Siluman Kartel Politik
Tak mudah memahami manuver elite kita. Yang dikatakan dan yang dilakukan mudah berubah, bahkan selalu bertentangan. Setidaknya paradoks itulah dasar kenapa sebagian publik tak nyaman dengan langkah partai-partai politik yang pernah bernyanyi soal skandal Bank Century, tetapi bungkam setelah sekretariat bersama koalisi terbentuk.
Bukan koalisi politik yang kita persoalkan, tetapi pergeseran posisi dan prinsip yang ambivalen. Belakangan, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berdalih, masalah Bank Century sudah selesai di paripurna DPR pada Maret (2/3). Padahal, kedua partai ini memperlihatkan taringnya ketika mengusulkan dan selama berjalannya Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century.
Dari kacamata koalisi politik, seharusnya Partai Golkar dan PKS tidak memainkan peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hanura, atau Gerindra yang jelas-jelas di blok oposisi. Sebab, koalisi selalu mengandaikan kekuatan-kekuatan politik berpadu dalam satu suara, di mana partai pemenang adalah konduktornya. Faktanya, mereka kritis selayaknya oposisi sehingga publik tak salah kalau berharap mereka konsisten.
Apalagi, dalam pengusutan skandal Rp 6,7 triliun rupiah di Bank Century, mereka berlindung di balik wacana ”kepentingan negara di atas kepentingan kelompok”. Anehnya lagi, ketika mau melupakan kasus Century, mereka berteriak tentang urgennya stabilitas politik dalam mengurus masalah kemiskinan, pengangguran, dan semua masalah yang berlabel rakyat.
Padahal, betulkah rakyat yang mereka pikirkan? Inilah keraguan kelompok skeptis yang, seperti kaum Laswellian, melihat politik sebagai ”siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.
Dalam kenyataan, kelompok ini sering kali benar. Apalagi, dalam konteks politik belakangan, perubahan haluan sejumlah partai politik terjadi persis setelah Sri Mulyani Indrawati (SMI) meninggalkan kursinya di kabinet. Mungkinkah ada skenario ”mengusir” SMI?
Persekongkolan elite
Pertanyaan terakhir ini membawa kita ke dalam diskursus kartel politik. Apa itu? Sulit menemukan definisi seragam soal kartel politik. Saya cendrung memahami kartel politik dalam konteks ini sebagai persekongkolan elite partai dalam satu oligarki semu untuk menetapkan haluan politik tertentu yang sifatnya tertutup untuk umum dan untuk membatasi kompetisi.
Kartel perlu dipahami di dua ranah, yakni ranah partai dan ranah pemerintahan. Pada ranah partai, selalu saja ada segelintir elite yang memegang kekuasaan semimutlak. Mereka bisa disebut pendiri, pimpinan, atau pemodal. Dalam bahasa Robert Michels (1876-1936), mereka disebut oligarki.
Di hampir semua partai kita, ada oligarki itu. Itu sebabnya suksesi di internal partai selalu sulit diprediksi dengan ukuran normal. Pilihan oligarki selalu menjadi arus utama. Kongres Partai Demokrat di Bandung (21-23/5/2010) pun tidak lepas dari konteks ini.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah determinan yang utama. Elite pada posisi macam ini tidak selalu secara langsung mengintervensi proses elektoral, tetapi eksistensi ketokohan dalam patronase politik selalu melahirkan implikasi demikian.
Di ranah pemerintahan, kartel politik umumnya dibaca dari perubahan konstelasi di tingkat elite. Maka, sesuatu yang logis kalau ada yang menduga SMI pergi karena skenario kelompok tertentu di balik layar. Akan tetapi, adakah hubungan dengan jabatan Ketua Harian Sekretaris Bersama Partai Koalisi yang diemban Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, seperti rumor selama ini, kita tak akan pernah menemukan kepastian.
Sudah hakikatnya, kartel politik memang sulit diukur. Itu juga yang membuat ia berbeda secara substansial dengan oligarki dalam pengertian ilmiah. Oligarki terukur dan terprediksi karena aktor-aktornya kelihatan. Namun, kartel sebaliknya, sulit dilacak sebab aktor-aktornya samar; yang jelas hanya dampak dari pergerakan politiknya.
Kartel di tubuh partai cenderung terbaca, tetapi tak terukur. Maka, kartel internal partai sebetulnya semi-oligarki atau bisa dibilang saja patronase politik. Kartel di pemerintahan, apalagi dalam sistem multipartai yang kompleks, amat rumit dilacak. Sama rumitnya dengan dampak dari manuver politik mereka.
Pada titik ini, bisa kita bertanya, benarkah SMI terlibat dalam skandal Bank Century atau dia hanya korban dari permainan besar dan kompleks, yang melampaui batas-batas kekuasaan politiknya? Misalkan jawabannya ”ya”, makin benarlah hipotesis tentang virus kartel politik yang tengah menggerogoti demokrasi kita dari dalam.
Kalau itu terjadi, yang dicemaskan bukan saja kekuasaan demokratik dibajak oleh segelintir orang, melainkan adanya ”pemerintah” di dalam pemerintah. Dalam artian, secara formal presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara, tetapi faktanya ia bisa cuma pion di papan catur kartel politik.
Sebab, dalam politik kartel, arah politik ditentukan oleh tangan-tangan siluman di balik layar. Di permukaan, kita terkadang bingung dengan presiden dalam sistem presidensialisme yang ragu memaksimalkan hak prerogatifnya. Padahal, di balik layar, hak prerogatif menjadi relatif apabila berhadapan dengan struktur kepentingan kartel.
Analisis psikologi politik tentang pemimpi peragu menjadi tidak relevan dalam kondisi politik seperti ini karena sikap politik ternyata tidak selamanya dipahami dengan pendekatan behavioral dalam ilmu politik. Akan tetapi, perlu dilihat dari perspektif bosisme terselubung (Sidel, 1999) bahwa dalam kenyataan demokrasi yang das sollen berlandaskan pada kehendak umum berubah menjadi oligarki terselubung yang berlandaskan kehendak parsial.
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 22 Mei 2010