Setelah Rekaman Itu

IBARAT pertunjukan, acara pemutaran rekaman penyadapan telepon oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Anggodo Widjojo selama lebih dari empat jam dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (3/11) mengandung pesan yang getir bagi rakyat.

Yang dipertontonkan dalam rekaman itu bukan sekadar kasus ''perseteruan'' antara KPK dan polisi. Tapi, yang lebih telak adalah wajah kebobrokan hukum di Indonesia. Anggodo Widjojo, adik bungsu tersangka Anggoro Widjojo, bos PT Masaro Radiokom yang menjadi tersangka korupsi, menunjukkan betapa gampangnya proses hukum diarahkan. Begitu mudahnya keadilan hukum, sesuatu yang dijunjung tinggi rakyat, bisa disetir oleh kekuasaan dan uang.

Begitu banyak nama yang disebut dalam rekaman pembicaraan telepon Anggodo itu. Ada nama-nama yang diduga Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji, dan lain-lain. Mereka adalah para pimpinan lembaga hukum dan penyidik tingkat tinggi di Mabes Polri serta Kejaksaan Agung.

Setelah menyaksikan acara yang disiarkan langsung oleh televisi dan radio itu, pantas kalau orang biasa mempertanyakan apakah masih ada keadilan di negeri ini? Sebab, dalam pikiran mereka, kalau para pimpinan KPK yang notabene adalah lembaga superbodi yang begitu dihormati bisa diperlakukan seperti itu, lalu apa daya mereka -warga kebanyakan yang tak punya kuasa apa-apa- saat menghadapi proses hukum?

Sangat wajar jika yang tidak tahu tentang proses hukum dan bagaimana cara beperkara mempersoalkan keadilan hukum macam apa yang diperoleh jika pimpinan lembaga hukum, penyidik, bisa diajak bareng pergi ke Singapura, bahkan mendapat ''hadiah'' mobil mewah dari adik tersangka.

Fenomena yang diperlihatkan dalam sidang di MK itu memang bukan sesuatu yang baru. Sebab, kita memang sudah lama mendengar adanya isu mafia peradilan, mafia hukum, dan lain-lain yang dihadapi para pencari keadilan di negeri ini. Namun, barangkali, ''pertunjukan'' selama lebih dari empat jam yang diikuti secara bersamaan oleh jutaan masyarakat dan disiarkan secara live itu membuka kebobrokan itu secara sangat gamblang.

Kita berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang memutuskan membuka sidang pemutaran rekaman penyadapan KPK itu untuk publik. Dengan demikian, hal tersebut menyadarkan kita semua betapa sangat mendesaknya pembenahan dan reformasi di tubuh Polri, kejaksaan, serta pengadilan di negeri ini.

Meski sidang di Mahkamah Konstitusi kemarin adalah permohonan uji materiil pasal 32 huruf C Undang-Undang KPK yang tidak terkait langsung dengan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, kita mengharapkan Mabes Polri memberi penangguhan penahanan kepada dua pimpinan KPK itu. Sebab, dari rekaman tersebut, patut diduga ada upaya merekayasa kasus yang menimpa keduanya.

Yang membuat kita bertambah miris, pemutaran rekaman penyadapan KPK secara terbuka tersebut ternyata tak membuat nama-nama pejabat yang disebut langsung membuat pengakuan minta maaf. Apalagi sampai menyatakan mundur dari jabatannya. Bahkan, Anggodo dan pengacaranya masih berani tampil di televisi tanpa takut ditangkap polisi karena dianggap sebagai penyuap.

Kita berharap suatu saat bangsa kita mempunyai urat malu yang lebih baik, sehingga kita bisa terus memperbaiki diri. Termasuk, memperbaiki wajah keadilan hukum di negeri ini.

Sumber: Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan