Sjachriel Darham Dihukum Empat Tahun
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis terdakwa kasus korupsi, mantan Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham, empat tahun penjara. Sjachriel juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 5,886 miliar dan denda Rp 200 juta serta dikenai subsider enam bulan hukuman.
Terdakwa terbukti melanggar PP 109, yang mengatur kedudukan keuangan kepala daerah, kata anggota majelis hakim, I Made Hendra, dalam pembacaan putusan di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin. Hukuman ini satu tahun lebih lama daripada tuntutan jaksa.
Kuasa hukum Sjachriel, Juan Felix Tampubolon, mengatakan pihaknya ingin meminta banding atas putusan ini. Aneh kalau terdakwa tidak terbukti melawan hukum, tapi penyalahgunaan wewenang terbukti, katanya. Namun, dia akan mengkonsultasikan pendapatnya ini dengan kliennya dulu. Ia berharap awal minggu depan keputusan sikap kliennya terhadap putusan majelis hakim ini sudah dapat dibuat. SHINTA EKA P
Sumber: Koran tempo, 25 Agustus 2007
--------
Mantan Gubernur Kalsel Divonis Empat Tahun
Mantan Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham divonis empat tahun penjara, membayar denda Rp 200 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 5,858 miliar.
Sjachriel dinyatakan bersalah telah menyalahgunakan kekuasaannya yang berakibat menguntungkan diri sendiri, keluarga, maupun orang lain dan partai politik sebanyak Rp 8,381 miliar.
Vonis terhadap Sjachriel ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (24/8). Sjachriel terbukti melanggar dakwaan subsider, yaitu Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999.
Mengenai kerugian negara, majelis hakim menghitung sejumlah peruntukan anggaran yang tidak tercapai ke tujuannya. Menurut I Made Hendra Kusumah, kerugian keuangan negara total Rp 8,381 miliar dengan rincian Rp 1,947 miliar (tahun 2001), Rp 1,901 miliar (2002), Rp 2,341 miliar (2003), dan Rp 2,190 miliar (2004).
Angka kerugian negara ini dikurangi dengan uang yang disita Rp 1,743 miliar, pengembalian pascapemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rp 400 juta, dan pengembalian Syahrani Ambo Oga sebesar Rp 20 juta yang pernah menerima uang dari Sjachriel. Angka kerugian negara ini juga masih dikurangi dengan salah satu rumah Sjachriel di Banjarmasin senilai Rp 350 juta.
Menurut majelis hakim, Sjachriel selaku gubernur tidak hanya memerintahkan pencairan uang APBD, melainkan juga menggunakannya untuk keperluan pribadi maupun keluarganya.
Majelis merinci sejumlah penggunaan untuk kepentingan pribadi Sjachriel dan keluarganya, di antaranya untuk membayar 10 kali cicilan ruko atas nama putranya, Herland, dengan total Rp 338,638 juta, kredit mobil Kijang untuk Herland Rp 65 juta, membeli handphone untuk istrinya Rp 2,6 juta, membayar tunggakan handphone Rp 18 juta, biaya rekreasi putrinya, Ira, ke Bali Rp 13 juta, tiket pesawat ia dan keluarganya dengan total Rp 1,309 miliar, dan untuk keperluan lainnya. (VIN)
Sumber: Kompas, 25 Agustus 2007
-------------
Vonis mantan Gubernur Lebih Berat
Kena 4 Tahun Plus Rp 5,868 M
Sjachriel Darham harus melewatkan pensiun di bui. Kemarin mantan Gubernur Kalimantan Selatan 2000-2005 tersebut divonis empat tahun pidana dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor.
Tak hanya itu, mantan pembesar tersebut juga diharuskan membayar ganti rugi Rp 5,868 miliar. Jika tidak, dalam watu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap (inkracht), harta bendanya bakal disita dan dilelang oleh negara hingga sejumlah itu.
Hukuman tersebut lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni tiga tahun pidana, denda Rp 500 juta, ganti rugi Rp 6,268 miliar.
Dalam sidang dimulai pukul 14.55 itu, majelis hakim yang dipimpin Moefri secara bulat memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Yakni, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan dalam pengelolaan pos anggaran gubernur. Terutama pada anggaran perawatan rumah dinas dan pembelian inventaris rumah dinas. Unsur dalam dakwaan subsider, yakni pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP, dianggap terpenuhi.
Pencairan dana-dana pos kepala daerah telah menguntungkan terdakwa, istri, anak-anak, kerabat, pejabat daerah, DPRD Kalsel, dan parpol, ujar anggota majelis hakim Ugo. Dia menyatakan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain.
Alasan terdakwa bahwa dana kepala daerah yang tidak digunakan secara otomatis menjadi milik pribadi tak dapat dibenarkan. Apa yang menjadi hak milik pribadi sudah diberikan melalui gaji, baik gaji pokok maupun tunjangan sebagai kepala daerah, ujar hakim I Made Hendra Kusuma.
Untuk itulah, ujar Kusuma, sisa uang anggaran yang tak terpakai seharusnya kembali ke kas daerah. Kalau tidak terpakai, tidak lantas menjadi hak pribadi terdakwa, kata hakim asal Bali itu. Sjachriel yang tampak tenang langsung memajukan bibi.
Kusuma menambahkan, apa yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan sebagai kepala daerah.
Setidaknya Rp 8,381 miliar diselewengkan. Rinciannya, pada 2001 sejumlah Rp 1,947 miliar, 2002 sebesar Rp 1,901 miliar, 2003 Rp 2,341 miliar, dan 2004 sebesar Rp 2,190 miliar. Uang daerah dapat dikategorikan sebagai uang negara. Karena itu, tindakan terdakwa telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara, ujarnya.
Sejumlah Rp 2,143 miliar dikembalikan terdakwa ke kas negara. Selain itu, KPK menyita Rp 20 juta dari keluarga terdakwa. Majelis hakim juga menetapkan ruko yang diatasnamakan anak terdakwa senilai Rp 350 juta disita negara. Dikurangi uang yang telah kembali ke kas negara, Sjachriel harus membayar ganti rugi Rp 5,868 miliar.
Sebagian uang tersebut habis dibelanjakan untuk membeli ruko, membayar cicilan rumah, membeli telepon genggam, membayar asuransi, membeli cicin, dan keperluan lain yang tak dinilai ada hubungannya dengan kedudukan terdakwa sebagai kepala daerah dan tidak dimaksudkan untuk koordinasi antarinstansi. Tak ada yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana dalam diri terdakwa, ujar Kusuma.
Sjachriel yang tampak tenang memilih pikir-pikir atas vonis itu. Usai persidangan, dia menilai putusan hakim tidak adil. Sambil tersenyum, Sjachriel tetap bersikukuh bahwa uang yang digunakan tersebut adalah haknya. Itu uang perjalanan dinas yang tidak dipakai. Sudah jelas, berarti sudah menjadi hak saya, ujarnya, lantas berlalu.
Pengacaranya, Juan Felix Tampubolon, menilai bahwa kliennya seharusnya bebas karena hakim menilai dakwaan primer, yakni pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP tidak terpenuhi. Kalau unsur melanggar hukum tak terpenuhi, seharusnya dakwaan subsider juga tidak terpehuhi, ujarnya.
Kalaupun dimintai pertanggungjawaban, lanjut dia, seharusnya bukan gubernur karena telah mendelegasikan ke pengguna anggaran. Kewenangan itu ada pada pengguna anggaran, ujar Juan yang juga pengacara keluarga Cendana. Dia akan bersikap pekan depan. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 25 Agustus 2007