Sisi Gelap dari Penjualan Tanker Pertamina [Analisis Faisal Basri]

Seandainya korupsi di Indonesia tidak parah, seandainya perusahaan-perusahaan milik negara tidak dijadikan sapi perah oleh para politikus, seandainya para direksi dan komisaris Pertamina memiliki rekam jejak yang tak tercela, maka penjualan tanker raksasa Pertamina adalah perkara jamak.

Seandainya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini berperilaku terpuji, seandainya mereka tak kerap bepergian ke luar negeri yang lebih banyak unsur melancongnya ketimbang mengemban tugas negara, seandainya mereka tak pernah menerima amplop, maka kunjungan anggota DPR ke Korea Selatan dan Hongkong niscaya tak perlu diusik.

Kasus ini menjadi istimewa dan mungkin sebab itu dijadikan berita utama oleh Kompas setiap hari tanpa henti selama lebih dari satu minggu karena tiga hal.

Pertama, peristiwa ini sangat ironis karena terjadi di tengah gemuruh kampanye pemilihan presiden yang semua kandidatnya mengusung tema pemberantasan korupsi untuk meraih simpati calon pemilih. Kedua, kita semua sudah muak dengan segala kebohongan dan kebobrokan moral mayoritas politisi di DPR, termasuk tabiat mereka yang kerap menghamburkan uang negara dengan dalih kunjungan kerja ke luar negeri. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka ditengarai telah melukai rakyat karena melakukan kebohongan kepada publik. Ketiga, proses penjualan tanker dan kontroversi yang menyertainya semakin mencerminkan carut-marut pengelolaan negara, termasuk badan usaha milik negara (BUMN).

Pembelian dua kapal tanker raksasa oleh direksi lama bertujuan antara lain mengurangi ketergantungan kepada mafia tanker yang sering mempermainkan biaya sewa tanker (Kompas, 12 Juni 2004, hal 11). Para pemilik perusahaan pengelola tanker tersebut pada umumnya sangat dekat dengan pusat kekuasaan sehingga mungkin membuat direksi menjadi risi dalam menghadapi mereka. Kasarnya, jika menolak, mereka dipecat.

Keputusan itu juga sudah barang tentu didukung oleh kajian mendalam atau studi kelayakan. Kajian ini sudah barang tentu telah memperhitungkan pula sumber pembiayaan dan dampaknya terhadap arus kas Pertamina. Atas pertimbangan yang lengkap itulah pada akhirnya pemerintah menyetujui rencana pembelian tanker oleh Pertamina. Perlu diingat, kala itu sejumlah menteri menjadi komisaris Pertamina.

Adalah sah-sah saja kalau direksi baru yang sekarang mengubah keputusan sebelumnya. Mungkin mereka memiliki pertimbangan yang lebih cermat dan asumsi-asumsi yang digunakan waktu itu sudah tak terpenuhi lagi. Alasan mereka untuk membuat usaha Pertamina lebih terfokus ke minyak, gas, dan petrokimia dengan melakukan divestasi atas aset-aset yang bukan inti (non-core assets) juga sangat logis. Hal itu memang merupakan kecenderungan umum dalam praktik korporasi untuk menghadapi persaingan yang makin ketat.

Bahkan, sekarang ini sudah lazim suatu perusahaan transnasional tidak memiliki sendiri gedung yang menjadi kantornya. Sewa dipandang lebih memberikan keleluasaan dalam memilih dan bisa meningkatkan efisiensi karena selalu bisa memilih yang terbaik. Di sisi lain, tentu saja ada konsekuensi dari setiap pilihan dan juga biaya yang harus ditanggung. Akhirnya, pilihan rasional yang dipilih akan bergantung pada mana yang memberikan manfaat bersih (net benefit) terbesar bagi perusahaan. Prinsip ini bisa pula diberlakukan untuk setiap keputusan atau kebijakan publik.

Direksi harus menyadari bahwa sekalipun status Pertamina telah beralih menjadi perusahaan terbatas (PT) persero, setiap keputusan tak bisa semata- mata berdasarkan pertimbangan bisnis murni. Mereka harus sadar bahwa Pertamina masih BUMN seratus persen. Wawancara Kompas dengan Direktur Utama (Dirut) Pertamina (Kompas, 19 Juni 2004, hal 14) menyiratkan bahwa Ariffi Nawawi lupa di mana dia sedang berada. Kalau urusan bisnis murni, mengapa komisaris utama Pertamina dijabat oleh Menteri Negara BUMN dan seorang komisaris dijabat oleh seorang pegawai eselon I Kementerian Negara BUMN?

KEPERCAYAAN masyarakat sudah telanjur kian luntur kepada pemerintah. Ditambah dengan praktik korupsi yang merajalela, sepantasnya masyarakat selalu curiga atas segala tindakan pemerintah, khususnya berkaitan dengan privatisasi atau penjualan aset-aset negara. Apalagi ada preseden bahwa Pertamina akan dijadikan target jarahan baru, setelah BPPN resmi ditutup.

Langkah itu dimulai dengan membuat Undang-Undang (UU) tentang BUMN yang sudah diberlakukan, yang menjadi pelindung utama bagi serangkaian tindakan penanganan terhadap Pertamina. Segera setelah UU itu diberlakukan, dengan cepat pemerintah mengubah status BUMN tersebut dan segera mengganti segenap direksi dan komisaris. Tindakan direksi baru yang tergolong paling awal ternyata adalah penjualan tanker raksasa yang kontroversial itu.

Dihadapkan pada kondisi lingkungan eksternal seperti ini, seharusnya jajaran Pertamina dan pejabat-pejabat pemerintah yang didudukkan di Pertamina lebih peka dan saksama melakukan langkah-langkah kebijakan perusahaan. Misalnya dengan membuat proses penjualan lebih terbuka dan transparan.

Alasan-alasan yang diajukan oleh jajaran Pertamina untuk membenarkan keputusannya menjual tanker semakin membuktikan kerancuan berpikir mereka. Contohnya adalah alasan Ariffi Nawawi, yang mengatakan bahwa kalau mengoperasikan sendiri tanker raksasa yang sudah dipesan itu, beban subsidi pemerintah untuk pengadaan bahan bakar minyak (BBM) akan meningkat dua kali lipat. Ucapan Dirut Pertamina ini berdasarkan asumsi tertentu, seperti harga minyak di pasar internasional tetap tinggi dan pemerintah tidak menaikkan tarif BBM.

Bukankah keputusan Dirut Pertamina juga berdasarkan asumsi tertentu dan kalau asumsi itu tidak terpenuhi, maka keputusannya pun tidak tepat? Contoh lainnya adalah kecerobohan Direktur Keuangan Pertamina yang mengatakan bahwa Pertamina akan rugi karena tanker hanya membawa minyak sekali jalan (Kompas, 15 Juni 2004, hal 11).

Sama rancunya adalah alasan anggota DPR yang pada akhirnya menolak penjualan tanker. Salah seorang anggota DPR mengaitkan kepemilikan tanker dengan keamanan pasokan di masa mendatang (Kompas, 16 Juni 2004, hal 11).

Namun, tentu saja yang paling fatal dari perilaku anggota- anggota DPR adalah sikap mencla-mencle dalam upaya perlindungan diri dari kritik dan cercaan masyarakat. Kebohongan demi kebohongan saling bersambut antara pihak DPR dan Pertamina. Berdasarkan pemberitaan media massa, sudah jelas terbukti bahwa sejumlah anggota DPR melakukan kebohongan kepada publik.

Saling lempar bola ini akan dengan mudah dihentikan, apabila semua pihak memiliki kehendak politik untuk menyelesaikannya dengan tuntas. Kebohongan kepada publik sudah hampir pasti terjadi. Buktinya mudah didapat. Satu minggu sudah cukup untuk menyelesaikannya. Kalaupun akhirnya kerugian negara tak bisa dicegah karena transaksi jual beli telah terjadi, paling tidak penyelesaian tuntas bisa menjadi preseden baik bagi penyelenggara negara yang baru nantinya.

Dengan perilaku, baik pihak Pertamina maupun DPR yang jauh dari batas-batas kepatutan di satu pihak, dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap persoalan korupsi, serta sedang terjadinya proses kontrak politik baru dalam pemilihan presiden dewasa ini, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki momentum yang tepat. Presiden Megawati menggunakan momentum tersebut untuk membuktikan bahwa komitmennya memberantas korupsi bukan sebatas janji kampanye. Momentum yang sama bisa dimanfaatkan pula oleh partai-partai politik dengan cara memecat anggotanya di DPR yang telah melakukan kebohongan kepada publik.

Tulisan ini diambil dari Kompas, 21 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan