perbankan ini tanpa pandang bulu. Jangan hanya kroco-kroconya saja yang ditangkap, tetapi juga si dalang pelaku, tambahnya.

Terungkapnya siapa saja perusahaan yang pertamakali membuka L/C itu sangat penting, menurutnya. Sebab apabila terungkap dana pembobolan BNI mengalir ke perusahaan mana saja, bisa segera dilakukan penyitaan aset.

Sidang in-absentia
Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, kepada Pembaruan mengatakan, saat ini proses penyidikan L/C fiktif BNI masih pada tahap melengkapi berkas-berkas penyidikan.

Siapa bilang polisi lambat? Pembuktikan ini kan harus profesional dan membutuhkan keterangan yang cukup komprehensif yang kita harus dapatkan dari berbagai sumber. Itu berkembang dari waktu ke waktu, kata Ismoko saat ditemui di kantor Bareskrim Mabes Polri.

Ia pun mengakui polisi kesulitan menemui Maria Pauline Lumowa. Ya, sampai sekarang kami belum tahu, dan belum menemukan dia entah di Singapura atau di negara lain. Kalau di Singapura tidak ada, ya kita lalu harus nyari ke mana? kata Ismoko lebih lanjut. Namun, kata Ismoko, polisi sedang menyiapkan pemberkasan untuk menyidangkan Maria Pauline secara in absentia.

Sejarah Hitam bagi Perbankan
Sekian lama dinantikan publik, skandal pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru dengan L/C fiktif sebesar Rp 1,7 triliun belum kunjung terungkap. Maria Pauline Lumowa tidak kunjung terbuktikan apakah ia bersalah atau tidak dalam skandal itu.

Maria dalam beberapa kesempatan mengaku hanya menerima cipratan dana sebesar US$ 40 juta (Rp 340 miliar), bukan Rp 1,7 triliun seperti yang digembar-gemborkan media massa. Dana hasil pembobolan pun tak jelas ke mana larinya.

Polisi pernah menangkap dan menahan Adrian Waworuntu, yang sama halnya Maria, diduga sebagai otak intelektual. Tapi, ia kemudian dibebaskan. Nama Waworuntu sama sekali tidak masuk dalam daftar saksi atas terdakwa Koesadiyuwono dan Edy Santosa beberapa waktu lalu.

Padahal, Koesadiyuwono (Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santosa (Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru), yang kedua-duanya sudah dipecat dari jabatannya, semula dikaitkan dengan Adrian Waworuntu dan Maria Pauline Lumowa.

Judi Baso (Dirut PT Basomasindo) dan Jeffrey Baso (Dirut Triranu Caraka Pasifik), dua tersangka lain, beberapa waktu lalu menyusul Adrian Waworuntu, dilepaskan dari tahanan Mabes Polri karena masa penahanan sudah habis.

Mengapa Waworuntu tidak masuk dalam daftar saksi sehingga dibebaskan? Lima saksi dari PT Gramarindo Group, yakni Ollah Abdullah Agam (Dirut PT Gramarindo Mega Indonesia), Aprila Widharta (Dirut PT Pan Kifros), Adrian Pandelaki Lumowa (Dirut PT Magnetique Usaha Esa), Titik Pristiwanti (Dirut PT Binekatama Pasifik), dan Richard Kuontul (Dirut PT Metrantara), dalam sidang yang berlangsung secara maraton, tak seorang pun yang menyebutkan Adrian Waworuntu terlibat di dalam pembobolan BNI. Kesalahan justru dilimpahkan sepenuhnya kepada Maria Pauline Lumowa.

Usaha untuk memperoleh kembali dana Rp 1,7 triliun yang dibobol lewat penerbitan L/C fiktif sebetulnya juga diupayakan oleh Maria Pauline Lumowa, salah satu tersangka. Ia disebut-sebut telah menyerahkan aset kepada pihak BNI.

Penyerahan aset itu diungkapkan oleh Ollah Abdullah Agam, saksi dalam perkara yang menyidangkan dua terdakwa pejabat BNI yakni Edy Santosa dan Nirwan Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 Juli lalu. Agam, Direktur Utama PT Gramarindo Mega Indonesia, yakni perusahaan cabang dari Gramarindo Group milik Maria P Lumowa, juga menjadi terdakwa untuk kasus yang sama namun dengan berkas sidang yang terpisah.

Selain sebuah rumah pribadi dan sejumlah tanah di Cilincing, Jakarta Utara, Agam mengatakan, semua aset PT Sagared yang bergerak dalam penambangan marmer di Kupang juga telah diserahkan Maria Lumowa kepada BNI.

Penyerahan aset tersebut, menurut Agam, adalah tindak lanjut pertemuan antara pihak BNI dan Maria di Singapura, 28 Oktober 2003. Untuk memulihkan kondisi bank pelat merah tersebut, disepakati bahwa Maria harus menyerahkan aset yang dimilikinya kepada pihak BNI. Legalitas penyerahan aset sudah diproses melalui notaris sejak 7 Nopember 2003 lalu.

Soal jaminan perorangan (personal guarantee) diatur dalam salah satu klausul perjanjian L/C yang mengharuskan Maria Lumowa menyerahkan jaminan jika pembayaran kredit sudah melebihi jatuh tempo.

Aset Bermasalah
Namun, perusahaan marmer PT Sagared Team, yang juga disebut PT Sagared Pertiwi, milik Maria Lumowa itu, ternyata punya masalah. Sagared ternyata sudah tidak beroperasi, kata Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), kepada Pembaruan.

Nilai aset perusahaan yang berlokasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu juga tidak sefantastis jumlahnya seperti yang disebut-sebut Maria selama ini, yaitu mencapai US$ 700. Fakta itu ditemukan ICW dalam penyelidikan di lapangan yang melibatkan partner lokalnya, LSM Piar Kupang.

Selain mengaku perusahaannya sudah beroperasi sejak 1997 Maria Lumowa juga mengklaim telah mengantongi izin menambang marmer dan telah memotong 200 blok dari tujuh gunung.

Aset yang dimilikinya itulah yang disebutkan bernilai sekitar US$ 700 juta atau setara Rp 5,6 triliun. Padahal, mengacu data yang dikeluarkan PT Sagared sendiri, hanya gunung batu di Desa Ohaem yang sudah ditaksir cadangan depositnya, yaitu sekitar 40,6 juta meter kubik, sedangkan gunung-gunung yang lain belum ada taksiran depositnya. Bahkan yang tidak kurang fatal, menurut Teten, PT Sagared belum menyelesaikan ganti rugi tanah ulayat kepada masyarakat setempat.

Selain sudah tidak beroperasi, tanah seluas 53,1 hektare yang dijadikan pabrik marmer tersebut adalah milik bekas raja setempat (Mus Neno), leluhur marga Neno, Baaf, dan Matnay, yang diserahkan secara sepihak oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Kupang kepada PT Sagared, tanpa ganti rugi yang jelas terhadap beberapa marga yang bersengketa soal tanah tersebut.

Setelah diteliti terungkap bahwa 12 aset yang diserahkan PT Sagared dan Gramarindo kepada BNI pada November 2003 hanya enam yang dinilai lengkap dokumennya. Lima tanah dan bangunan berikut saham Sagared pada PT Infinity Finance ditaksir hanya senilai Rp 74,5 miliar. Dokumen aset yang dinilai tidak lengkap dan bermasalah.

Pengalaman buruk diserahkannya aset-aset bodong oleh pelaku kejahatan perbankan, seperti kasus BLBI, dan yang terakhir adalah kasus L/C fiktif Rp 1,7 triliun, inilah yang menyebabkan ICW sejak awal menolak skandal pembobolan BNI diselesaikan melalui asset settlement. Penyelesaian kewajiban seharusnya tidak melalui penyerahan aset, tetapi dengan membayar tunai dan kalau perlu gijzeling (paksa badan, Red), katanya.

Penyidikan Macet
Penyidikan skandal L/C fiktif yang menjebol dana Rp 1,7 triliun milik BNI itu sendiri tak ubahnya komedi teatrikal yang hanya menarik bagi media massa.

Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, kepada Pembaruan mengatakaan saat ini proses penyidikan L/C fiktif BNI masih pada tahap melengkapi berkas-berkas penyidikan. Siapa bilang polisi lambat? Pembuktikan ini kan harus profesional dan membutuhkan keterangan yang cukup komprehensif yang kita harus dapatkan dari berbagai sumber. Itu berkembang dari waktu ke waktu, kata Ismoko saat ditemui di kantor Bareskrim Mabes Polri.

Ismoko mengaku polisi kesulitan menemui Maria Pauline Lumowa. Ya, sampai sekarang kami belum tahu, dan belum menemukan Maria Pauline entah di Singapura atau di negara lain. Kalau di Singapura tidak ada, ya kita lalu harus nyari ke mana? kata Ismoko lebih lanjut. Dikatakan, polisi sedang menyiapkan pemberkasan untuk menyidangkan Maria Pauline secara in absentia.

Sejumlah kalangan prihatin. Maria seolah dibiarkan melenggang bebas di Singapura, bahkan leluasa pula cuap-cuap kepada wartawan berbagai media massa.

Anehnya, Maria yang gampang ditemui wartawan, ternyata polisi tidak bisa mencokok tersangka utama ini. Kenapa polisi tidak mau membongkar? Saya lihat di sini tidak ada political will dari pemerintah.Pemberantasan korupsi belum menjadi realitas, ujar Faisal Baasir, anggota Komisi IX DPR.

Yang lebih parah lagi, beredar informasi bahwa saldo-saldo PT-PT lokal di sejumlah rekening BNI sebesar kurang lebih US$ 15,3 juta, yang awalnya dikatakan diblokir, ternyata kini sudah lenyap. Dana tersebut adalah saldo rekening 7 perusahaan Gramarindo Group milik Maria Lumowa yang diblokir BNI pada bulan Agustus 2003 dengan dalih untuk diselamatkan setelah meletup kasus bobolnya BNI Rp 1,7 triliun akibat L/C fiktif.

Tujuh perusahaan itu, yakni PT Gramarindo Mega Indonesia, PT Pan Kifros, PT Magnetique Usaha Esa, PT Bhinekatama Pacific, PT Metrantara, PT Trirano, PT Basso Masindo.

Maruli Pohan, Manajer Humas PT Bank Negara Indonesia Tbk, sendiri ketika dikonfirmasi Pembaruan enggan berkomentar. Ia berjanji akan segera memberi penjelasan yang komprehensif tentang perkembangan kasus ini. Pohan mengatakan, pihaknya sudah menyerahkan masalah skandal L/C fiktif tersebut sepenuhnya kepada kepolisian untuk melakukan investigasi.

Manajemen Dirombak
Untuk meninggalkan citra bahwa bank pelat merah rawan pembobolan, manajemen puncak BNI merombak jajaran direksinya. Sejak bulan April hingga Juli 2004, dicanangkan pula komitmen zero fraud operation. Bahkan pada bulan Juli, dilakukan program rebranding serta membangun identitas perusahaan yang baru, yakni reposisi Bank BNI sebagai bank yang melayani dengan kebanggaan sebagai bank anak negeri.

Bagi sejumlah kalangan, komitmen zero fraud operation tidak akan memberi jaminan BNI terbebas dari praktik pembobolan sejenis di masa mendatang. Penegakan hukum bagi para penjahat perbankan adalah solusi yang tidak kalah penting.

Dibebaskannya Adrian Waworuntu, berbekal dalih berkas perkara belum lengkap sementara masa penahanan sementara dia sudah habis, adalah cemin aparat penegak hukum tanah air tidak tegas memberantas kejahatan perbankan.

Waworuntu, sama halnya dengan Maria Pauline Lumowa, dituding adalah otak intelektual bobolnya BNI. Tapi jangankan diseret ke pengadilan, polisi pun mengaku hingga kini tak bisa melacak jejak sang buronan, yang saat ini bebas berkeliaran di luar negeri. Baik Maria Pauline dan Waworuntu sebelum terlibat pembobolan Rp 1,7 triliun ini, sudah punya sejarah hitam kejahatan perbankan. (Oleh: Wartawan Suara Pembaruan Elly Burhaini Faizal)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan yang dimuat berturut-turut pada 26 dan 27 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan