Siswa SD Bertanya soal Korupsi
Suasana Ruang Sidang DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tampak berbeda, Selasa (25/5) pagi lalu. Ruangan yang biasa dipenuhi anggota DPRD yang bersidang pagi itu disesaki 90 siswa kelas III dan IV SD Budi Mulya 2, Sleman, DIY, didampingi beberapa guru.
Mereka bertamu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) guna mempelajari mekanisme kerja parlemen. Kegiatan itu masuk ke dalam kegiatan sekolah, yakni mengenal lingkungan.
Layaknya tamu dewasa, para siswa yang tampak cerdas dan aktif itu duduk dengan tertib. Mereka menyimak setiap perkataan anggota DPRD dan mencatatnya dengan teliti.
Sikap kanak-kanak mereka hanya terlihat ketika pembagian penganan dan air kemasan dimulai. Begitu konsumsi dibagikan, langsung nyam-nyam- nyam, semuanya tandas dalam sekejap. Setelah semuanya tandas, mereka kembali memusatkan perhatian kepada Wakil Ketua DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nur Achmad Affandi yang berbicara kepada mereka di depan podium.
Nur Achmad menjelaskan mekanisme kerja parlemen dan tetek bengek lainnya dengan bahasa yang formal dan tertata rapi. Entah, apakah anak-anak sekolah dasar (SD) itu mengerti penjelasan Nur Achmad, yang jelas mereka hanya mengangguk-anggukan kepala.
Ketika tiba sesi pertama, tanya jawab, Nur Achmad menyilakan para siswa bertanya. Suasana tiba-tiba menjadi semarak dan agak riuh oleh teriakan siswa yang berebutan ingin bertanya sambil mengacungkan tangan, seperti mau mengadakan interupsi saja. Bak aktivis mahasiswa atau anggota lembaga swadaya masyarakat, para bocah yang berusia 8-10 tahun itu mencecar anggota DPRD dengan pertanyaan, Anggota dewan pekerjaannya apa saja sih?, Apa sih artinya komisi?, Bagaimana cara mendaftarkan diri sebagai anggota dewan?, dan Anggota dewan itu sebenarnya dipilih oleh siapa?
Nur Achmad menjawab pertanyaan tersebut satu per satu secara rinci. Dengan bahasa yang begitu formal, Nur Achmad persis seperti dosen menguliahi mahasiswa. Seusai memberikan jawaban, Nur Achmad kembali menyilakan siswa bertanya lagi. Kali ini pun para siswa tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka mengacungkan jari dan bertanya bertubi-tubi.
Pak, mengapa koruptor tidak dipenjara, sementara maling sandal jepit dipenjara? tanya seorang siswa.
Mendengar pertanyaan itu, para guru, anggota DPRD, serta wartawan yang hadir tertawa dan bertepuk tangan, sedangkan anak yang bertanya justru terlihat kebingungan. Nur Achmad menjawab bahwa yang namanya koruptor pasti akan ditindak, tetapi harus melalui prosedur hukum yang berlaku. Kita kan negara hukum, jadi semua sudah ada aturannya, katanya.
Siswa lain mengejar, Tetapi, mengapa Akbar Tandjung tidak dipenjara Pak? Nur Achmad tampak tersentak mendengar pertanyaan tak terduga itu. Namun, kemudian dia menjawabnya secara normatif dan panjang lebar.
Pengadilan itu kan ada tingkatannya, ada pengadilan negeri, ada pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Pak Akbar itu kan divonis bersalah di pengadilan negeri, dan pengadilan tinggi, tetapi dia dibebaskan di Mahkamah Agung. Jadi dia tetap bebas. Lho, kok saya jadi seperti juru bicaranya Pak Akbar ya.... Tapi, yang penting adik-adik mengerti dulu tentang tingkatan pengadilan ya, ujar Nur Achmad.
Seorang siswa kelas empat lainnya kembali bertanya soal korupsi dengan lantang dan polos, Kalau di DPRD sini, apa ada anggota dewan yang korupsi? Nur Achmad terlihat bingung dan agak malu-malu menjawabnya. Begitu pula anggota DPRD lainnya.
Memang ada dugaan korupsi seperti yang dimuat di media massa waktu itu, tetapi semuanya sudah ditangani kejaksaan. Orang yang korupsi itu kan harus diputuskan dulu oleh pengadilan. Kalau ada yang dinyatakan korupsi, itu berarti ada anggota dewan yang korupsi.
ITULAH rangkaian pertanyaan yang diajukan anak-anak SD. Pertanyaan yang mencengangkan, jujur, dan polos. Namun, bagaimana mereka bisa mempertanyakan itu semua?
Saya bingung menjawabnya. Saya tidak menyangka anak-anak SD memerhatikan betul moral politik dan kemampuan anggota dewan. Berbeda dengan anak-anak SD dulu, ujar Nur Achmad.
Umi Ng Latifah, guru Pendidikan Agama Islam SD Budi Mulya 2, mengatakan, mereka tidak pernah mengajari anak didiknya mempertanyakan korupsi. Mereka tidak pernah diajari hal-hal yang berbau politik. Mungkin karena mereka sering bertemu Pak Amien Rais (calon presiden dari Partai Amanat Nasional-Red) yang menjadi Ketua Yayasan Budi Mulya, mereka jadi tahu soal korupsi, ujar Umi menduga-duga.
Umi memperkirakan, sikap kritis anak-anak itu merupakan buah dari konsep pendidikan di Budi Mulya yang mendorong siswa untuk menanyakan setiap kejanggalan yang terjadi di lingkungannya. Mereka memang cerewet. Kalau bertanya, mengejar terus, kata Umi lagi.
Namun, siswa-siswa SD itu memang tidak perlu mendapat pendidikan politik atau semacamnya untuk sekadar mengetahui praktik korupsi di Indonesia, sebab korupsi dilakukan secara transparan dan tanpa malu-malu. Kalau terang-terangan begitu-seperti bunyi iklan telekomunikasi-anak kecil juga pasti tahu. Sayangnya, mereka juga harus mengetahui bahwa pengadilan hanya serius menyeret maling sandal ke penjara daripada koruptor.
Di DPRD DIY, misalnya, setidaknya ada dua kasus korupsi yang terbongkar. Pertama, kasus korupsi dana asuransi jiwa anggota DPRD DIY sebesar Rp 4,7 miliar tahun 2003. Kasus ini melibatkan hampir seluruh anggota DPRD, tetapi hanya enam yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Hingga kini kasus tersebut tidak jelas penyelesaiannya.
Sebelumnya, ada kasus korupsi dana proyek Jogja Expo Center senilai Rp 150 juta. Kasus ini melibatkan belasan anggota DPRD DIY, tetapi hanya seorang anggota DPRD, Herman Abdurrahman, yang divonis bersalah di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi DIY. Tersangka lainnya tak pernah tersentuh. Di jagat nasional, lebih banyak lagi contoh kasus korupsi yang menguap begitu saja.
Kasus korupsi dan penanganannya yang tidak pernah serius sudah lama menjadi perhatian sekaligus keprihatinan bangsa Indonesia, dan ternyata itu pun tak luput dari perhatian anak-anak SD. Namun, penjelasan apa yang dapat ditangkap anak-anak dari anggota DPRD tentang penanganan korupsi di Indonesia?
Sepertinya tidak terlalu banyak, sebab penjelasan anggota DPRD kepada anak-anak sama berbelit-belitnya, serba diplomatis dan normatif, seperti ketika mereka menghadapi lawan politik. Mereka lupa bahwa yang dihadapi adalah anak SD, yang pembentukan moralnya di masa depan sebenarnya menjadi tanggung jawab bersama.(BUDI SUWARNA)
Sumber: Kompas, 27 Mei 2004