Singapura Seharusnya Dukung Berantas Korupsi

Berbagai kalangan menilai pernyataan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong bahwa ektradisi tidak otomatis menghapus korupsi di Indonesia mengindikasikan otoritas di negara pulau itu tidak mempunyai kemauan politik membantu Indonesia memberantas korupsi.

Bahkan, pernyataan Lee itu semakin menguatkan anggapan selama ini bahwa Singapura dengan berbagai pertimbangan terkesan melindungi para koruptor dari Indonesia, padahal seharusnya mendukung pemberantasan korupsi.

Demikian kesimpulan pendapat dari Sekretaris Eksekutif Government Watch Andi W Saputra, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, ahli kriminologi Ronny Rahman Nitibaskara, Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie dan anggota Komisi I Cyprianus Aoer yang dihubungi secara terpisah, Selasa dan Rabu, di Jakarta.

Andi mengatakan, pernyataan politis PM Lee sangat meyakitkan Indonesia. Pemerintah seharusnya tersinggung dan mengirim nota resmi untuk meminta Lee memberikan klarifikasi.

Jelas, pernyataan tersebut seperti pedang bermata dua. Saya curiga PM Lee melontarkan pernyataan tersebut sebagai salah satu bentuk upaya mereka melindungi para koruptor kakap Indonesia yang memiliki jaringan investasi sangat luas di Singapura serta sebagai bagian dari semangat chinese oversize atau solidaritas etnis China dunia, ujar Andi menanggapi pernyataan Lee Hsien Loong.

Menurut dia, seharusnya Lee memahami bahwa pemerintah Indonesia sekarang merupakan pemerintahan hasil pemilihan langsung dan demokratis. Dengan demikian pemerintahan sekarang ini memiliki legitimasi kuat dari rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi.

Pemerintah Singapura, lanjutnya, seharusnya malu dengan pemerintah Indonesia yang telah sukses menjalankan demokrasi dan kini akan menegakkan hukum dan hak asasi manusia secara tepat.

Sebaliknya, negara pulau itu kini jauh dari demokrasi karena sistem politik yang dibangun lebih otoriter dan para koruptor dari banyak negara dibiarkan melakukan pencucian uang.

Karena itu, pemerintah harus bersikap tegas dengan mempertanyakan maksud PM Lee mengeluarkan pernyataan yang mengandung banyak pengertian, tandasnya.

Teten mengemukakan, sebaiknya pemerintah Singapura mendukung gerakan anti korupsi di Indonesia. Pemerintah Indonesia sebetulnya mempunyai kekuatan dan posisi tawar sangat besar untuk melakukan desakan kepada pemerintah Singapura agar segera melakukan perjanjian ekstradisi.

Mungkin pemerintah Singapura saat ini belum siap karena tengah menghitung terlebih dahulu untung dan ruginya secara ekonomis, sosial dan politik, karena jangan sampai hal ini menjadi bumerang bagi pemerintah mereka, ujarnya.

Sebetulnya, sambung Teten, pemerintah Indonesia perlu terlebih dulu mempersiapkan produk hukum hasil reformasi agar tidak ada celah bagi mafia hukum dan peradilan untuk menyusupkan koruptor ke luar negeri.

Menanggapi pernyataan Lee itu, KPK menilai pernyataan PM Singapura menjadi bukti bahwa negara tersebut enggan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Itu bahasa diplomatis, pada dasarnya mereka tidak mau. Karena (koruptor) itu sumber duit, tukas Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

Menurut dia, jika perjanjian itu ditandatangani, para koruptor dari Indonesia nantinya lari ke Cina. Jadi ekstradisi orang itu sama dengan ekstradisi uang. Orangnya pindah, uangnya juga pindah, ujarnya.

Kemauan Politik

Ronny menilai, penandatanganan perjanjian ekstradisi bergantung kemauan politik Singapura. Jangan lupa, suatu hari Singapura juga akan memerlukan kita.

Sebagai negara tetangga, negara bersahabat, sudah sepantasnya Singapura segera menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, tukas guru besar dari Universitas Indonesia itu.

Dia mengakui, selama belum ada ekstradisi, akan sulit menjangkau koruptor yang kabur ke luar negeri. Sudah banyak contoh koruptor yang lari dan hingga kini tidak bisa dijaring. Jadi bagaimana pun juga (tidak adanya perjanjian ekstradisi) ini suatu hambatan. Perlu perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tertentu sehingga lebih mudah menangkap mereka, tutur dia.

Kalangan DPR juga kecewa atas hasil kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Singapura dan Malaysia yang dinilai gagal bernegosiasi soal ekstradisi dan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Menurut Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie, kegagalan itu menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk meyakinkan dua negara tetangga itu

Sikap PM Lee menjadwalkan kembali pembiracaan soal ekstradisi, merupakan cara penolakan secara halus. Itu artinya, misi diplomasi yang dilakukan Presiden Yudhoyono gagal atau ditolak Singapura.

Anggota komisi itu Cyprianus Aoer dari Fraksi PDI Perjuangan menambahkan, penolakan secara halus Singapura menunjukkan kegagalan Presiden Yudhoyono. (Y-4/E-5/M-15)

Sumber: Suara Pembaruan, 16 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan