Sidang Gugatan atas Yayasan Supersemar Ditunda

Saat ini yang perlu diadili adalah kroni-kroninya.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini menunda sidang lanjutan perkara perdata antara negara melawan penguasa Orde Baru, Soeharto dan Yayasan Supersemar. Sampai tujuh hari, kata Elfran Basuning, juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.

Suasana berkabung menjadi alasan pengadilan. Sebab, Soeharto sebagai tergugat telah meninggal pada Minggu lalu. Pemerintah menetapkan hari berkabung nasional selama tujuh hari. Hal itu merupakan pandangan yang diberikan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Zahrul Rubain, ujar Elfran.

Apakah akan ada perubahan perkara ini atau tidak akibat meninggalnya tergugat, Elfran mengatakan majelis hakim belum bersikap. Itu akan dipertimbangkan majelis di pengadilan, kata Efran, yang juga anggota majelis hakim perkara Soeharto.

Negara menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar senilai Rp 11,5 triliun, dengan perincian ganti rugi materiil US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta imateriil Rp 10 triliun. Melalui pengacara negara dari Kejaksaan Agung, negara menuduh tergugat menyelewengkan dana Yayasan Supersemar.

Dua pekan lalu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan kasus perdata ini akan berlanjut terus, meskipun Soeharto meninggal. Menurut dia, putra-putri Soeharto tetap akan mewarisi gugatan perdata itu. Ketentuannya begitu. Itu ada tagihan negara kepada beliau, toh. Kalau beliau tidak ada, tagihan kan masih terus berjalan. Ke ahli warisnya, ujar Hendarman.

Pendapat yang berbeda disampaikan kuasa hukum Soeharto, M. Assegaf. Semua kasus yang berkaitan dengan Soeharto telah gugur dengan sendirinya, katanya di Astana Giribangun kemarin. Selesai, ucapnya sambil buru-buru masuk ke dalam mobil setelah melayat.

Kuasa hukum Soeharto yang lain, Juan Felix Tampubolon, mengatakan berakhir-tidaknya kasus gugatan perdata itu sepenuhnya bergantung pada penggugat dan majelis hakim. Dia tak tahu kelanjutan gugatan ini karena kliennya telah meninggal. Sebab, otomatis surat kuasa yang telah diberikan berakhir dengan sendirinya, katanya. Saya sudah tidak bisa mewakili Soeharto lagi di pengadilan.

Sejumlah kalangan yang dihubungi secara terpisah mengatakan perkara Soeharto harus dilanjutkan. Sekarang justru momentum yang tepat karena tidak ada hambatan budaya untuk menghormati seseorang, kata Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparansi International Indonesia, di sela-sela Konferensi International Anti-Korupsi di Nusa Dua, Bali.

Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zen. Saat ini yang perlu diadili adalah kroni-kroninya, ujarnya kemarin. Patra menambahkan, dasar hukum Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tidak akan dapat melepaskan perkara hukum Soeharto dan kroninya begitu saja.NURLIS MEUKO | RINI KUSTIANI | CHETA NILAWATY | ROFIQI HASAN | IMRON ROSYID

Sumber: Koran Tempo, 29 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan