Setelah “Papa” ditahan, Bagaimana dengan Kursi Ketua DPR dan Ketum Golkar?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi melakukan penahanan terhadap tersangka dugaan korupsi KTP Elektronik, Setya Novanto. Penahanan akan dilakukan setidaknya selama 20 hari kedepan dan dapat diperpanjang dalam rangka melakukan penyidikan.

Mengacu pada KUHAP, penyidik KPK cukup beralasan (syarat subjektif dan syarat objektif) untuk melakukan penahanan. Hal ini dilakukan KPK terhadap seluruh tersangka kasus korupsi yang pernah ditangani sebelumnya. Penahanan ini juga merupakan langkah akselerasi penyidikan. Sebab, KPK tengah berkejaran waktu dengan gugatan praperadilan yang dilayangkan Setya Novanto ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam fase yang singkat ini, sebaiknya penyidik KPK juga memburu asset-aset tidak wajar yang diduga dimiliki oleh Setya Novanto dengan menjerat Setya dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Langkah ini merupakan sebuah keniscaayaan yang harus dilakukan KPK, sebagaimana dilakukan KPK terhadap para tersangka kasus korupsi lainnya.

Mengacu pada LHKPN yang pernah disetorkan pada KPK pada 2015 lalu, tercatat kekayaan Setya Novanto sebesar Rp 114 Milyar. Jumlah ini patut dicurigai kebenarannya mengingat banyaknya asset mewah yang diduga dimiliki Setya. Diantaranya adalah dugaan kepemilikan Jet Pribadi, seperti yang pernah disampaikan Ketua DPD Golkar Bali I Ketut Sudikerta saat melakukan upacara adat di Bali dan kepemilikan rumah di sejumlah tempat dengan harga yang fantastis. Oleh Karena itu, penting bagi KPK untuk menggunakan UU TPPU untuk melakukan pelacakan terhadap asal usul aset yang dimiliki Setya. Terlebih lagi fakta-fakta persidangan yang terungkap dalam perkara Andi Narogong menunjukkan transaksi dilakukan berlapis-lapis (layering) untuk menyamarkan asal usul uang sebelum diterima oleh penerima manfaat sesungguhnya.

Setelah ditahan

Perkara korupsi yang menjerat Novanto menjadi rumit dalam konteks posisi yang bersangkutan bersamaan menjadi Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Dua posisi yang strategis dan saling mengunci dalam pengambilan keputusan.

Dua jabatan tersebut sudah sepatutnya dilepas agar tidak menjadi beban kelembagaan. Tentu tidak sepatutnya DPR dipimpin oleh seorang tersangka kasus korupsi yang sudah ditahan oleh KPK sehingga tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Point ini yang harus menjadi pehatian bagi masyarakat.

Mengacu kepada Pasal 87 ayat 1 UU MD3 menyebutkan bahwa :

(1) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.

Harus diakui, memang ada sejumlah tantangan aturan untuk secara mudah menggantikan Novanto dari kursi ketua DPR. Namun bukan berarti tidak ada celah aturan. ICW menilai setidaknya ada dua jalur cepat untuk menggantikan Novanto dari kursi pimpinan DPR.

  1. Melalui jalur kepartaian

Jalur kepartaian merupakan langkah yang mau tidak mau menjadi opsi utama. Sebab kursi jabatan menjadi ketua DPR juga terbentuk atas mandat partai. Sehingga Golkar tidak boleh hanya berfokus pada permasalahan internal partai mereka semata, sementara melupakan aspek jabatan publik yang justru memiliki dampak lebih luas kepada masyarakat.

Golkar mempunyai alasan kuat untuk segera mengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Selain kasus hukum tindak pidana korupsi yang saat ini tengah membelit ketua umum partai tersebut, Setya Novanto selama ini dikenal tidak membawa perubahan signifikan pada citra Partai Golkar. Sebaliknya, Setya Novanto banyak membuat gaduh baik terkait hukum dan etik yang sedikit banyak berdampak pada citra Golkar. Selain itu, dalam waktu 18 bulan menjabat sebagai Ketua Umum (Mei 2016 hingga saat ini), tercatat sedikitnya 16 kader Partai Golkar di legislatif nasional/ daerah, eksekutif daerah, dan kader sayap partai menjadi tersangka kasus korupsi.

Tabel 1.
Kader Golkar Tersangka Korupsi (Mei 2016-November 2017)

 
No.
Jabatan
Jumlah
1
DPR RI
3
2
DPRD
5
3
Kepala Daerah
7
4
Kader/ sayap partai
1

Hal yang harus dilakukan partai Golkar adalah sesegera mungkin mengusulkan penggantian Ketua DPR yang baru untuk menggantikan Setya Novanto. Jika cara ini ditempuh, maka prosesnya akan cederung lebih cepat. Atau bisa juga dilakukan dengan cara meminta Novanto mengundurkan diri.

  1. Melalui Dorongan MKD

Jika mengacu kepada aturan, tindakan Novanto diduga melanggar sejumlah aturan dianyaranya :

  1. Peraturan DPR Nomor 10 tahun 2015 tentang Kode Etik DPR pada bagian Integritas Pasal 3 point ke (5) disebutkan “Anggota dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

  2. Pasal 236 Ayat (3) UU MD3 “ Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme”

Aturan ini bisa menjadi dasar bagi MKD untuk meminta kesediaan Novanto mengundurkan diri. Terlebih lagi yang bersangkutan tidak akan dapat melaksanakan tugasnya secara berturut turut.

Harus dipahami, kepentingan Novanto mundur/diganti dari kursi Ketua DPR untuk kepetingan public yang lebih luas. Alangkah memalukannya jika Lembaga Tinggi Negara dipimpin oleh seorang tersangka kasus korupsi yang sedang berada dalam tahanan. Sementara lengser dari partai merupakan untuk kepentingan internal kader mereka.

***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan