Setoran Suburkan Penjebakan

Implementasi Kerap Tidak Seindah Retorika

Budaya setoran yang masih terpelihara di tubuh kepolisian menjadi salah satu penyebab krusial maraknya praktik penjebakan perkara pidana oleh oknum polisi. Sistem kontrol internal ataupun eksternal dinilai masih belum maksimal mengatasi budaya tersebut.

Hal itu disampaikan Adnan Pandu Praja, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Senin (8/3). Secara terpisah, Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Nanan Soekarna juga membenarkan salah satu akar masalah dari fenomena praktik penjebakan adalah budaya setoran yang belum benar-benar pupus.

”Memang itu kami sadari, selama para atasannya masih ingin ”dilayani”, maka bawahan jadi terbebani. Dampaknya ke masyarakat. Oknum jadi cari-cari perkara. Kami masih terus berusaha sebisa mungkin memangkas praktik seperti itu (setoran),” tutur Nanan.

Budaya setoran yang dimaksud adalah pemberian ”upeti” rutin dari bawahan kepada atasan. Upeti diperoleh dengan cara-cara yang tidak patut, seperti memeras orang-orang yang bermasalah hukum sampai merekayasa perkara pidana terhadap orang yang justru tak bersalah.

Sudah menjadi pengetahuan umum sejak lama, misalnya, polisi lalu lintas memperoleh modal upeti dengan ”memangsa” pengendara di jalanan, lalu berdamai dengan sejumlah uang. Namun, menurut Nanan, saat ini praktik buruk polantas sudah lebih berkurang karena terus-menerus disorot. Sementara, di reserse, problem itu belum sepenuhnya teratasi.

”Kini perubahan di reserse yang harus dipercepat. Karena itu, Kapolri juga sudah menegaskan untuk kita sama-sama ’mengeroyok’ reserse,” ujar Nanan.

Seperti disebutkan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, sebanyak 5.531 polisi yang memimpin unit reserse sejak di tingkat polsek, polres, hingga polda dalam waktu dekat akan dikumpulkan untuk pembenahan. Kapolri berharap warga tak perlu ragu melapor jika dikerjai oknum polisi.

Adnan mengatakan, fenomena rekayasa perkara merupakan problem di satuan reserse yang paling mendesak untuk dibenahi. Dari pengaduan atau keluhan yang masuk ke Kompolnas pada tahun 2009, sebagian besar (1.386 aduan) mengadukan soal perilaku reserse di lapangan. Jumlah total aduan masyarakat ke Kompolnas juga mengalami lompatan cukup tinggi, yakni dari 344 aduan pada tahun 2008 menjadi 1.466 aduan pada tahun 2009.

Menurut Adnan, pimpinan kepolisian dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan komitmennya menindak tegas oknum aparat yang menyeleweng. Namun, pada kenyataannya di lapangan, implementasinya kerap kali tidak seindah retorika.

”Kalau kita mau menguji akuntabilitas pimpinan, yaitu pada saat ketika pelanggaran terjadi, apakah pelanggaran itu diberi ganjaran hukuman atau tidak,” kata Adnan.

Senada dengan Adnan, Nanan juga mengatakan, bad cop (polisi nakal) sampai kapan pun boleh jadi akan selalu ada. ”Namun, yang terpenting adalah bagaimana setiap bad cop, di level apa pun, secara konsisten selalu dihukum. Dengan begitu, Polri baru bisa disebut akuntabel,” kata Nanan.

Tiga masalah
Dari evaluasi Kompolnas, problem sistem kontrol internal dan eksternal di kepolisian sendiri masih terhambat implementasinya. Kontrol internal direpresentasikan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), sementara kontrol eksternal direpresentasikan oleh Kompolnas.

Adnan memaparkan, persoalan pertama adalah surat aduan masyarakat yang masuk ke Kompolnas ketika, misalnya, diteruskan ke Inspektorat Pengawasan Daerah (di tingkat polda), surat itu akan diteruskan lagi ke pimpinan wilayah di mana keluhan itu terjadi. ”Surat keluhan itu yang menjawab, misalnya, malah kapolresnya, bukan pengawas internal di tingkat polresnya. Dengan demikian, keluhan sekadar dijawab, tidak diselidiki,” kata Adnan.

Persoalan kedua, di kepolisian masih terjadi pemahaman yang menyesatkan. Ketika penyidik dari Divisi Propam hendak menyidik suatu dugaan penyelewengan oleh reserse, hal itu dianggap sebagai upaya mengintervensi independensi reserse dalam menangani perkara.

”Ketiga: apabila ada reserse yang bersalah, maka pimpinan kesatuannya (misalnya kepala polres) dianggap juga bersalah. Kinerja pimpinan buruk dan tercemar. Akibatnya, penyelewengan reserse itu tidak diproses, dilindungi untuk menjaga nama pimpinannya,” tutur Adnan.

Kompolnas merupakan lembaga yang amat terbatas kewenangannya untuk mengontrol kepolisian. Oleh karena itu, berbagai kalangan belakangan ini mendesak perlunya revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri untuk memperkuat kewenangan Kompolnas, khususnya wewenang untuk menginvestigasi dugaan penyelewengan oknum polisi.

Sementara itu, praktisi hukum Juniver Girsang dalam suratnya kepada Kompas menegaskan, fenomena praktik rekayasa perkara mewabah di semua jajaran penegak hukum, tak hanya kepolisian, tetapi juga kejaksaan.

Polisi ataupun jaksa, menurut Juniver, selalu berdalih dan berlindung di balik hak diskresi dalam menjalankan Pasal 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengenai upaya paksa penahanan.

Sayangnya, imbuh Juniver, dengan berlindung di balik hak diskresi itu, ketika terjadi penyimpangan oleh oknum aparat penegak hukum, seperti praktik rekayasa, sanksi yang dijatuhkan hanya sebatas sanksi indisipliner. Padahal, praktik rekayasa perkara harus diproses secara hukum.

Merujuk berita Kompas tentang rekayasa pidana, Senin, Redaksi menerima banyak telepon pengaduan dari masyarakat.

Semisal, ada pengaduan dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tentang investor pembangunan jalan yang mengeluarkan modal Rp 42 miliar dengan skema built operation transfer, tetapi dituduh menjadi tersangka membantu tindakan korupsi.

”Yang lucu, tidak ada tersangka utama dalam kasus korupsi yang dituduhkan kepada tersangka Jahrian,” ujar Zulkifli Halim, pengacara Jahrian yang kini dirawat di Jakarta. (SF/ONG)
Sumber: Kompas, 9 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan