Siapa Mau Membasmi Korupsi?

ALANGKAH menyenangkan dan membahagiakan hati jika kita hidup dalam sebuah masyarakat di mana pemerintahnya bersih, orang miskin disantuni, penganggur ditawari pekerjaan, pengusaha difasilitasi untuk mengembangkan daya saing, buruh diupah dengan layak, tiap anak menikmati bangku sekolah, perempuan dan asal-usul budaya terbebas dari diskriminasi, polisi tak ringan tangan dan main tembak, serta tentara tidak ikut campur di wilayah politik.

Namun itu semua baru impian. Kenyataannya, situasi kita dipenuhi wabah korupsi, konflik bersenjata, etnis, dan agama menjatuhkan banyak korban, para pengusaha terus diperas biaya produksinya, tukang palak menjamur, jutaan orang terancam rawan pangan, harga-harga mencekik daya beli, partai-partai berlomba berebut kuasa dan anggota DPR terlibat politik dagang sapi.

Untuk itu diperlukan tanggapan atas tulisan Bernard Adeney-Risakotta, Siapa Mau Membela Kenaikan Harga? (Kompas, 11/1/2003). Bernard melihat kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), TDL (tarif dasar listrik) dan telepon, dapat menjadi kesempatan emas untuk memukul lawan politik dan menjatuhkan pemerintah. Kejatuhan pemerintah di tengah jalan dianggap tidak akan menolong orang miskin.

Pendidikan politik
Tentu saja dapat digunakan momentum gelombang demonstrasi yang memprotes kenaikan harga dan tarif sebagai upaya sekelompok politisi untuk mengincar kursi empuk di pemerintahan, bukan bertujuan bagi kepentingan orang miskin. Begitu pula wacana yang digunakan pemerintah dengan menuding aksi-aksi telah ditunggangi atau disusupi kelompok radikal, sama persisnya tidak untuk tujuan bagi kepentingan orang miskin.

Meski demikian, protes-protes yang berkembang sejak kenaikan harga BBM, TDL, dan telepon berlangsung begitu luas dan melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Belum pernah dalam sejarah politik Orde Baru hingga kini suatu demonstrasi yang melibatkan mahasiswa, buruh, LSM, kaum ibu, dan pengusaha yang menentang pemerintah. Tetapi, dalam protes yang sekarang justru mereka bisa bertemu dan bergabung di jalanan.
Sebagian besar protes mereka bersifat spontan akibat dientakkan kenaikan harga di saat banyak orang hidup susah, terlepas yang paling terkena adalah masyarakat menengah. Memang hal ini bisa menjadi emosional jika dikaitkan dengan kepentingan orang miskin. Apalagi pemerintah menjanjikan subsidi yang dicabut akan dikembalikan ke masyarakat miskin melalui program sosialnya.

Juga tak ada jaminan, program sosial dengan dana Rp 4,4 trilyun yang dilaksanakan pemerintah itu sebagian tidak raib dan jatuh ke tangan yang tak berhak. Banyak kasus tahun 2002 yang menunjukkan penyelewengan dana tanpa tindakan hukum bagi pelakunya. Belajar dari pengalaman inilah yang membuat kepercayaan atas program pemerintah menjadi luntur, karena program demikian justru menjadi sumber korupsi baru.

Kita juga patut memetik pelajaran penting dari demonstrasi yang meluas itu, karena telah menjadi proses pendidikan politik yang jauh lebih berguna dibanding pemilihan umum. Demonstrasi yang digalang itu hampir tak terjamah politik uang (money politics) dan hanya sekadar berebut kursi. Mereka tak diiming-imingi uang kursi, atau kaus suatu partai, tetapi ada perasaan yang telah lama dipendam, mereka telah diperlakukan tak adil.
Partisipasi politik masyarakat yang meningkat itu juga diwarnai sikap kritis, bukan sekadar diprovokasi untuk berduyun-duyun mencoblos demi kepentingan kursi elite politik. Bahkan, mereka bisa memberi pelajaran pada banyak orang mengenai kritik-kritik yang disuarakan seperti pajak dan korupsi. Di antaranya sebagian besar APBN bersumber dari penarikan pajak, yaitu Rp 180 trilyun.

Pemerintah dituntut memperhatikan kepentingan pembayar pajak. Selain itu, sebagian besar pertumbuhan dan keuntungan ekonomi dihasilkan dari kerja kaum buruh sektor swasta maupun negara.

Dengan begitu, demo-demo yang meluas itu telah memberi pelajaran berharga tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga kepada partai-partai politik, DPR, maupun lembaga-lembaga negara lain mengenai sumber APBN yang hanya sebagian kecil berasal dari negara, karena sebagian besar bersumber dari pajak dan masyarakat konsumen dari BUMN.

Membasmi korupsi
Bukankah protes-protes masyarakat itu memberi peringatan kepada pemerintah dengan implikasi, para pejabat tinggi hingga bawah harus memperbaiki kinerjanya yang buruk? Birokrasi yang lamban, bertele-tele dan korup harus diakhiri. Sebaliknya, program pemulihan ekonomi harus dilaksanakan tepat sasaran, sehingga bukan saja investasi bertumbuh, tetapi juga lapangan kerja akan terbuka untuk menyerap calon buruh.
Sayang, Bernard Adeney tidak memberi saran bagaimana korupsi dibasmi. Ia hanya menyarankan agar kita belajar dari negeri-negeri lain yang sukses membasmi korupsi tanpa rekomendasi negeri mana yang perlu di jadikan acuan. Tetapi, ia justru menganjurkan masyarakat bersabar pada pemilu mendatang yang juga tak ada jaminan bebas dari politik uang.

Pertanyaan yang juga patut diajukan adalah, apakah pengikisan korupsi merupakan hadiah pemerintah yang murah hati? Persoalannya, adakah pemerintah yang murah hati dan DPR yang prihatin atas kehidupan orang miskin itu akan terwujud pada tahun 2004 atau tahun 2009? Jika tak terwujud juga, lantas kepada siapa nasib mesti digantungkan?

Apa yang telah diajarkan dari demonstrasi yang memprotes kenaikan BBM, TDL ,dan telepon, amat berharga secara politik. Perbaikan kondisi masyarakat bukan hadiah pemerintah, tapi karena sumbangan partisipasi politik mereka untuk menekan pemerintah agar lebih peka dan mau memperbaiki kinerjanya kendati protes-protesnya masih bersifat spontan. Karena itu, demonstrasi yang melibatkan beragam kalangan masyarakat akan lebih efektif jika berkembang menjadi gerakan sosial antikorupsi. Mereka dapat menggalang partisipasi rakyat untuk mengawasi penyaluran dan penggunaan dana subsidi yang dicabut, program pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, proyek tender BBM dan lainnya, perilaku para pejabat dan DPR, ketidakbecusan birokrasi, menuntut diakhirinya pungutan-pungutan liar, mengawasi pengadilan dan aparat penegak hukum, menuntut dihentikannya proyek perang dan keamanan wilayah, dan sebagainya.

Gerakan sosial antikorupsi akan lebih efektif jika terlembaga dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, karena tujuan yang diembannya adalah memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang bersih (clean government). Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, semakin besar kemungkinan tujuannya dicapai.

Nah, siapa mau ambil bagian dalam gerakan sosial membasmi korupsi? (Hendardi, Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)).

Tulisan ini diambil dari Kompas,Senin, 27 Januari 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan