Seusai Permohonan

Putusan Kejaksaan Agung menerbitkan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) kasus Soeharto sudah klop dengan keinginan presiden kedua RI tersebut. Pak Harto pernah meminta agar pemerintah menghentikan kasus hukumnya sebelum meninggal.

Permintaan Pak Harto itu diketahui dari dua file suratnya yang tersimpan di kantor pengacara Otto Cornelis Kaligis & Associates. Surat pertama berisi permohonan penerbitan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) yang dibuat pada 28 November 2005. Saat membuat surat bernomor No 2087/OCK.XI/2005 itu, kondisi kesehatan Pak Harto menurun.

Lalu, surat kedua dibuat pada 27 Januari 2006. Surat bernomor 225/OCK.I/2006 tersebut memohon kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar perkaranya cepat selesai.

Jadi, bukan hanya SP3 (dimohon Pak Harto). Surat terakhir yang diajukan kepada SBY juga menyampaikan pesan bahwa Pak Harto ingin kasusnya segera dihentikan, baik penyidikan maupun penuntutannya, oleh Kejaksaan Agung sebelum dipanggil menghadap Sang Pencipta, jelas Kaligis, pengacara Pak Harto, kemarin.

Permohonan tersebut, menurut dia, tidak semata-mata disebabkan kliennya sakit. Namun, dia menilai bahwa dakwaan jaksa terhadap Pak Harto tidak cukup bukti. Kami sudah melakukan kajian hukum dan mengajukan permohonan agar perkara pidana atas Pak Harto dihentikan atau dideponir (dikesampingkan, Red).

Pengacara Pak Harto yang lain, A. Assegaf, bersikukuh bahwa penerbitan SKPP berarti kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang dipimpin mantan presiden itu sudah mencapai titik final. Case is closed, tidak ada lagi upaya legal action dalam kasus ini yang bisa dilakukan, tegasnya.

Dengan penerbitan SKPP tersebut, lanjut dia, otomatis status Pak Harto kembali bebas, bukan lagi terdakwa. Selain itu, dengan adanya SKPP tersebut, tidak perlu ada rehabilitasi untuk Pak Harto. Sebab, tidak ada putusan dalam kasus dia. Baik yang menyatakan bersalah maupun tidak bersalah.

Mengenai kemungkinan Kejaksaan Agung menggugat secara perdata, Assegaf menyatakan tidak masalah. Mengapa tidak? Tentunya mereka punya alasan. Sebaliknya, Pak Harto juga punya alasan bahwa yayasannya didirikan secara sah, ungkapnya. Dia menambahkan, gugatan perdata harus disertai bukti kuat. Termasuk, membuktikan apakah pembentukan yayasan itu dilakukan secara melawan hukum atau tidak.

Gugatan secara perdata pernah diucapkan Baharuddin Lopa (almarhum) sewaktu menjabat jaksa agung, katanya. Dia tidak menghalangi jika jaksa agung mengajukan tuntutan perdata. Namun, jaksa agung harus bisa membuktikan yang dia tuntut merupakan tuntutan yang punya dasar hukum kuat, ujarnya.

Kaligis memilih mengelak ketika ditanya soal kemungkinan Pak Harto diajukan dalam perkara perdata. Jaksa agung mewakili siapa?, katanya balik bertanya. Dia juga mempertanyakan permintaan beberapa pihak yang menginginkan Pak Harto mengembalikan aset kepada negara. Dalam KUHAP, aset adalah barang bukti. Kalau tidak ada acara, bagaimana? tanyanya lagi.

Tak Yakin Diampuni
Ketua MPR Hidayat Nurwahid tidak yakin Presiden SBY akan mengampuni Pak Harto. Saya tidak yakin, yang akan muncul adalah kata pengampunan, katanya kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Hidayat menilai, keputusan SBY mengendapkan kasus Pak Harto sudah tepat. Hal itu menghindari munculnya konflik. Tapi, bukan berarti presiden mengabaikan faktor hukum, jelasnya.

Apakah itu berarti SBY ragu-ragu? Hidayat tidak membantah atau mengiyakan. Menurut dia, banyak orang yang salah kaprah menganggap kehati-hatian sebagai ciri seorang peragu. Kalau dilihat dari alasan SBY, saya kira cukup masuk akal, ujarnya.

Hidayat juga membantah rumor bahwa SBY dan Kalla berselisih paham soal Pak Harto. Dia meminta agar media segera mengklarifikasi kepada yang bersangkutan. Saya belum mendengar langsung tentang hal itu, katanya.

Dia yakin, keputusan pemerintah terkait dengan status hukum Pak Harto kelak tidak akan membatalkan Tap MPR XI/1998. Saat ini, tidak ada lembaga negara yang mempunyai kewenangan mencabut Tap MPR, tandasnya.

Selain itu, keputusan yang diambil juga tidak boleh bertentangan dengan Tap MPR No VIII/2001 tentang Percepatan Pemberantasan KKN. Artinya, kasus yayasan yang disengketakan tidak bisa begitu saja ditutup, katanya. Mantan presiden Partai Keadilan itu menambahkan, dalam memutuskan kasus Soeharto, pemerintah harus sesuai dengan konstitusi. (ein/rdl)

Sumber: Jawa Pos, 15 Mwi 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan