Sistem Hukum Lemah, Koruptor Kabur

Sistem hukum Indonesia dianggap memiliki sejumlah kelemahan yang menyulitkan penegak hukum mengawasi koruptor yang kabur ke luar negeri. Kami masih kesulitan mengawasi mereka, baik di penyidik, penuntut umum, maupun di pengadilan, ujar Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin setelah mengikuti upacara Kesaktian Pancasila di kantornya kemarin.

Kesulitan, menurut Muchtar, justru sering datang dari aturan hukum. Misalnya waktu penahanan yang singkat. Kami mau menahan orang juga kan waktunya terbatas, sementara proses hukumnya berlangsung lama, kata Muchtar. Ketika proses hukum masih berlangsung dan masa tahanan habis, tersangka sering kabur ke luar negeri.

Ia mencontohkan kasus kaburnya mantan Direktur Pengolahan Pertamina Tabrani Ismail setelah Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat gagal mengeksekusinya dalam tindak pidana korupsi proyek Export Oriented Refinery I Pertamina di Balongan.

Satu-satunya cara untuk mengakali hal ini adalah melarang tersangka ke luar negeri. Itu (cegah dan tangkal) salah satu cara kami mengawasi, kata Muchtar. Hal itu juga yang diterapkan pada Tabrani.

Namun, meski sudah dicekal, berdasarkan pengalaman, kata Muchtar, para koruptor masih saja bisa lolos. Bisa karena kelalaian (aparat) ataupun hal lain yang tidak bisa kami kontrol, kata Muchtar. Hal yang tidak dapat dikontrol itu antara lain penggunaan dokumen palsu, seperti paspor.

Ketika koruptor sudah telanjur kabur ke luar negeri, aparat penegak hukum menemukan kesulitan lain untuk membawa mereka pulang. Lagi-lagi kesulitannya berkaitan dengan sistem hukum. Seperti di Singapura, kalau mereka (koruptor) sudah ke sana, kami sulit membawa mereka ke sini, ujar Muchtar. Indonesia dan Singapura belum memiliki perjanjian ekstradisi.

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji juga menganggap kejaksaan tidak dapat memantau koruptor selama 24 jam. Memantau 24 jam itu kan (membutuhkan) biaya. Jadi memantaunya insidental, kata Hendarman. Namun, bukan hanya biaya yang menjadi masalah. Banyak sekali masalahnya, kata Hendarman. FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo, 2 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan