Setelah Vonis Rokhmin Dahuri Dijatuhkan
Vonis telah dijatuhkan oleh majelis hakim Tindak Pidana Korupsi terhadap Rokhmin Dahuri selama tujuh tahun penjara disertai denda Rp 200 juta, dengan subsider enam bulan kurungan, dalam kasus pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan. Kasus yang menyita perhatian publik itu telah mencapai klimaks.
Betapa tidak, skandal dana Departemen Kelautan, yang sempat menyeret para calon presiden, mantan menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta tokoh masyarakat, itu seakan terhenti. Riuh-rendah drama berakhir dengan hukuman (hanya) bagi para aktor di lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan saja.
Memang ada peringatan dan laporan tambahan dari hasil penelusuran Badan Kehormatan DPR atas tiga orang anggota Dewan ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diproses secara hukum. Padahal disinyalir anggota Dewan yang menerima dana Departemen Kelautan mencapai puluhan orang. Lantas apakah penegakan hukum terhenti di Rokhmin Dahuri?
Berderet skandal dana nonbujeter menghantam para pejabat publik. Simak kasus pembagian amplop dalam pembahasan divestasi Bank Niaga ataupun kasus traveler's check dari Departemen Keuangan, dana dari Komisi Pemilihan Umum, dan Dana Abdi Umat (DAU). Tampak jelas tiadanya perubahan perilaku dan manajemen keuangan publik. Menerima angpau tidak dianggap suatu hal yang tabu. Mengumpulkan dana dengan beragam dalih masih menjadi kebiasaan.
Bahkan seorang tokoh organisasi keagamaan menganggap dana nonbujeter ini bukan masalah. Alasannya, semua departemen melakukan hal serupa dan tidak dilarang secara hukum. Ia mungkin lupa bahwa salah satu perhatian IMF dalam letter of intent adalah penertiban rekening-rekening yayasan Soeharto yang menerima dan menyalurkan dana nonbujeter.
Padahal landasan hukumnya jelas. Sebagai penyelenggara negara, pejabat dilarang menerima apa pun yang memungkinkan memicu perselingkuhan kepentingan. Gratifikasi dipandang sebagai pintu masuk terjadinya transaksi koruptif antara penyelenggara negara dan pemberi gratifikasi.
Jika seseorang menerima gratifikasi, ia wajib melaporkannya ke KPK maksimal 30 hari kerja setelah dana diterima (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12-C ayat 2). KPK-lah yang akan menentukan apakah pemberian tersebut gratifikasi atau suap (Pasal 12-C ayat 3). Jika tidak dilaporkan setelah tenggat waktu yang ditentukan, kasusnya diproses secara hukum. Untuk gratifikasi lebih dari sepuluh juta rupiah, penyelenggara negara yang bersangkutan harus membuktikan pemberian tersebut suap atau bukan (pasal 12-B ayat 1 huruf a).
Begitu pula pengumpulan dana nonbujeter yang jelas-jelas melanggar undang-undang tentang keuangan negara (UU Nomor 17 Tahun 2003). Logikanya, jika tidak diatur dalam tata kelola keuangan negara, tidak patut dilakukan. Tambahan lagi, dana-dana nonbujeter tersebut dikumpulkan dari penyunatan anggaran proyek, iuran para rekanan proyek, sampai pungutan yang tentunya liar.
Pembersihan rekening liar ini seharusnya menjadi prioritas KPK. Memang, dari segi nominal, dibandingkan dengan pada masa Soeharto, dana nonbujeter sekarang jauh lebih kecil. Tapi dampaknya sama. Pejabat publik merasa berhak mengumpulkan dana sampingan yang dikelola sesuai dengan selera masing-masing. Peruntukannya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara hasil guna maupun dari standar akuntansi publik.
Efek domino
Kita patut belajar dari upaya pembersihan korupsi politik di Italia yang dikenal dengan nama Mani Pulite (Operasi Tangan Bersih). Gebrakan Mani Pulite yang dilancarkan sekelompok jaksa bersih, dipimpin oleh Antonio di Pietro, dimulai dari Kota Milan dan dengan cepat menyebar ke kota-kota lainnya.
Hasilnya cukup menggemparkan. Lebih dari 5.000 orang, di antaranya perdana menteri, menteri kabinet, politikus, pejabat birokrasi, aparat kepolisian, jaksa, hakim, dan konco bisnis, diproses secara hukum. Presiden Francesco Cossiga mengundurkan diri setelah empat partai politik koalisi pemerintah (Christian Democratic Party, Italian Socialist Party, Italian Socialist Democratic Party, dan Italian Liberal Party) membubarkan diri atau bahkan menghilang. Puluhan politikus dan pengusaha bunuh diri dalam tahanan. Secara total, operasi tangan bersih menghukum 582 orang.
Akankah KPK bertindak tegas? Jika dilihat dari kasus dana KPU dan DAU, kecil kemungkinan akan muncul pesakitan baru. Kedua kasus tersebut berhenti pada pelaku inti. Sayang, memang, perkara tidak dikembangkan dengan mengejar orang-orang yang turut menikmati aliran dana haram tersebut. Padahal efek domino dari kasus-kasus tersebut akan menjerat lebih banyak pejabat publik. Dampaknya tentu pembersihan ranah politik dari kebiasaan lama yang koruptif. Seyogianya KPK menargetkan pembersihan politikus dan juga aparat penegak hukum guna menghentikan korupsi.
Mengapa? Korupsi politik memiliki efek penting dalam demokratisasi. Dampaknya tidak hanya kerugian keuangan negara, proyek yang di bawah standar, dan malpraktek pengelolaan keuangan publik, tapi lebih jauh, hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi dan aktor politik. Krisis kepercayaan dan legitimasi politik bisa menjurus pada defisit demokratisasi dan masalah sosial. Hadirnya politikus yang berintegritas merupakan tangga pertama terciptanya kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Momen Departemen Kelautan ini patut dijadikan ajang pembersihan perilaku dan kebiasaan politik yang menyimpang. KPK jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini dengan menjaring semua pihak yang menerima dana tersebut. Jika berhenti, tidak hanya akan ada lontaran bahwa KPK menjalankan politik tebang pilih, tapi juga menyuburkan impunitas korupsi politik.
Luky Djani, Peneliti Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 3 Agustus 2007