Siasat DPR Hapuskan Hakim "Ad Hoc" Kasasi
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung atau RUU MA yang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat ternyata menimbulkan polemik. Selain soal usulan usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun, ternyata DPR menghapuskan keberadaan hakim ad hoc di tingkat Mahkamah Agung.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Menyelamatkan Mahkamah Agung (AMMA) menggelar jumpa pers di Gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/10). Mereka terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan Indonesia Legal Resources Centre (ILRC).
Menurut Emerson Juntho dari ICW, pembahasan RUU MA yang dilakukan secara tertutup dan sudah disetujui rapat kerja DPR ternyata menimbulkan masalah tersembunyi.
”DPR mengakali publik. Ternyata, Pasal 7 Ayat 2 dan 3 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA yang mengatur keberadaan hakim ad hoc tingkat kasasi dihapus. Kami baru menyadarinya setelah membandingkan antara RUU MA yang baru digodok dan UU No 5/2004,” kata Emerson.
Emerson melanjutkan, cara mengakali yang dilakukan DPR adalah dengan menyembunyikan isi Pasal 7 Ayat 2 dan 3 UU MA yang berbunyi, Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam Undang-Undang. ”Yang ditulis pada pasal itu hanya ’dihapus’. Jadi, kami baru menemukan persoalan eksistensi hakim ad hoc kasasi ini setelah membandingkan antara RUU MA dan UU MA,” katanya.
Menurut Ratnaningsih dari KRHN, DPR tidak perlu berbuat aneh-aneh dengan cara mengubah sesuatu yang sudah berjalan baik menjadi ditiadakan.
”Kalau ada anggota DPR yang mengatakan nanti akan diatur dalam UU lain, di luar UU MA, berarti anggota DPR itu tak memahami apa yang namanya harmonisasi dan sinkronisasi. UU MA itu merupakan UU payung. Padahal, dalam UU payung itu eksistensi hakim ad hoc tidak diakui,” ujar Ratnaningsih.
Uli Parulian Sihombing dari ILRC berpendapat, apa yang dilakukan DPR adalah upaya sistematik untuk ”membubarkan” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semestinya DPR mendahulukan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dapat dipahami
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Gayus Lumbuun, mengatakan, penghapusan Ayat 3 Pasal 7 dalam UU No 5/2004 itu dapat dipahami. Keberadaan hakim ad hoc, menurut dia, dapat mengacu kepada undang-undang yang bersifat khusus.
Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen, yang mengatakan tidak ada substansi yang dilanggar atau hilang dengan penghapusan ayat itu. Alasannya, keberadaan hakim ad hoc, sebagaimana ada dalam pengadilan tipikor, pengadilan HAM, atau pengadilan hubungan industrial, telah diatur dalam UU khusus tentang itu. (VIN/JOS)
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2008