Sidang Kasus Penyuapan, Purba Bantah Sumbang Rp80 Juta

Kepala Biro Logistik KPU RM Purba membantah telah memberikan uang sebesar Rp80 juta yang akan dipergunakan untuk melakukan penyuapan.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus suap terhadap auditor BPK dengan terdakwa anggota KPU Mulyana W Kusuma, yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin.

Purba mengatakan hal itu ketika dikonfrontasi dengan keterangan staf Biro Umum Sekretariat Jenderal KPU Mubari, yang mendapat giliran pertama untuk memberikan kesaksian. Dalam kesaksiannya, Mubari menyebutkan bahwa RM Purba yang menjabat sebagai Sekretaris Panitia Pengadaan Kotak Suara Pemilu 2004 juga berkontribusi menalangi dana suap senilai Rp300 juta itu.

Mubari yang pernah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menyebutkan dana talangan yang disediakan Purba sebesar Rp80 juta. Dana tersebut diberikan dalam dua tahap, masing-masing sebesar Rp50 juta dan Rp30 juta.

Purba mengaku dirinya keberatan terhadap kesepakatan Rp300 juta yang dibuat oleh Mubari. Kata Mubari, Pak Purba Rp50 juta ya, saya keberatan dan saya katakan saya akan pikirkan nanti, kata Purba.

Ketika ditanya oleh majelis hakim apakah ia menanyakan kepada Mubari untuk apa kesepakatan Rp300 juta itu, Purba mengatakan bahwa kata Mubari uang tersebut digunakan untuk 'membereskan' seandainya ada 'hal-hal yang kurang baik' dalam laporan hasil audit investigasi BPK.

Ketika majelis hakim yang dipimpin Masrudin Chaniago mengonfrontasi pernyataan kedua saksi tersebut kepada Mulyana, dia menjawab tidak mengetahui siapa-siapa saja yang berkontribusi dalam memenuhi dana suap tersebut.

Ia lebih lanjut menegaskan, dalam usaha memenuhi hasil kesepakatan 'negosiasi' antara Mubari dan Khairiansyah Salman, auditor dari BPK, di Hotel Borobudur pada 10 Maret lalu sebesar Rp300 juta, Mulyana hanya mampu menyediakan dana Rp50 juta.

Selain itu, Mulyana menyatakan pernah menerima uang sebesar Rp150 juta yang akan dipergunakan untuk menyuap BPK dari Mubari. Namun, mengenai asal dana tersebut, ia tidak mengetahui dengan pasti. ''Yang pasti, uang saya dari dua tabungan berbeda sebesar Rp50 juta termasuk di dalamnya,'' tegas Mulyana.

'Negoisasi' suap

Dalam persidangan yang berlangsung sekitar empat jam lebih itu juga menguak fakta ihwal kasus suap. Berdasarkan keterangan Mubari, 'negosiasi' harga suap terjadi di Hotel Borobudur pada 10 Maret 2005. Awalnya, dalam pertemuan tersebut terjadi antara Wakil Sekretaris Jenderal KPU Sussongko Suhardjo, Mulyana W Kusuma, dan Khairiansyah Salman.

Menurut pengakuan Mubari, kedatangannya ke Hotel Borobudur berdasarkan perintah dari Sussongko untuk membayar biaya jamuan makan pertemuan tersebut. Namun, begitu ia berjumpa dengan Sussongko di hotel tersebut, ia mendapat perintah baru untuk melakukan 'negosiasi' imbalan suap dengan Khairiansyah.

''Pak Sussongko bilang ke saya bahwa Pak Mul minta tolong untuk diselesaikan permasalahan terkait urusan pengadaan kotak suara,'' ujar Mubari mengutip perkataan Sussongko.

Ia pun menafsirkan perintah tersebut menjadi tawaran harga agar audit investigasi BPK atas laporan keuangan Panitia Pengadaan Kotak Suara Pemilu 2004 berjalan mulus. Setelah berbincang empat mata dengan Khairiansyah sekitar sepuluh menit, Mubari menyimpulkan bahwa Khairansyah sepakat dengan imbalan Rp300 juta.

Dalam persidangan yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB tersebut, penuntut umum kembali memperlihatkan video rekaman penangkapan Mulyana di hotel Ibis, Slipi oleh penyelidik KPK.

Saat pemutaran video rekaman tersebut, Mulyana meminta agar video rekaman ditampilkan secara utuh dan tidak terpotong-potong, sehingga pembicaraan yang terjadi di situ lebih dapat dimengerti konteksnya.

Selain itu, penasihat hukum Mulyana yang antara lain adalah Sirra Prayuna, Firman Wijaya, dan Irianto meminta majelis hakim untuk juga memutarkan rekaman pembicaraan di Hotel Borobudur dan menghadirkan saksi dari KPK yang melakukan penyadapan baik di Hotel Borobudur atau Hotel Ibis.

Kita akan lihat itu, seandainya memang diperlukan kita akan minta itu dari jaksa. Rekaman penyadapan itu kan hanya sebagai bukti tambahan, kata ketua majelis hakim Masruddin Chaniago. (DV/Ant/J-2)

Sumber: Media Indonesia, 19 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan