Sjamsul dan 8 Bankir Dibebaskan Kejaksaan [23/07/04]

Sjamsul Nursalim dan delapan penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lainnya mendapat hadiah dari Kejaksaan Agung dengan dibebaskan dari tuntutan pidana maupun perdata.

Mereka mendapatkan sertifikat penghentian penyidikan dalam kasus penyalahgunaan Bantuan Dana Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang semula ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,38 triliun dari total dana yang disalurkan sebesar Rp 1,44 triliun yang dikucurkan antara kurun waktu 30 Desember 1997 sampai 29 Januari 1999 kepada 48 bank.

Penetapan pembebasan dari tuntutan hukum pidana maupun perdata terhadap para bankir kakap dimaksud diputuskan dalam rapat internal Kejaksaan Agung 13 Juli dan diumumkan Kamis (22/7) , seusai upacara Hari Bakti Adyaksa ke-44 dengan inspektur upacara Presiden Megawati.

Dalam sambutannya yang dibacakan pada apel di lapangan Kejaksaan Agung, Presiden Megawati menyampaikan pujiannya terhadap prestasi kejaksaan. Presiden menyatakan tidak seorang pun di luar institusi Kejaksaan yang lebih tahu mengenai seluk-beluk institusi ini, baik kekurangan maupun kelebihannya, kecuali warga Adhyaksa sendiri.

Sudah tentu menjadi harapan saya, bahwa warga Korp Adhyaksa mampu membuktikan kebenaran pemahaman saya tadi. Sebab, keberhasilan saudara-saudara dalam membuktikan hal itu, adalah kepentingan dan kehormatan institusi kejaksaan, katanya.

Kemudian presiden mengingatkan hasil-hasil kerja yang bagus bagai tertutup mendung, karena adanya tindakan tercela yang dilakukan satu atau beberapa warga Korp Adhyaksa.

Bagai nila setitik, rusak susu sebelanga. Kita semua tahu makna ungkapan tersebut. Tidak sekadar kealpaan atau pengingkaran terhadap kehormatan korp, yang timbul karena godaan atau iming-iming materi, cela, dan aib seringkali juga datang karena kekurangmampuan profesi, kata Megawati.

Sembilan bankir
Jaksa Agung M.A. Rahman menjawab pertanyaan pers, menyatakan, penyidik telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap para penerima dana BLBI. Dasarnya, mereka telah mendapatkan surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Tetapi, keterangan Jaksa Agung ditambahi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman. Dalam penjelasan pers, ia menyatakan sebanyak sembilan penerima dana BLBI yang meraih fasilitas pembebasan tuntutan hukum.

Mereka terdiri dari Komisaris Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim. Denington, pemilik Bank Baja Internasional (BBI), Husodo Angkosubroto (Bank Sewu Internasional), Hashim S. Djojohadikusumo pemilik Bank Papan Sejahtera, Bank Istimarat , dan Bank Pelita, dan Hokiarto (Bank Hokindo), Bank Dana Utama, Bob Hasan (Bank Umum Nasional). Samadikun Hartono (mantan Presiden Komisaris Bank Modern) dan Kaharuddin Ongko (mantan Wakil Presiden Komisaris Bank Umum Nasional). Keduanya dipidana bebas. Hendra Rahardja (mantan Presiden Komisaris Bank Harapan Sentosa), Bambang Sutrisno (mantan Wakil Presiden Komisaris Bank Surya), dan Adrian Kiki Ariawan (mantan Presiden Direktur Bank Surya), divonis penjara seumur hidup. Namun, di tingkat kasasi, Hendra Rahardja divonis mati. Sampai putusan tetap dijatuhkan, Hendra Rahardja tidak pernah kembali ke Indonesia.

Dari sembilan penerima dana BLBI, Sjamsul Nursalim menggunakan dana negara sebesar Rp 10,09 triliun. Berdasarkan keputusan Kejaksaan Agung, Sjamsul Nursalim yang sudah memperoleh secara resmi sertifikat SP3. Sedang lainnya menyusul meskipun pemberhentian penyidikan telah diputuskan oleh Kejaksaan Agung.

Sjamsul Nursalim sendiri sekarang mukim di Singapura. Ia sempat disidik di Kejaksaan Agung dan ditahan semasa Jaksa Agung Marzuki Darusman. Tetapi setelah menginap semalam, ia minta izin berobat dengan alasan sakit.

Sampai akhirnya berobat ke Jepang dan kemudian pindah ke Singapura. Sampai putusan SP3 dikeluarkan, ia masih mukim di Singapura bersama keluarganya. Kemas Yahya menyatakan, SP3 dikeluarkan sesuai dengan ketentuan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Menurutnya SP3 merupakan satu dari tiga opsi yang disepakati Kejaksaan dan Komisi II DPR. Tiga opsi dimaksud, debitor BLBI yang melunasi utang dan memperoleh sertifikat SKL dari BPPN bisa diajukan ke pengadilan, atau dihentikan perkaranya (SP3), atau perkaranya ditutup demi kepentingan hukum. Yang dipilih oleh Kejaksaan Agung adalah penghentian penyidikan.

Dipidana 15 tahun
Komisaris PT Delta Makmur Experindo (DME) Direktur Hartono Tjahyadigdja dan Yudi Kartolo, Direktur Utama PT DME dipidana penjara selama 15 tahun. Keduanya terbukti merugikan keuangan Negara sebesar Rp 142, 25 miliar, dan membayar ganti rugi kepada Negara masing-masing Rp 55,227 miliar. Penghitungannnya dari jumlah uang yang dikorupsi, telah terpakai sebanyak Rp 110,455 miliar.

Putusan pidana penjara 15 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa Aziz Husein, Erry Satriana, dan Ramos Hutapea, yang menuntut masing-masing pidana penjara 20 tahun. Putusan tersebut ditetapkan oleh I Putu Dignya (hakim ketua) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (22/7). Pembacan putusan tidak dihadiri oleh terdakwa Yudi Kartolo karena sedang dibantar di rumah sakit karena patah tulang dan depresi. Tetapi hakim memerintahkan agar terdakwa segera diakhiri pembantarannya dan diharuskan menjalani hukuman di penjara

Hanya 7 perkara
Sementara itu, dalam kurun waktu satu tahun, Kejaksaan Tinggi Jabar (Kejati Jabar) hanya mampu menyelesaikan 7 perkara kasus korupsi dari 59 kasus yang masuk dan satu kasus dihentikan karena tidak cukup bukti.

Sementara itu, jika dilihat dari jumlah keseluruhan perkara yang masuk ke kejaksaan mulai dari 22 Juli 2003 hingga 22 Juli 2004 sebanyak 12.368 perkara, dan telah diselesaikan sebanyak 8.917 perkara.

Dari 12.368 perkara ini, di antaranya kasus narkotika 1.111 perkara, Psikotropika 572 perkara, kehutanan 148 perkara, masalah uang palsu 61 perkara, perbankan 1 perkara dan kasus STPDN Jatinangor Sumedang 1 perkara, sisanya merupakan kasus tindak pidana kejahatan lainnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Charles Mindamora, S.H., M.H., seusai apel pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bakti Adhyaksa ke-44 di Jln. L.L.R.E. Martadinata Bandung, kepada wartawan menjelaskan, lambannya tindakan penanganan kasus korupsi di Jabar selama ini, karena mengalami beberapa hambatan.

Di antaranya, dalam perkara tindak pidana umum, yang tersangka atau terdakwanya tidak ditahan karena menurut undang-undang, (tindak pidana yang dilakukan tidak memenuhi syarat untuk ditahan). Biasanya pada waktu disidangkan atau dieksekusi terdakwa atau terpidananya sulit dihadirkan karena tidak diketahui keberadaanya.

Atau dalam perkara korupsi ini, sebelum perkara disidik, tersangka sudah melarikan diri, sehingga terjadi tunggakan - tunggakan penyidikan, ujar Charles.

Hambatan lainnya, kata Charles Mindamora, bila si tersangkanya adalah seorang oknum pejabat tertentu yang menurut undang-undang, untuk melakukan pemeriksaan terhadapnya diperlukan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Biasanya izin dimaksud untuk oknum pejabat tersebut, diberikan dalam tenggang waktu yang cukup lama.

Hambatan lain, untuk perkara korupsi, Tim Penyidik sangat banyak sekali memerlukan saksi-saksi, namun kebanyakan masyarakat kita masih enggan dijadikan sebagai saksi.

Terakhir menurut Kajati Jabar, dalam rangka pelaksanaan tugas penyuluhan/penerangan hukum, masyarakat kurang berminat untuk mengikuti kegiatan tersebut. Apalagi yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Padahal masyarakat perlu untuk mengetahuinya. (A-84/A-72)

Sumber: Pikiran Rakyat, 23 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan