Situasi Ekonomi Buruk, Politik Uang Efektif [05/08/04]
Meskipun dilakukan pilpres secara langsung, politik uang dalam pemilu tetap efektif dilakukan akibat situasi ekonomi Indonesia yang tidak kondusif saat ini.
Hal itu dikatakan ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir kepada Media, usai sebuah diskusi di Jakarta, kemarin.
Menurut Revrisond, selama ini pilpres langsung dianggap akan menghasilkan kepala negara atau presiden yang lebih baik. Akan tetapi, semua itu dengan asumsi jika masyarakat akan menggunakan hak pilihnya dengan cerdas dan rasional.
Lantas bagaimana faktanya, angkatan kerja kita itu 40% buta huruf, mereka yang berpendidikan di bawah atau hanya lulus SD jumlahnya 70%, dan yang masih di bawah garis kemiskinan (pendapatan US$2/hari/orang) masih 60%, katanya.
Dalam situasi seperti itulah, menurut Revrisond, Indonesia melakukan demokrasi bebas dengan memilih presiden secara langsung, di tengah situasi oligarki elite nasional yang sangat kaya. Dalam situasi ketika ada capres memiliki kekayaan Rp44 miliar dan ada cawapres memiliki kekayaan Rp400 miliar. Belum lagi dana dari yang lain-lain, sehingga biaya resmi parpol yang mengajukan capres-cawapres memiliki anggaran mencapai Rp100 miliar lebih.
Anda bisa bayangkan apa yang terjadi. Politik uang bekerja efektif, jadi sebenarnya bukan pemilihan langsung oleh rakyat yang mempunyai kesadaran politik, tapi rakyat yang dimobilisasi dan dimanipulasi untuk mencoblos calon tertentu, tegas Revrisond.
Menurut Revrisond, itulah bahaya dari pemilihan langsung di tengah situasi struktur sosial yang tidak demokratis. Lantaran itulah agar pemilihan presiden secara langsung dapat berjalan sehat dan menghasilkan pilihan yang benar-benar baik, maka harus dilaksanakan di atas infrastruktur demokrasi ekonomi.
Jadi harus ada peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan pengetahuan. Jika belum mencapai taraf itu, presiden yang banyak uangnya dan sponsornya akan memenangi pemilihan langsung, katanya.
Diyakini Revrisond, dalam situasi struktur ekonomi yang pincang kemudian dilakukan pemilihan langsung, hasilnya seperti sekarang ini. Politik uang bekerja efektif, pemimpin yang paling kaya, yang mendapat sponsor pemodal banyaklah yang terpilih.
Akibatnya lestarilah proses kesenjangan sehingga tidak mungkin dilakukan proses demokrasi. Itu yang memang diharapkan. Proses prosedur politik dalam batas-batas tertentu bisa dikompromikan. Tapi, hal tersebut tidak berlaku dalam demokrasi ekonomi, tegas Revrisond.
Contoh yang kasatmata, ungkap Revrisond, dalam UUD 45 dinyatakan setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak sesuai dengan kemanusiaan. Begitu pun dengan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Itukan jelas dan tegas, tapi tidak pernah dilaksanakan oleh negara. Itu yang sederhana dan dinyatakan hitam di atas putih, tapikan Anda tahu sendiri faktanya. Pernahkah dilaksanakan? ia balik bertanya.
Padahal, demokrasi ekonomi yang baik, ungkap Revrisond, dapat membuat demokrasi di bidang lainnya menjadi baik pula, misalnya di bidang politik dan hukum.
Ia menambahkan, landasan demokrasi ekonomi yang kuat mampu menjadikan demokrasi secara umum berjalan baik. Sebab dengan demokrasi ekonomi, tercipta kesejahteraan bagi masyarakat dan keadilan berusaha.
Namun dari kedua calon presiden yang lolos ke putaran kedua ini, belum secara tegas dinyatakan akan melakukan demokrasi ekonomi. Padahal, itu dinyatakan dalam UUD. Mereka memang mengatakan akan melakukan perubahan ekonomi, seperti soal pajak dan pengangguran. Tapi belum pernah bicara demokrasi ekonomi. (Faw/P-5)
Sumber: Media Indonesia, 5 Agustus 2004